Pengantar: Artikel ini untuk membuka diskusi bagi anda yang pernah menerima pendidikan atau pernah tinggal di Jerman. Diskusi yang akan mengumpulkan pendapat dan informasi tentang potensi teknologi konversi energi terbarukan dari Jerman untuk membantu peralihan energi fosil ke energi baru dan terbarukan di Indonesia. Indonesia perlu meniru proses dan keberhasilan transisi energi di Jerman. Hasil diskusi ini akan saya rangkum dan buatkan makalah untuk disampaikan kepada Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral Pemerintah Republik Indonesia dan para pengusaha Indonesia. Mari berdiskusi ! Â
Pendahuluan
Transisi energi secara ringkas dapat dinyatakan sebagai perubahan jangka panjang pada struktur  sistem energi. Jika diterapkan pada suatu negara, maka transisi energi harus mampu menunjukkan perubahan signifikan untuk sistem energinya, yang terkait dengan satu atau perubahan kombinasi struktur sistem, skala, ekonomi, dan kebijakan energi.Â
Pelaksanaan paradigma transisi energi ini dilandasi pada tiga kepentingan utama yaitu kepedulian pada lingkungan global, menjamin pasokan energi, mendapatkan pasokan energi yang lebih murah dan akrab lingkungan.
Lalu, negara mana yang telah menjalankan konsep transisi dengan baik? Jawabannya adalah Jerman. Jerman telah memberikan contoh peralihan penggunaan energi fosil bahkan nuklir ke energi terbarukan.Â
Jerman mendayagunakan semua potensi sumberdaya alam dan teknologi, serta menata kebijakan dan regulasinya sehingga peralihan energi ini berjalan sukses. Â Keberhasilan Jerman dalam transisi energi ini perlu dicontoh oleh Indonesia. Boleh jadi, opini ini disampaikan karena saya pernah belajar di Deutschland. Â Â
Pada kesempatan ini saya akan menjelaskan dua hal yaitu: Pertama, kondisi Indonesia yang membutuhkan tambahan pasokan energi terutama listrik untuk masyarakat. Kedua, Indonesia memiliki sumberdaya alam, baik dalam wujud posisi geografis dan geologi maupun ketersediaan sumber-sumber bahan baku untuk pangan, perumahan, energi, dan industri kimia. Â
Kondisi Indonesia: pasar atau tantangan teknologi?Â
Prioritas tambahan pasokan energi listrik di Indonesia berada di wilayah pedalaman, perbatasan dan pulau-pulau yang berpenghuni. Lebih 2500 desa yang belum mendapatkan pasokan listrik sama sekali, dan lebih dari 17.000 desa yang mendapatkan pasokan listrik hanya sekitar 12 jam per hari.Â
Posisi dan perkembangan desa yang  tersebar sporadis di pedalaman dan lebih banyak mengikuti pola aliran sungai atau jalan sehingga menyulitkan dan membutuhkan modal besar untuk membuat jaringan listrik dari PT. PLN (persero). Kondisi ini terjadi di wilayah pedalaman pulau Kalimantan, Sulawesi, dan Papua.Â
Kondisi serupa juga hampir sama di wilayah pesisir pantai dan pulau-pulau yang berpenghuni di sekitar DKI Jakarta, Riau Kepulauan, Sumatera Utara, Maluku dan Maluku Utara.
Desa-desa yang telah memiliki aktivitas ekonomi karena tersedia kemitraan dengan perkebunan sawit  sebagian telah mendapatkan pasokan listrik dari genset berbahan bakar solar yang umumnya dikelola oleh pengusaha lokal atau pejabat desa. Namun demikian, biaya operasional listrik ini sangat mahal karena mencapai Rp4.500/kWh (0.36 US$/kWh).Â
Akibatnya, pasokan listrik tersebut dibatasi hanya 10 -- 12 jam per hari. Penulis mendapatkan contoh desa desa seperti ini di Kabupaten Kutai Timur, Provinsi Kalimantan Timur.
Pada sisi lain, sebagian besar desa-desa di Indonesia memiliki potensi pengembangan energi terbarukan karena berada di lintasan matahari untuk membangkitkan listrik dari energi surya, aliran sungai untuk energi hidro, memiliki juga potensi untuk memanfaatkan energi angin dan panas bumi.Â
Potensi terbesar dan belum banyak dimanfaatkan adalah ketersediaan bahan baku biomassa yang berasal dari limbah pertanian, perkebunan, limbah hutan, bahkan masyarakat desa diajak untuk menyiapkan tanaman energi untuk menjadi bahan baku pembangkit listrik berbasis biomassa.Â
Yang sudah pasti, Indonesia menerima pancaran surya setiap hari. Beberapa wilayah seperti areal pantai dan pegunungan di Sulawesi dan kepulauan Nusa Tenggara memiliki kecepatan angin yang mampu menjadi sumber energi untuk sistem pembangkit listrik menggunakan turbin angin. Â Demikian juga dengan arus-gelombang lautnya berpotensi dikembangkan menjadi sumber listrik dalam skala besar.Â
Wilayah Indonesia yang menjadi lintasan api atas deretan pegunungan berapi menjadi areal yang bagus untuk investasi sistem pembangkit listrik dari panas bumi. Semua cerita ini adalah potensi pertama Indonesia untuk energi terbarukan.
Potensi kedua adalah posisi geografis yang berada di di antara dua dua benua (Asia -- Australia) dan dua samudra (Hindia dan Pasifik), dimana sumber daya bioenergi Indonesia mampu menjangkau Jepang, Taiwan, Cina, India, dan Korea. Dalam rentang waktu 5-6 hari pelayaran, bahan baku energi Indonesia mampu mencapai negara-negara tersebut.Â
Jika peluang ini dapat ditangkap maka juga terjadi transisi energi dari pengiriman gas alam dan batubara ke bahan baku bioenergi seperti pelet kayu atau pelet kayu tertorefaksi, atau charcoal. Pengiriman bioenergi ini  akan mampu membuat negara-negara tersebut menjalankan komitmennya pada Paris Agreement.   Â
Saya berharap bahwa informasi ini akan membuka diskusi dan berbagi pengetahuan namun namun tetap fokus pada dua topik yaitu:Â
(1) identifikasi teknologi energi terbarukan dari Jerman yang dapat disesuaikan dengan kondisi Indonesia. (2) strategi  dan teknik kerjasama yang harus dibangun oleh Jerman dan Indonesia untuk menjalankan transisi energi ini.  Â
Mari berbagi opini. Salam dari Bogor.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H