Kondisi serupa juga hampir sama di wilayah pesisir pantai dan pulau-pulau yang berpenghuni di sekitar DKI Jakarta, Riau Kepulauan, Sumatera Utara, Maluku dan Maluku Utara.
Desa-desa yang telah memiliki aktivitas ekonomi karena tersedia kemitraan dengan perkebunan sawit  sebagian telah mendapatkan pasokan listrik dari genset berbahan bakar solar yang umumnya dikelola oleh pengusaha lokal atau pejabat desa. Namun demikian, biaya operasional listrik ini sangat mahal karena mencapai Rp4.500/kWh (0.36 US$/kWh).Â
Akibatnya, pasokan listrik tersebut dibatasi hanya 10 -- 12 jam per hari. Penulis mendapatkan contoh desa desa seperti ini di Kabupaten Kutai Timur, Provinsi Kalimantan Timur.
Pada sisi lain, sebagian besar desa-desa di Indonesia memiliki potensi pengembangan energi terbarukan karena berada di lintasan matahari untuk membangkitkan listrik dari energi surya, aliran sungai untuk energi hidro, memiliki juga potensi untuk memanfaatkan energi angin dan panas bumi.Â
Potensi terbesar dan belum banyak dimanfaatkan adalah ketersediaan bahan baku biomassa yang berasal dari limbah pertanian, perkebunan, limbah hutan, bahkan masyarakat desa diajak untuk menyiapkan tanaman energi untuk menjadi bahan baku pembangkit listrik berbasis biomassa.Â
Yang sudah pasti, Indonesia menerima pancaran surya setiap hari. Beberapa wilayah seperti areal pantai dan pegunungan di Sulawesi dan kepulauan Nusa Tenggara memiliki kecepatan angin yang mampu menjadi sumber energi untuk sistem pembangkit listrik menggunakan turbin angin. Â Demikian juga dengan arus-gelombang lautnya berpotensi dikembangkan menjadi sumber listrik dalam skala besar.Â
Wilayah Indonesia yang menjadi lintasan api atas deretan pegunungan berapi menjadi areal yang bagus untuk investasi sistem pembangkit listrik dari panas bumi. Semua cerita ini adalah potensi pertama Indonesia untuk energi terbarukan.
Potensi kedua adalah posisi geografis yang berada di di antara dua dua benua (Asia -- Australia) dan dua samudra (Hindia dan Pasifik), dimana sumber daya bioenergi Indonesia mampu menjangkau Jepang, Taiwan, Cina, India, dan Korea. Dalam rentang waktu 5-6 hari pelayaran, bahan baku energi Indonesia mampu mencapai negara-negara tersebut.Â
Jika peluang ini dapat ditangkap maka juga terjadi transisi energi dari pengiriman gas alam dan batubara ke bahan baku bioenergi seperti pelet kayu atau pelet kayu tertorefaksi, atau charcoal. Pengiriman bioenergi ini  akan mampu membuat negara-negara tersebut menjalankan komitmennya pada Paris Agreement.   Â
Saya berharap bahwa informasi ini akan membuka diskusi dan berbagi pengetahuan namun namun tetap fokus pada dua topik yaitu:Â
(1) identifikasi teknologi energi terbarukan dari Jerman yang dapat disesuaikan dengan kondisi Indonesia. (2) strategi  dan teknik kerjasama yang harus dibangun oleh Jerman dan Indonesia untuk menjalankan transisi energi ini.  Â