“Pak Idris, karena Edah mau menolong saya, saya mau berikan semua buku-buku pelajaran saya waktu kelas I yang sudah tidak kupakai. Bukunya masih ada di asrama, karena harus bolak balik ke asrama, boleh tidak saya minta bantuan Pak Idris membersihkan WC 19, pagi ini saya kena giliran membersihkan WC itu. Saya takut kalau-kalau terlambat masuk kelas.”
Pak Idris manggut-manggut, “Baiklah Nak, nanti Bapak bersihkan. WC 19 ya?”
“Iya, Pak. WC 19.”
Dengan penuh riang aku cepat-cepat berlari pulang, seolah-olah memang aku akan takut terlambat masuk kelas. Aku berlari ke asrama mengambil buku-buku pelajaran kelas I yang dibutuhkan Eda Subaedah di SMP barunya.
Sementara Pak Idris membersihkan WC 19, aku bolak balik mengangkuti beberapa buku untuk Eda Subaedah.
Setelah semuanya selesai, Eda Subaedah berkata, “Kak, Edah belajarnya di SMP umum, Eda tidak memerlukan buku Hadits, Tafsir, Tajwid, Mutalaah, Mahfudzat, Fiqhi dan teman-temannya ini.”
Gubrak!!! Aku melupakan hal ini.
Sebelum ketahuan pak Idris yang sibuk membersihkan negeri jiran WC 20, aku harus segera pergi.
“Maaf, Edah. Saya harus pulang mandi, nanti terlambat masuk kelas bisa-bisa aku masuk Qismul Amni.”
Akupun berlari pulang ke asrama. Tak kuat aku lama-lama berada dekat Lady Diana. Hatiku berbunga-bunga. Aku membayangkan diriku pada subuh ini bagaikan Pangeran Charles.
Selang seling suara ayam milik Pak Yusuf sudah mulai berkokok, di ujung jalan pertigaan sumur Wustha aku dihadang inspektorat kebersihan Mahkamah Bahasa. Petugas ini bertugas mengecek apakah santri yang mendapat hukuman membersihkan WC sudah melakukan tugasnya dengan baik.