Pemerintah Jerman melalui Bank Pembangunannya (Kreditanstalt für Wiederaufbau -KfW) telah menyatakan dukungan untuk pembangunan infrastruktur energi terbarukan dan lingkungan Indonesia. Pinjaman yang disediakan sekitar dua milyar Euro (Rp 31 triliun).
Kendati telah terbuka kesempatan emas untuk memanfaatkan modal tersebut seiring dengan keterdesakan Indonesia pada modal pembangunan nasional, namun juga harus cerdas membuka peluang alih teknologi dan pengetahuan karena pihak Jerman memang lebih unggul dalam pengembangan dan pemanfaatan energi terbarukan.
Artikel ini akan membuka dialektika bagi pengambil kebijakan nasional dan pemerhati energi terbarukan di Indonesia. Sekaligus mendorong peran alumni Jerman untuk menjembatani kepentingan ekonomi kedua negara. Bahkan memandu pengusaha dalam pemilihan teknologi yang tepat dan menjalankan unit usahanya.
Alasan Memilih Jerman
Argumentasi untuk menjadikan Jerman sebagai tempat belajar karena negeri itu sudah berpengalaman lebih dari 25 tahun dalam penerapan konsep penelitian dan aplikasi energi terbarukan. Bahkan Jerman menjadi salah satu penggagas kebijakan energi Eropa untuk mencapai target 20% penggunaan energi terbarukan dari total energi benua itu pada tahun 2020.
Negeri penghasil panser Scorpion ini, sejak dua dekade lalu telah menunjukkan upaya penggalian potensi negerinya untuk menghasilkan energi alternatif supaya menggeser peran energi fosil: batubara, minyak dan gas alam. Pada era tahun 1990-an, empat sumber energi yang menjadi prioritas penelitian Jerman yaitu energi air, energi angin, sinar matahari, dan pendayagunaan aneka jenis biomassa dengan produk utama adalah listrik, kemudian dikembangkan menjadi produk energi lain seperti biofuel, biogas, dan biosolid (Wiese, 1994).
Pilihan energi terbarukan bagi Jerman dipicu oleh keterbatasan sumberdaya alam ditengah tuntutan kebutuhan energi yang terus meningkat demi menopang perkembangan industrinya. Negera Federasi Jerman itu juga tersadarkan oleh dampak perubahan global dimana pencemaran udara dan gas rumah kaca akan semakin membahayakan umat manusia.
Evolusi Energi
Berdasarkan publikasi dari Jurnal ilimiah Hohmeyer dan Boum (2014), Jerman mengalami tiga fase evolusi penggunaan energi. Fase pertama I: 1975-1997, Jerman sempat memilih nuklir sebagai alternatif energi. Namun dalam perjalanan waktu, telah disadari bahwa terdapat bahaya yang luar biasa karena limbahnya beradiasi dan sulit terurai dalam jangka waktu lama. Kendati penanganan limbah nuklir dengan menempatkannya dalam lokasi khusus dan rahasia namun sulit untuk diamankan dalam jangka panjang. Belum lagi masalah keselamatan dan keamanan yang rentan terhadap sumber energi tersebut. Peristiwa Chernobyl dan Fukushima membuat arah penyediaan energi di Jerman menjadi berubah total.
Fase Kedua: 1998-2009, Jerman dan konsorsium penelitinya bersama dengan peneliti Eropa telah mencanangkan bahwa penyediaan energi alternatif harus mencapai 80% penurunan CO2 dengan cara mengaktifkan kekuatan negaranya bersama dengan negara-negara di Uni Eropa (Eropean Union-EU) untuk memakai energi terbarukan dari matahari, angin, hidro, gelombang laut, dan biomassa. Diharapkan skenario yang dibuat itu, membuat Jerman dan EU mampu menyediakan 90% untuk pembangkit listrik, dan lebih dari 20% untuk total kebutuhan energinya.
Pada fase ketiga: 2010 hingga sekarang, telah diperoleh kesepakatan untuk mencapai penyediaan energi listrik dari sumber energi terbarukan. Jadi jangan heran, jika kita berkunjung ke Jerman, maka akan disuguhkan hamparan panel-panel surya dan kincir angin di sepanjang jalan raya bebas hambatan, termasuk juga panel-panel surya untuk gedung-gedung dan rumah tangga kendati hanya digunakan untuk sistem penghangat ruangan.
Pemanfaatan sampah kota juga telah berjalan baik, dan dimulai dari sumber awalnya yaitu rumah tangga, hotel, dan perkantoran serta super market. Sampah, telah dipilah menjadi komponen awal seperti kertas, plastik, organik, logam, kaca yang diolah kembali oleh perusahaan terkait. Pola daur ulang limbah ini, tetap mendayagunakan potensi energinya menjadi sumber listrik atau diekstrak menjadi biofuel.
Pembangkit listrik di Jerman telah melakukan perubahan dan adaptasi bahan baku. Awalnya mengandalkan batubara dan kini beralih secara bertahap ke kombinasi batubara-biomassa dan akhirnya total ke biomassa. Bahkan dalam proses konversi itu, terus dicari dan diupayakan tingkat efisiensi terbaik dengan mengandalkan berbagai teknik konversi seperti mengkombinasikan antara panas dan daya (combine heat & power-CHP).
Dari rentetan cerita sukses ini, tampak bahwa Jerman membangun paradigma penyediaan energi terbarukannya secara terencana, sistematis dan berkelanjutan yang ditopang oleh keharmonisan kerja antara peneliti, lembaga penelitian atau universitas, dan perusahaan. Paradigma ini perlu dicontoh dan diadaptasikan untuk Indonesia jika berkemauan membangun ketahanan dan kemandirian energinya.
Peluangnya apa?
Menilik persyaratan pinjaman Bank KFW ini, orientasi pilihan teknologi “Green Power Generation” ini ditekankan pada pembangkit energi yang menggunakan sumber yang dapat diperbarui seperti energi surya, angin, hidro, gelombang laut dan kelautan, bioenergi, dan panas bumi. Bahkan juga memprioritaskan penerapan manajemen efisiensi energi pada sistem industri.
Indonesia sebaiknya tidak hanya terpaku pada aspek ketersediaan pinjaman, namun harus mampu membuka peluang untuk belajar lebih banyak tentang energi terbarukan pada Jerman. Mengapa tidak? Selain keterbatasan modal untuk investasi, Indonesia juga masih mengalami kesenjangan penguasaan teknologi karena belum mengakarnya penelitian dan pengembangan. Belum lagi, jika melibatkan aspek sumberdaya manusia maka akan terasa bahwa Indonesia memerlukan strategi dan program kerja yang terarah, fokus dan berkesinambungan untuk bisa mengambil manfaat pendayagunaan energi terbarukan. Termasuk, mengurangi karakter perusahaan Indonesia yang masih menganut paham pedagang sehingga negerinya hanya sebagai target pasar.
Peluang yang harus dibuka dan dijalankan oleh Indonesia secara paralel, sistematis, terencana dan berkelanjutan harus dibagi menjadi empat prioritas penting:
Pertama, pengalihan dan adaptasi teknologi Jerman untuk Indonesia dalam kerangka bisnis-riset.
Kedua, kaitkan antara SDM Jerman dengan SDM Indonesia untuk pengelolaan energi terbarukan tersebut. Pilihan ini tidak akan sulit karena telah banyak putra-putri terbaik Indonesia yang telah mengenyam pendidikan bahkan menjadi diaspora di Jerman. Lulusan Jerman, umumnya bekerja sebagai pengajar dan peneliti, serta sebagian juga berprofesi wirausaha.
Ketiga, kaitkan antara pengusaha Jerman dan Indonesia selaku pelaksana dengan dukungan kebijakan dan regulasi Indonesia yang memberikan rasa aman, nyaman, dan tidak membingungkan dalam proses-proses investasi tersebut. Keempat, aktifkan kerjasama lembaga keuangan kedua negara supaya mampu seirama dalam orkestra penyediaan energi nasional.
Manfaat
Jika pengembangan dan penerapan energi terbarukan dapat dijalankan dengan baik, maka Indonesia akan memetik lima manfaat. Pertama, terjadi peningkatan kemampuan penyediaan sumber energi alternatif selain hanya mengandalkan sumber energi dari fosil (minyak, gas alam, dan batubara).
Kedua, tersedia teknologi yang sesuai dengan kondisi ekologi sosial dan budaya nasional. Potensi Indonesia luar biasa pada aspek sumber energi karena berada di bawah posisi lintasan surya setiap hari, kondisi geografis yang mendukung untuk memetik energi angin setiap daerah, banyak sumber energi air dari aliran atau air terjun, serta limbah pertanian dan pemukiman yang tersedia di setiap kota dan kabupaten.
Ketiga, upaya pelestarian lingkungan karena mampu memanfaatkan limbah industri pertanian dan pemukiman menjadi produk energi.
Keempat, terbuka peluang untuk melakukan ekspor produk energi dalam bentuk aneka jenis produk bioenergi ke manca negara terutama negara-negara yang mengandalkan energi fosil dan tidak memiliki sumber energi seperti Jepang, Korea Selatan, Singapura, dan Taiwan. Produk bioenergi yang dihasilkan dapat berupa pelet biomassa, biodiesel, biocoal, dan metanol.
Manfaat kelima adalah penyediaan lapangan kerja dan usaha. Peluang kerja ini tidak hanya pada tenaga terdidik tetapi juga pada tenaga terlatih karena pembangunan energi terbarukan setara dengan pembangunan industri yang mengolah bahan baku namun dari sumber yang dapat diperbarui.
Keharmonisan Peneliti – Industri
Berdasarkan pengalaman penulis, karakteristik khas Jerman adalah keterkaitan dan keselarasan antara peneliti, institusi penelitian dan pendidikan, serta industri dalam mendayagunakan sumberdaya manusia dan alamnya untuk mencapai target-target pembangunan yang berkelanjutan (Lihat Gambar). Peneliti yang bekerja di pusat penelitian atau universitas bekerja dengan industri untuk melahirkan teknologi dan SDM yang terdidik atau terlatih. Hasil penelitian menjadi pelopor terhadap kemajuan sebuah industri dan sebaliknya juga permasalahan di sektor industri menjadi santapan para peneliti untuk dicari solusinya. Konsekuenasi logis peneliti menjadi lebih sejahtera. Keselarasan dan saling membutuhkan ini juga ditunjang oleh dana penelitian dari pemerintah dan pihak industri.
Upaya penyediaan energi merupakan bagian dari tahapan pembangunan sistem industri nasional, dimana kemampuan handal sangat diperlukan untuk melakukan perencanaan yang meliputi penyiapan sdm, riset pendahuluan, anggaran, pengurusan izin. Kemudian dilanjutkan dengan pelaksanaan pembangunan, pengoperasian pembangkit atau pabrik energi, pemeliharaan, dan evaluasi serta perbaikan dari sistem tersebut.
Generasi Indonesia saat ini perlu menyadari bahwa pinjaman itu bukan kekayaan untuk dinikmati sendiri, tetapi modal untuk meringankan kehidupan beban generasi Indonesia masa mendatang. Targetnya, Mandiri dalam Energi dan Sejahtera !
Pustaka
Tulisan lengkap dapat diakses di https://t.co/q1l4tkXVV5
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H