Mohon tunggu...
Syurawasti Muhiddin
Syurawasti Muhiddin Mohon Tunggu... Dosen - Psikologi

Berminat dalam kepenulisan, traveling, pengabdian masyarakat

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tenaga Kesehatan di Masa Pandemi Covid-19, antara Prestasi dan Stigma?

27 Juni 2020   23:04 Diperbarui: 27 Juni 2020   23:35 5301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sebagai individu, kita senantiasa berusaha untuk memahami orang lain. Hal ini dilakukan misalnya dengan mencoba menginterpretasikan perilaku orang tersebut. Boleh dikatakan, kenyataan inilah yang mendasari pengembangan beberapa teori-teori psikologi sosial, termasuk diantaranya teori atribusi. 

Teori atribusi berfokus pada bagaimana manusia biasa menjelaskan penyebab perilaku atau kejadian. Contohnya, apakah seseorang menunjukkan marah karena dia memiliki temperamen yang buruk atau karena sesuatu yang buruk telah terjadi?

Heider (1958), pengembang awal teori atribusi, percaya bahwa orang-orang seperti seorang psikolog yang naif. Mereka berusaha untuk memahami dunia sosial dengan melihat hubungan sebab dan akibat, bahkan ketika dua hal memang tidak memiliki hubungan.

Saat ini, manusia dari berbagai belahan dunia tengah melalui suatu peristiwa kehidupan bersejarah. COVID-19 yang pertama kali diidentifikasi di Wuhan, Cina pada bulan Desember 2019 ditetapkan sebagai suatu pandemik. 

Situasi pandemik ini telah memberikan dampak pada skala makro hingga mikro, yaitu perilaku individu. Berbagai bentuk perilaku individu dapat kita lihat selama masa pandemik ini, seperti panic buying, isolasi diri, rajin mencuci tangan, menjadi ahli dan pengamat dadakan, dan lain-lain.

Berbagai pihak juga menunjukkan perilakunya masing-masing sebagai individu yang tentunya memiliki naluri untuk bertahan hidup di tengah krisis, mulai dari presiden, menteri, petugas kesehatan, polisi, pengusaha, hingga masyarakat biasa. Di antara semua pihak itu, petugas kesehatan dianggap sebagai pejuang garis depan selama perjuangan melalui pandemik ini. Tidak sedikit rasa takut, pengorbanan harta dan nyawa, hingga stigma yang melekat padanya. Sebagai individu, bagaimana dinamika perilaku para petugas kesehatan dijelaskan dari teori atribusi Weiner?

"Salut Atas Perjuangan Petugas Kesehatan di Tengah Pandemi Virus Corona, Dirjen WHO: Kalian Melakukan Pekerjaan yang Heroik", "Anies Tulis Surat Ucapan Terima Kasih ke Tenaga Medis di Tengah Pandemi Corona" Dua judul berita ini setidaknya menggambarkan apresiasi yang diberikan kepada tenaga kesehatan atas pencapaiannya selama masa pandemik. Suatu prestasi di tengah krisis. 

Namun di balik pretasi tersebut, sebuah kepahitan tersendiri terkadang harus diterima tenaga kesehatan. "BPBD Sleman Ungkap Ada Tenaga Kesehatan Ditolak Warga", "Tragedi Sang Pahlawan Medis, Jenazahnya Ditolak Warga", "Kisah Tenaga Medis selama Pandemi: Ditampar Pasien hingga Jenazah Ditolak". Upaya mencapai prestasi diri di tengah penolakan dan stigma serta kemungkinan keputusan perilaku tenaga medis adalah penjabaran kasus yang akan dianalisis.

Konsep Utama Teori

Menurut Fiske and Taylor (1991), teori atribusi berkaitan dengan bagaimana social perceiver, dalam hal ini orang-orang/masyarakat, menggunakan informasi untuk sampai pada penjelasan sebab-akibat suatu peristiwa. Mereka mengkaji informasi yang telah dikumpulkan dan menggabungkan informasi-informasi tersebut untuk membentuk suatu penilaian kausal. 

Teori Atribusi banyak dikembangkan di kemudian hari, seperti Jones dan Davis dengan Teori Inferensi Koresponden (1965) dan yang dikenal luas adalah Teori Atribusi Kelley's Covariation Model. Bernard Weiner (1974) juga dikenal sebagai pengembang teori atribusi yang berbasis motivasi yang dikenal dengan Three-Dimensional Model.

Bernard Weiner mengembangkan teori atribusi perilaku intrapersonal yang menyoroti prestasi dan memiliki tiga prinsip. Prinsip pertama yaitu atribusi adalah proses tiga tahap: (1) perilaku yang diamati, (2) perilaku ditentukan (disengaja), dan (3) perilaku dikaitkan dengan penyebab internal atau eksternal. Prinsip kedua adalah prestasi dapat dipengaruhi oleh faktor: (1) upaya, (2) kemampuan, (3) tingkat kesulitan tugas, atau (4) keberuntungan. 

Prinsip ketiga berkaitan dengan dimensi kausal atau penyebab dari perilaku yaitu (1) locus of control, (2) stability, dan (3) controllability. Dimensi lokus mengacu pada persepsi tentang penyebab peristiwa sebagai internal atau eksternal. Dimensi stabilitas mengacu pada apakah penyebab kejadian stabil atau tidak stabil sepanjang waktu dan situasi. Dimensi kontrol mengacu pada apakah penyebab peristiwa berada di bawah kendali individu atau tidak.

Selain dimensi kausal, terdapat pula istilah causal antecedent dan causal consequences. Causal antecedent mengacu pada beberapa anteseden berbasis psikologis yang menimbulkan kepercayaan kausal, seperti hedonic concern. 

Anteseden kausal juga dapat berupa informasi khusus seperti cerita pengalaman masa lalu dan norma sosial. Sementara itu konsekuensi kausal mengacu kepada konsekuensi yang dihasilkan oleh causal belief (kepercayaan kausal) berupa emosi, ekspektasi kesuksesan dan perilaku.

Berkaitan dengan emosi, dimensi locus akan memberikan konsekuensi psikologis berupa perasaan bangga dan harga diri. Orang-orang merasakan kebanggaan dalam pencapaian mereka, terutama ketika mereka percaya bahwa itu adalah upaya mereka sendiri (internal locus) yang membawa mereka menuju kesuksesan. 

Dimensi stability berhubungan dengan ekspektasi kesuksesan, yaitu perasaan putus asa atau harapan. Pada atribusi stabil, individu percaya bahwa akan ada hasil yang berbeda di masa depan. Sebaliknya, tidak pada atribusi tidak stabil.  Sementara itu, dimensi controlabilty berkaitan dengan rasa bersalah dan rasa malu. Individu yang percaya bahwa mereka gagal karena kurangnya usaha mengalami rasa bersalah. Di sisi lain, mereka yang menganggap dirinya tidak layak lebih mungkin mengalami perasaan malu atau emosi yang serupa.

Weiner mengembangkan teori atribusi perilaku interpersonal dengan meneliti motivasi sosial, dalam hal ini perilaku memberikan bantuan. Ada dua poin utama, yaitu mempertimbangkan reaksi emosional pengamat/orang lain terhadap pencapaian ataupun perjuangan seseorang serta mendefinisikan kembali controllability yang disamakan dengan responsibility (tanggung jawab). 

Kontrol tersebut bisa dibedakan dari tanggung jawab. Ada sebagian tindakan yang dapat dikontrol, tapi individu tidak bertanggung jawab atau tanggung jawab berkurang. 

Pada saat seseorang membutuhkan bantuan, misalnya, ketika orang lain menilai bahwa situasi yang menimpa orang tersebut karena sesuatu tak terkontrol dan di luar tanggung jawab pribadinya, maka orang lain akan merasa simpati dan cenderung akan menolongnya. Sebaliknya, jika orang lain berpikir bahwa sesuatu yang menimpa orang tersebut berada dalam kontrolnya dan merupakan tanggung jawabnya, orang akan merasa marah (tidak bersimpati) sehingga enggan untuk menolong atau justru menunjukkan agresi.

Analisis Perilaku Tenaga Kesehatan

 Sebagai tenaga kesehatan seperti dokter dan perawat, tentunya ada kode etik tersendiri yang berusaha untuk dipatuhi serta standar pencapaian sebagai seorang dokter ataupun perawat. 

Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa merawat dan meringankan penyakit orang lain yang merupakan tugas tenaga kesehatan adalah prestasi minimal yang dicapainya. Sementara itu, merawat para penderita COVID-19 hingga sembuh di tengah pandemik ini merupakan prestasi yang dapat dianggap luar biasa meskipun hal itu memang merupakan tugasnya.

Kita akan membandingkan dua tenaga kesehatan (tenakes) yang memiliki perilaku berbeda. Salah satunya adalah mereka yang dengan gagah berani menjadi pasukan garda terdepan dalam merawat pasien COVID-19 hingga mendapatkan apresiasi seperti yang tertulis di berita-berita nasional hingga internasional. Satunya lagi, petugas kesehatan yang enggan untuk turun langsung dan justru protes terkait kinerja pemerintah yang tidak bisa menjamin APD (meskipun kasus seperti ini tidak sering terekspos).

Tenakes yang terlihat berprestasi di bidangnya dan rela menolong sebagaimana bawaan profesinya mengaitkan perilakunya-dalam hal ini upayanya sebagai tenakes- dengan faktor-faktor internal seperti upaya yang dikerahkan dan kemampuan yang dimilikinya. Dilihat dari dimensi lokus dan kontrolnya, keberhasilannya sebagai tenakes dipengaruhi oleh kemampuan yang dimilikinya, dan kepercayaan bahwa keberhasilannya itu berada di bawah kendalinya. 

Dilihat dari dimensi stability, keberhasilannya dipengaruhi oleh usahanya yang stabil. Mungkin saja ada kecenderungan mereka yang menunjukkan aksi heroik dimasa pandemik ini adalah seorang dokter atau perawat yang memang memiliki usaha yang tinggi bahkan sebelum covid-19 ini hadir. Tenakes yang cenderung memiliki lokus dan kontrol internal akan merasa lebih bangga pada dirinya sehingga dapat memiliki harga diri yang tinggi pula. 

Hal ini kemudian mempengaruhi perilakunya dimasa yang akan datang untuk tetap menunjukkan kontribusi maksimalnya. Ketika dia memiliki usaha yang stabil, harapannya untuk berhasil cenderung lebih tinggi; yang juga dapat membuatnya untuk tetap mempertahankan perilakunya merawat pasien COVID-19. Pun ketika kemampuannya rendah namun dia memiliki usaha yang tinggi, reward yang dirasakan ketika berhasil akan lebih besar sehingga perilakunya dikuatkan.

Sementara itu, bagi tenakes yang kelihatannya kurang berprestasi di masa pandemik ini mungkin saja mengatribusikan perilakunya pada faktor-faktor eksternal seperti keberuntungan dan kesulitan tugas. Mungkin saja mereka percaya bahwa mereka memiliki kemampuan dan upaya. Namun, kemampuan dan upaya itu terdominasi oleh causal belief bahwa kesulitan tugas mengalahkan upaya dan kemampuannya. Mereka bisa saja mempersepsikan bahwa kesulitan tugasnya mengalami peningkatan yang relatif stabil selama masa pandemik ini. 

Di tambah lagi dengan kepercayaan bahwa meskipun dirinya telah berusaha dan memiliki kemampuan, keberuntungan tetaplah sesuatu yang tidak pasti dan tidak stabil. Di tengah kondisi tidak pasti,  dirinya memang bisa mendapat keberuntungan, tapi peluang untuk mendapatkan sebaliknya juga sama. 

Bisa saja dia tetap tertular virus meskipun dia memiliki pengetahuan dan keterampilan mencegahnya serta usaha untuk menghindarinya. Pada kondisi ketika kemampuannya tinggi tapi usahanya cenderung rendah, ketidakberhasilannya menangani pasien menjadi punishment (malu, merasa bersalah) tersendiri yang pada akhirnya dapat melemahkan perilakunya di masa yang akan datang. 

Mereka mungkin melihat kesulitan tugas sebagai suatu yang signifikan di masa pandemik sehingga bagaimana pun upaya yang dikerahkan membuatnya tidak memiliki banyak harapan. Keberuntungan yang tidak stabil ini juga membuatnya sedikit berputus asa dalam mengupayakan kesembuhan pasien sekaligus mencegah dirinya tertular. Ketika tidak banyak harapan maka kemungkinan dia tidak akan menunjukkan perilaku yang berprestasi sebagai tenaga kesehatan.

Atribusi perilaku Tenakes tersebut tidak serta merta dijelaskan seperti di atas. Causal belief di atas juga dapat dipengaruhi oleh anteseden psikologis seperti pengalaman masa lalunya dan norma sosial. Tenakes yang membunyai pencapaian rendah tadi kemungkinan dipengaruhi oleh pengalamannya dulu yang pernah gagal menangani pasien dengan karakteristik serupa COVID-19 dan atau pernah tertular penyakit serupa COVID-19. 

Terkait dengan norma sosial, Tenakes yang memiliki pencapaian tinggi kemungkinan mempersepsikan harapan masyarakat terhadap peran tenakes yang tinggi, sebaliknya Tenakes yang memiliki pencapaian yang rendah melihat bahwa masyarakat tidak menaruh harapan besar terhadap perannya, atau mungkin saja harapan yang sangat besar yang diletakkan pada tenakes pada masa pandemik ini membuat motivasinya justru menurun, yang berarti usahanya menurun (terkait dengan gap antara peran yang diharapkan dan peran yang dipersepsikan)

Di samping itu, dapat juga terjadi bias hedonik dan bias observer vs aktor. Bias hedoneik terjadi ketika seseorang mengatribusikan keberhasilannya terhadap faktor internal dalam hal ini usaha yang dilakukannya, dan mengatribusikan kegagalan terhadap faktor lingkungan atau situasi. Meskipun hal ini merupakan suatu bias terhadap atribusi perilaku namun hal ini dapat mempengaruhi causal belief. Tenakes yang berprestasi tadi tidak menutup kemungkinan memiliki bias hedonik demikian sehingga dirinya meletakkan kepercayaan tinggi atas dirinya. 

Ketika justru dia gagal, dia cenderung akan menyalahkan situasi dan lingkungannya seperti pihak rumah sakit yang lamban dalam penanganan COVID-19, kebijakan pemerintah, dan seterusnya. Sementara pada Tenakes yang kurang beprestasi, bias hedonik ini justru dapat menghambatnya karena kepercayaan bahwa apapun yang dia lakukan akan tetap tidak dihargai oleh lingkungannya. 

Sementara itu, bias observer vs aktor adalah ketika aktor mengatribusikan perilakunya kepada situasi / lingkungan, sementara observer melekatkan penyebab perilaku tersebut pada karakteristik aktor. Orang lain sebagai pengamat mungkin saja akan tetap menganggap bahwa seorang pasien COVID-19 meninggal karena ketidakmampuan tenaga kesehatan dalam menanganinya atau dalam skala luas, managemen rumah sakit yang tidak bagus, padahal tenakes yang berprestasi tadi telah memberikan upaya yang besar serta memiliki kemampuan yang boleh dikatakan mumpuni. 

Tenakes yang awalnya berprestasi tadi, yang menganggap bahwa faktor situasilah yang membuatnya gagal, akan tetap cenderung dipandang oleh pengamat bahwa dirinya gagal secara personal sehingga bukan tidak mungkin bahwa pencapaianya akan menurun. Adanya bias ini pada dasarnya memberikan suatu insight bahwa upaya kita meramal perilaku orang lain termasuk tenakes saat masa pandemik bisa saja keliru dan kecenderungan kita untuk meletakkan penyebab keberhasilan pada diri membuat kita begitu percaya diri hingga lupa mempertimbangkan faktor lain ataupun membuat kita cenderung menyalahkan lingkungan/situasi ketika gagal padahal bisa saja kegagalan memang bersumber dari diri kita sebagai tenakes.

Selanjutnya, berkaitan dengan bagaimana respon masyarakat atau orang lain dalam meningkatkan motivasi dan pencapaian tenaga medis hingga munculnya stigma, prinsip teori atribusi interpersonal Weiner dapat digunakan. Di tengah pandemik COVID-19 ini, boleh dikatakan bahwa tenaga kesehatan adalah salah satu pihak yang berada di zona berbahaya apalagi mereka yang bekerja di rumah sakit rujukan COVID-19. Di Indonesia, kita mengetahui bahwa beberapa rumah sakit rujukan tersebut masih kekurangan APD sehingga para tenaga kesehatan tersebut membutuhkan bantuan APD. Sejauh ini kita melihat bahwa bantuan APD berdatangan dari berbagai pihak.

Masyarakat melihat bahwa COVID-19 ini berada di luar kontrol dan tanggung jawab sepenuhnya dari tenaga kesehatan sehingga kondisi yang dialami tenaga kesehatan menimbulkan simpati masyarakat hingga mendorongnya untuk menolong melalui berbagai cara. Kalaupun COVID-19 ini adalah sesuatu yang dapat dikendalikan (kontrol), yaitu tenaga kesehatan setidaknya menjaga dirinya agar tidak tertular dari pasien, masyarakat mungkin melihat bahwa tanggung jawab tenaga kesehatan berkurang karena perihal COVID-19 ini juga berhubungan dengan manajemen rumah sakit secara khusus dan kebijakan pemerintah secara umum. Jadi masyarakat juga melihat adanya tanggung jawab pemerintah terkait penanganan COVID-19. Hal ini membuat masyarakat mengambil tindakan untuk memberi bantuan secara masif.

Namun disisi lain, seperti yang terlihat pada judul berita di bagian awal, ada juga masyarakat yang menolak tenakes karena dianggap akan membawa penyakit. Hal ini kemungkinan terjadi karena masyarakat menganggap tenakes tersebut sepenuhnya mengontrol dan bertanggung jawab atas dirinya untuk tidak menyebarkan penyakit. Masyarakat menganggap bahwa tenakes tetap dapat mencegah dirinya dari penularan dan tidak perlu datang ke masyarakat karena berpotensi menjadi barrier virus.  

Adanya bias aktor vs observer tadi dapat memperkuat anggapan ini, yaitu masyarakat sebagai observer akan menganggap bahwa tenakes tetaplah bersalah ketika dia akhirnya tertular dan menyebarkan penyakitnya kepada orang lain. Meskipun dia tidak tertular, masyarakat melihat potensi penularan yang besar dari mereka yang dalam hal ini berhadapan dengan pasien COVID-19. Masyarakat pun akhirnya menunjukkan agresi (tidak simpati) dan justru menolak dan atau menjauhi alih-alih menolong. 

Ketika seseorang menganggap bahwa hal yang buruk menimpa seseorang karena kendali dan tanggung jawab pribadi dan itu diyakini oleh seluruh masyarakat, stigma dapat muncul terhadap tenakes pada masa pandemik COVID-19 ini. Stigma ini dapat menurunkan motivasi dan pencapaianya. Namun disisi lain, ada tenakes yang tetap berusaha menunjukkan upaya terbaiknya untuk mencapai hasil yang baik di tengah stigma itu.

Menjelaskan pencapaian tenakes yang melawan rasa takut, hingga berkorban nyawanya sendiri, tidak sesederhana prinsip asosiasi  (atribusi -- konsekuensi) di atas. 

Berbagai faktor lain dapat mempengaruhi di luar dari anteseden kausal dan kepercayaan kausal. Faktor-faktor yang ikut berpengaruh antara lain rasa kepemilikan dan loyalitas tenaga kesehatan atas profesinya, dukungan masyarakat dan rekan sesama profesi, termasuk kondisi sosial-ekonomi. 

Mungkin ada anggapan bahwa kelihatannya dokter yang telah "memiliki segalanya" akan lebih siap untuk menunjukkan totalitas karena dirinya telah mapan secara finansial. Ketika dia sakit, dia bisa membayar perawatan intensif lebih dari apa yang orang lain dapatkan di rumah sakit. Sementara itu dokter yang baru memulai karirnya akan cenderung mementingkan keselamatan pribadinya karena pertimbangan biaya yang dikeluarkan ketika dia tertular virus. Lebih dari itu, nilai-nilai yang diyakini juga menjadi faktor penentu dalam pencapaian tenaga kesehatan. Tenakes yang memiliki nilai altruisme dan spiritualitas yang tinggi kemungkinan akan cenderung lebih terlibat dalam menolong sesama manusia dibanding mereka yang tidak.

Seperti yang telah dijelaskan di bagian pendahuluan, teori atribusi ini merupakan suatu teori yang berupaya menjelaskan hubungan sebab-akibat dalam menjelaskan perilaku manusia. Menggunakan teori atribusi untuk menjelaskan perilaku tenakes yang beprestasi di tengah pandemik COVID-19, dimana stigma dapat muncul terhadap tenakes, adalah salah satu upaya untuk memahami realitas sosial yang kompleks. Teori atribusi bukanlah satu-satunya penjelasan dan tentunya teori ini tidak terlepas dari kritik. 

Salah satu insight penulis adalah teori ini kelihatannya sangat menitikberatkan pada kemampuan dan usaha individu sehingga cenderung terlihat sebagai teori yang individualistik dan bebas nilai, pada kenyataannya perilaku juga dipengaruhi faktor sosial yang mana di dalamnya seseorang dapat menginternalisasi sistem kepercayaan dan nilai-nilai yang akan mempengaruhi perilakunya.

Referensi

E.M.  Shaw  and  P.R.  Costanzo. (1982). Theories  of  Social  Psychology,  2nd ed. Japan: McGraw Hill.

Fiske, S. T., & Taylor, S. E. (1991). Social cognition (2nd ed.). New York: McGraw-Hill

Heider, F. (1958). The Psychology of Interpersonal Relations. New York: Wiley.

Weiner, B. (1972). Attribution theory, achievement motivation, and the educational process. Review of educational research, 42(2), 203-215.

Weiner, B. (2011). An attribution theory of motivation. Handbook of theories of social psychology, 1, 135-155.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun