“Assalamu alaikum!!! Pak Idris.” Aku memberi salam keras-keras. Pak Idris kaget hampir terjengkang.
Ini rahasia kawan, sungguh aku beberkan padamu sebuah rahasia. Jika kamu gugup, takut, cemas, merasa lebih rendah dengan seseorang yang akan kamu temui, dan ingin membuatnya tak berdaya dan bertekuk lutut di hadapanmu, maka ucapkanlah salam yang keras ketika bertemu. Silahkan dicoba.
Pak Idris termangu sejenak memperhatikan aku. Tidak biasanya ada santri yang berkunjung ke rumah seorang tukang bersih-bersih, mataharipun belum lagi menampakkan diri.
“Waalaikum salam. Yah ada apa subuh-subuh kemari, Nak?”
Lihatlah, Pak Idris tak berdaya.
“Pak, saya dengar Edah sekarang sudah masuk SMP 6.”
“Ya, benar itu. Lalu?”
“Kebetulan tetangga saudara saya bernama Wardah dari kampung dulu juga bersekolah di situ. Sekarang dia baru naik kelas II, saya mau memberikan buku pada teman saya itu melalui Edah. Boleh tidak ya, Pak? Maaf, subuh-subuh sudah merepotkan.”
Kawanku dari kampung teman SMP Eda bernama Wardah ini tentu saja fiktif, palsu sepalsu-palsunya, tidak ada, aku karang-karang saja nama Wardah. Dan saya yakin Eda tidak akan menemukan makhluk itu sampai kiamat di SMP 6. Kalaupun ada kesamaan nama, pasti hanya kebetulan belaka.
Di hadapan pak Idris yang masih terpana diam beribu bahasa aku tersipu-sipu melawan malu tiada tara. Ini nekat, sungguh nekat. Bagaimana kalau Pak Idris tidak senang dengan kedatanganku, terus ia melapor ke Qismul Amni, ke Pimpinan Pondok. Maka matilah aku.
Tapi aku percaya, salam pertamaku ketika awal jumpa tadi sudah membuatnya takluk sejak dari pikiran.