Pada fase ketiga: 2010 hingga sekarang, telah diperoleh kesepakatan untuk mencapai penyediaan energi listrik dari sumber energi terbarukan. Jadi jangan heran, jika kita berkunjung ke Jerman, maka akan disuguhkan hamparan panel-panel surya dan kincir angin di sepanjang jalan raya bebas hambatan, termasuk juga panel-panel surya untuk gedung-gedung dan rumah tangga kendati hanya digunakan untuk sistem penghangat ruangan.
Pemanfaatan sampah kota juga telah berjalan baik, dan dimulai dari sumber awalnya yaitu rumah tangga, hotel, dan perkantoran serta super market. Sampah, telah dipilah menjadi komponen awal seperti kertas, plastik, organik, logam, kaca yang diolah kembali oleh perusahaan terkait. Pola daur ulang limbah ini, tetap mendayagunakan potensi energinya menjadi sumber listrik atau diekstrak menjadi biofuel.
Pembangkit listrik di Jerman telah melakukan perubahan dan adaptasi bahan baku. Awalnya mengandalkan batubara dan kini beralih secara bertahap ke kombinasi batubara-biomassa dan akhirnya total ke biomassa. Bahkan dalam proses konversi itu, terus dicari dan diupayakan tingkat efisiensi terbaik dengan mengandalkan berbagai teknik konversi seperti mengkombinasikan antara panas dan daya (combine heat & power-CHP).
Dari rentetan cerita sukses ini, tampak bahwa Jerman membangun paradigma penyediaan energi terbarukannya secara terencana, sistematis dan berkelanjutan yang ditopang oleh keharmonisan kerja antara peneliti, lembaga penelitian atau universitas, dan perusahaan. Paradigma ini perlu dicontoh dan diadaptasikan untuk Indonesia jika berkemauan membangun ketahanan dan kemandirian energinya.
Peluangnya apa?
Menilik persyaratan pinjaman Bank KFW ini, orientasi pilihan teknologi “Green Power Generation” ini ditekankan pada pembangkit energi yang menggunakan sumber yang dapat diperbarui seperti energi surya, angin, hidro, gelombang laut dan kelautan, bioenergi, dan panas bumi. Bahkan juga memprioritaskan penerapan manajemen efisiensi energi pada sistem industri.
Indonesia sebaiknya tidak hanya terpaku pada aspek ketersediaan pinjaman, namun harus mampu membuka peluang untuk belajar lebih banyak tentang energi terbarukan pada Jerman. Mengapa tidak? Selain keterbatasan modal untuk investasi, Indonesia juga masih mengalami kesenjangan penguasaan teknologi karena belum mengakarnya penelitian dan pengembangan. Belum lagi, jika melibatkan aspek sumberdaya manusia maka akan terasa bahwa Indonesia memerlukan strategi dan program kerja yang terarah, fokus dan berkesinambungan untuk bisa mengambil manfaat pendayagunaan energi terbarukan. Termasuk, mengurangi karakter perusahaan Indonesia yang masih menganut paham pedagang sehingga negerinya hanya sebagai target pasar.
Peluang yang harus dibuka dan dijalankan oleh Indonesia secara paralel, sistematis, terencana dan berkelanjutan harus dibagi menjadi empat prioritas penting:
Pertama, pengalihan dan adaptasi teknologi Jerman untuk Indonesia dalam kerangka bisnis-riset.
Kedua, kaitkan antara SDM Jerman dengan SDM Indonesia untuk pengelolaan energi terbarukan tersebut. Pilihan ini tidak akan sulit karena telah banyak putra-putri terbaik Indonesia yang telah mengenyam pendidikan bahkan menjadi diaspora di Jerman. Lulusan Jerman, umumnya bekerja sebagai pengajar dan peneliti, serta sebagian juga berprofesi wirausaha.