Mohon tunggu...
Sy Rosmien
Sy Rosmien Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Menulis adalah obat jiwa.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Santri Bahlul: Letupan-letupan Tak Biasa

20 Agustus 2016   08:44 Diperbarui: 20 Agustus 2016   11:21 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernah tidak, di suatu masa kamu bertetangga dengan seorang anak perempuan kecil, rumah kalian berhadap-hadapan, anak perempuan kecil itu hobinya main bola bekel bersama teman-temannya, suatu permainan yang menggunakan bola kecil yang mirip bola tenes tanpa bulu jika melenting di atas lantai hukum gravitasi memakan waktu cukup lama untuk mendarat kembali di atas lantai, sehingga si perempuan kecil memiliki waktu untuk membolak balik beberapa cangkang kerang dari posisi tengkurap ke telentang atau sebaliknya dari telentang ke tengkurap.

Perempuan kecil pada masa yang dimaksud itu penampilannya kumal, dekil, kudisan, kurapan, ingusnya kiri dan kanan balapan naik dan turun.

Lalu tiba-tiba di suatu pagi yang cerah ketika kamu membuka jendela rumahmu, dihadapanmu perempuan kecil itu menjelma menjadi bidadari, lalu cerita-cerita tentang masa lalu si perempuan kecil itu menguap bersama waktu lalu lenyap di telan bumi.

Nah, tadi siang aku mengalami hal itu, aku dibuat terpesona. Eda Subaedah putri pak Idris tukang bersih-bersih di pondok ini yang dulu suka digendong-gendong bapaknya kemana-mana, ikut menyapu lantai aula yang luasnya seperti lapangan bola, ikut bapaknya memangkas rumput halaman depan pondok dengan mesin rumput yang suaranya mirip motor ketinting (sejenis perahu kecil bermesin yang banyak berseliweran sepanjang sungai Pallime dan Cenrana), (Kalau Pallime dan Cenrana masih perlu penjelasan lagi, ia adalah daerah dengan sungai yang merupakan surga kepiting yang ada di Kabupaten Bone Sulawesi Selatan).

Perempuan dekil itu dulu juga senang ikut mengangkuti sampah dari ruang percetakan. Ikut mengepel lantai dapur yang baunya Naudzubillah min zalik. Anak kecil berjenis kelamin perempuan kumal yang kemana-mana ikut bapaknya dan kalau pulang diam di rumah itu, kini menjelma menjadi bidadari. Cling!!!!!

Sempat aku tak percaya dengan pandangan mataku, aku naik kelas III dan Eda Subaedah kini sudah masuk SMP. Tadi siang aku melihatnya melintas di depan dapur berseragam putih biru dan berbelok ke kanan menuju rumah Pak Idris yang searah jalan menuju WC 20. Aku sungguh tak yakin itu Eda Subaedah, kemana saja aku selama ini?

Ah, asrama Diponegoro sudah menjauhkan aku dari asrama Ibnu Khaldun dan Pak Idris. Apakah perempuan yang baru saja aku lihat itu kakaknya Eda Subaedah dari tanah antah berantah? Atau sepupunya atau siapapun itu yang memilik kerabat dekat dengan Pak Idris atau Nyonya Idris asalkan bukan Eda Subaedah, sebab tidak mungkin dia Eda Subaedah. Sangat tidak mungkin. Mustahil!!! Ia terlalu cantik jelita. Eda Subaedah yang kukenal semasa aku kelas I saat bermukim di asrama Ibnu Khaldun bukan begini wujudnya.  

Tapi ternyata setelah tanya sana tanya sini memang betullah dia Eda Subaedah, perempuan kecil yang dulu luput dari perhatian kini menjelma menjadi seorang puteri. Sopir KijangSuki sampai bersumpah demi apapun.

“Tanda lahirnya di bawah bibir, noooh.. ada tai lalatnya kan?” Foto Eda Subaedah ukuran 3x4 waktu mendaftar masuk SMP di ketuk-ketuknya di hadapanku.

Eda Subaedah kini kulitnya putih bersih, kinclong seperti baju baru keluar dari mesin cuci, lalat yang menempel di kulitnya pun terpelanting saking licinnya. Ingus kehijau-hijauan nomor sebelas dulu yang suka menghiasi bawah hidungnya, jadi cerita lama kini lenyap seperti disedot vacum cleaner dan tidak keluar lagi diam di tempatnya. Rambutnya yang dulu awut-awutan kini rapi model bob dibando berhiaskan  kupu-kupu. Bulu matanya lentik asli bukan bulu mata palsu buatan pabrik di Garut. Dan sekilas kulihat ia menitipkan senyumnya di udara sebelum berbelok. Entah untuk siapa senyuman itu. Aih.......aih.....

Oh, Tuhan.. mengapa aku melihat Eda Subaedah kini seperti bidadari turun dari langit? Bagiku kini Eda adalah Lady Diana versi Asia. Aku tak yakin dia anak Pak Idris penanggung jawab kebersihan pondok ini. Mungkin saja dulu pak Idris pernah mengadopsi sepupu jauh Lady Diana. Atau pada saat Nyonya Idris melahirkan di rumah sakit, tanpa sengaja atas kelalaian perawat, anak Nyonya Idris tau-tau sudah tertukar dengan anak tantenya Lady Diana.

Ah, mengapa bertepatan dengan masa puberku aku ketemu dengan Eda Subaedah anak Pak Idris penanggung jawab kebersihan pondok ini?

Pak Idris petugas kebersihan pondok yang badannya kurus, rambutnya ikal dan kulitnya hitam dihiasi urat-urat yang menonjol di lengannya tapi rajin dan uletnya tiada tanding tiada banding.

Pak Idris yang tidak pernah berhenti bekerja dari pagi hingga menjelang maghrib semua sudut-sudut pondok bersih kena scan oleh tangan beruratnya.

Pak Idris bahu membahu dengan santri pelanggar disiplin dan pelanggar bahasa di pondok menjadikan pondok ini asri, bersih, rapi jali.

Mengapa Eda Subaedah harus menjadi anak pak Idris? Kata pepatah, buah jatuh tidak akan jauh dari pohonnya. Tapi dalam kasus pak Idris dan Eda Subaedah, mungkin saja pohonnya tumbuh di pinggir sungai, lalu ketika buahnya jatuh dari pohonnya, si buah hanyut terbawa sungai dan terdamparlah ia sampai ke muara.

Lalu entah seribu mengapa lainnya terus menjejali pikiranku.

Tapi aku tak peduli Eda Subaedah anak siapa, yang jelas senyumnya  tadi siang yang digantung di udara entah didedikasikan pada siapa sudah cukup melambungkan angan-anganku. Asa dan harapanku selain menjadi ulama intelek, intelek ulama kini bertambah, ada Eda Subaedah.

Untuk pertama kalinya dalam hidupku aku merasakan letupan-letupan tak biasa yang keluar dari dalam dadaku. Ya Tuhan, Maha Suci Engkau telah menciptakan rasa ini. Subhanallah, akupun tak tahu ini rasa apa namanya. Rasanya begitu nyaman menentramkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun