Oleh:Tulus Abadi, Ketua Pengurus Harian.
Wabah virus Corona atau  Covid-19 berdampak sangat negatif terhadap kesehatan manusia, lebih dari 3  (tiga)  juta manusia terkonfirmasi positif, dan lebih dari 1 (satu) juta manusia meninggal dunia karenanya. Termasuk di Indonesia. Dan klimaksnya mengakibatkan krisis sosial ekonomi yang sangat serius dan berkepanjangan. Berbagai sektor bisnis dan usaha bertumbangan, dan  aksi PHK dari perusahaan (global) pun tak terelakkan. Namun di sisi lain, wabah Covid-19 ternyata berdampak positif bagi kondisi lingkungan global.Â
Dilaporkan oleh banyak media, bahwa kota kota besar di dunia, seperti di Eropa, Amerika, dan kota kota lain di dunia selama pandemi Covid-19 mengalami perubahan positif yang signifikan, yakni turunnya polusi udara. Sehingga kualitas udara di kota tersebut terasa lebih segar dan langit  sangat cerah membiru. Bahkan menurut sebuah survei, kualitas BBM berkelin dan dengan aspek kesehatan. Terbukti seiring dengan wabah virus Corona di Eropa, kualitas udara di Eropa justru makin baik, karena menurunnya aktivitas dan penggunaan BBM.Â
Kematian yang ditimbulkan oleh dampak polutan BBM pun turun, padahal kualitas BBM di Eropa standar Euro 6. Studi terbaru dari Pusat Penelitian tentang Energi dan Udara Bersih menemukan bahwa angka kematian polusi udara selama lockdown berkurang. Penelitian itu menyatakan sekitar 11 ribu kematian dini terhindar karena udara yang membaik, sebab kadar PM 2,5 turun 10 persen (Koran Tempo, 06/04/2020). Â Kebijakan lockdown (karantina) di berbagai kota besar di dunia, menyebabkan terhentinya aktivitas bisnis dan industri.Â
Perputaran penggunaan kendaraan pribadi, sebagai salah satu penopang aktivitas manusia pun berhenti. Inilah yang menjadi musabab utama menurunnya polusi di kota-kota besar, termasuk di Kota Jakarta. Namun jika dicermati menurunnya polusi udara selama pandemi Covid-19 antara kota besar di dunia dengan Kota Jakarta, sungguh berbeda. Turunnya polusi di Kota Jakarta tidak terlalu signifikan. Penyebabnya, di kota-kota besar dunia kendaraan bermotornya menggunakan jenis BBM yang berkualitas baik dan ramah lingkungan.Â
Di Eropa kendaraan bermotor pribadi dan bus umum wajib menggunakan BBM standard Euro 6. Sementara itu di Kota Jakarta, masih dominan menggunakan jenis BBM yang tidak memenuhi standar Euro dan tidak ramah lingkungan, yakni bensin premium  yang sangat rendah kadar oktannya (RON 88). Padahal BBM RON 88 nyaris tidak digunakan di dunia manapun, kecuali Indonesia. Masih dominannya penggunaan bensin premium berdampak sangat negatif bagi Kota Jakarta, yakni tingginya polusi. Sehingga sangat rasional jika Jakarta menyandang sebagai salah satu kota terpolusi di dunia.Â
Masih tingginya penggunaan BBM yang tidak ramah lingkungan dan tidak memenuhi standar Euro menjadi tersangka utama. Pemicu utama polusi di Jakarta adalah masih dominannya penggunaan kendaraan bermotor pribadi sebagai moda transportasi utama warga Jakarta. Sekalipun saat ini peran angkutan umum masal sudah mulai dirasakan, toh signifikansi pengguna kendaraan pribadi belum terbendung. Sektor transportasi berpengaruh 75 persen terhadap polusi di Jakarta.Â
Hal ini sangat logis, jika dilihat jumlah kendaraan pribadi yang kian menggurita. Sebagai contoh, saat ini tidak kurang dari 13 juta unit sepeda motor dan lebih dari enam juta unit roda empat di miliki warga Jakarta. Saban hari tidak kurang dari 25 juta perjalanan melintasi kota Jakarta.Â
Betapa tidak polusinya kota Jakarta jika mayoritas kendaraan itu masih menggunakan jenis BBM yang rendah kualitasnya seperti premium, atau BBM lain yang kandungan sulfurnya lebih dari 500 ppm. Padahal prasyarat BBM yang ramah lingkungan jika minimal RON-nya minimal 91, dan kandungan sulfur maksimal 50 ppm.Â
Merujuk pada gambaran dan permasalahan tersebut, sebagai perusahaan energi yang menjual dan menyediakan BBM di Indonesia, langsung atau tidak langsung PT Pertamina (Persero) turut bertanggung jawab atas tingginya polusi di Jakarta, bahkan di Indonesia.Â
Oleh karena itu, PT Pertamina (Persero) pun harus punya tanggungjawab moral untuk mengurangi tingkat polusi di kota-kota besar di Indonesia, dengan mengurangi distribusi dan penjualan jenis BBM yang tidak ramah lingkungan tersebut. Maka sangat mendesak bagi managemen PT Pertamina (Persero) untuk meniadakan penjualan jenis BBM premium di Kota Jakarta dan Bodetabek, dan membatasi dengan ketat untuk daerah lainnya di Jawa, dan luar Pulau Jawa.Â
Peniadaan BBM premium sudah pernah dilakukan pada 2018 (ironisnya kebijakan itu dianulir menjelang mudik Lebaran 2018, sampai sekarang). Peniadaan BBM premium atau jenis BBM lain yang tidak ramah lingkungan, bukan saja urgen untuk mengurangi tingginya polusi di Kota Jakarta, tetapi juga menjaga kesehatan warga Jakarta. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pun harus melakukan kebijakan yang sama, yakni menghilangkan BBM bensin premium dari Kota Jakarta.Â
Bensin premium berkontribusi sangat signifikan terhadap polusi di Jakarta, mengingat, lebih dari 30 persen bensin premium digunakan oleh kendaraan bermotor di Jakarta. Apalagi setelah marak adanya angkutan online, baik ojol (ojek online) maupun taksol (taksi online). Kota Jakarta akan makin tenggelam dan kelam oleh polusi, dan jangan mimpi bisa mengikis polusi jika bahan bakar kualitas buruk seperti premium masih dominan bercokol di kota Jakarta.Â
Pemprov DKI Jakarta tidak bisa berdalih bahwa kebijakan menghilangkan premium adalah kewenangan pemerintah pusat. Sebab dalam konteks ini pretensi Kota Jakarta adalah ingin melindungi warganya dari dampak buruk bensin premium. Analog hal tersebut adalah larangan iklan rokok di media luar ruang.Â
Penghapusan BBM yang tidak ramah lingkungan (penghapusan premium), pada konteks lingkungan hidup sejalan dengan tema peringatan Hari Lingkungan Hidup Dunia 2020,  yakni "Waktunya Kembali ke Alam" (Time to nature). Dan hal ini juga sangat sejalan dengan komitmen pemerintah Indonesia untuk mengurangi emisi karbon sebagaimana Perjanjian Paris (Paris Protokol), yang telah  diratifikasi oleh pemerintah Indonesia. Â
Kami sangat pesimis pemerintah Indonesia akan mampu mengurangi emisi karbon antara 29-40 persen, jika kita masih dominan menggunakan BBM yang tidak ramah lingkungan, dan sektor ketenagalistrikan masih dominan menggunakan pembangkit listrik berbasis  batu bara (coal). Relevan dengan fenomena New normal dalam kehidupan paska wabah Covid-19, maka di sektor energi/BBM, pun harus berbasis New normal juga; yakni konsisten menggunakan BBM yang ramah lingkungan dan memenuhi standard Euro.Â
Apalagi pada konteks gerakan konsumen, menggunakan BBM yang ramah lingkungan adalah sejalan dengan filosofi konsumsi berkelanjutan (sustainable consumtion). Konsumen turut bertanggungajwab terhadap perilaku berkonsumsinya, untuk menjaga kerusakan alam/lingkungannya, dan generasi mendatang. Namun guna menahan daya beli masyarakat desakan untuk menghilangkan bensin premium dari kota Jakarta harus diimbangi dengan insentif bagi pengguna BBM dengan kualitas yang lebih baik, misalnya BBM dengan RON 92, seperti pertamaks.
Mumpung harga minyak mentah sedang turun, maka PT Pertamina (Persero) bisa memberikan insentif pada penggunanya. Menurunkan harga BBM Insentif tidak harus menurunkan harga, tapi bisa dalam bentuk lain, seperti memberikan diskon pada konsumen. Dengar-dengar PT Pertamina sanggup memberikan diskon dimaksud, tetapi hanya untuk pengguna roda dua dan angkot.Â
Nah, lebih baik jika diskon itu diberikan pada semua pengguna kendaraan bermotor, termasuk pengguna mobil pribadi, setidaknya dalam satu bulan paska penghapusan premium. Ini dengan maksud agar mereka tidak shock dengan pengeluarannya, mengingat selama pandemi Covid-19 pendapatan masyarakat turun lumayan signifikan. Diskon harga BBM bisa menjadi oase bagi sebagian kalangan yang menginginkan agar harga BBM (non subsidi) diturunkan, sebagaimana di negara-negara lain. Adil kan? ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H