Mohon tunggu...
Sy Rosmien
Sy Rosmien Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Menulis adalah obat jiwa.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Santri Bahlul: WC Nomor 20

13 Agustus 2016   15:08 Diperbarui: 17 Agustus 2016   21:33 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku selalu penasaran dengan WC 20, pintunya selalu ditutup rapat. Tak seorangpun santri yang berani buang hajat di situ. Mungkin karena sudah terlalu banyak kisah yang disenandungkan angin, digiring-giring bagai bola, digoreng-goreng bagai ikan mairo kecap, dan dibumbui penyedap rasa takut, rasa ngeri, rasa penasaran, sehingga siapapun tak berani mengarahkan pandangan ke arah di mana WC 20 berada. Santri yang kebeletpun lebih memilih menunggu WC lainnya selesai digunakan oleh santri lain daripada buang hajat di WC 20.

WC 20 letaknya di sudut kiri belakang pondok, WC itu berjajar rapi sebanyak 20 blok, blok yang paling dekat ke rumah Pak Idris tukang bersih-bersih pondok adalah WC nomor 1, dan blok yang merapat pada pagar tembok terluar pondok yang  berseberangan dengan asrama Ibnu Khaldun III adalah WC nomor 20.

Penampakan WC nomor 20 itu memang suram sesuram-suramnya. Konon WC 20 itu dulunya adalah lubang bekas kuburan massal satu keluarga yang dibunuh kompeni beberapa puluh tahun silam. Hiiii...

Kakak kelas dari periode ke periode ramai menceritakan keangkeran WC 20. Siapapun yang berani buang hajat di sana, akibatnya sungguh mengenaskan. Dari cerita-cerita yang pernah saya dengar dari versi pembina kakak kelas V dulu semasa aku tinggal di asrama Ibnu Khaldun II, pernah ada santri yang berani buang hajat di WC 20 setelah makan siang, tetapi belum lagi sempat berhadats, santri itu sudah kesurupan dan berbicara ngawur pakai bahasa Belanda. Ia berteriak-teriak tak jelas dengan mata melotot kemerah-merahan.

Santri itu masih bisa mengeluarkan dirinya sendiri dari WC 20 dengan cara merangkak, kedua tangannya merapat  ke lantai WC, lalu lutut dan kakinya diseret seperti suster ngesot. Layaknya singa kelaparan belum makan satu bulan, mulutnya menyeringai lalu ia menggeram, melolong laksana serigala membangunkan santri-santri yang asyik tidur siang.

Santri-santri terbangun kaget bukan main, mereka berlarian menuju suara lolongan itu, demi melihat penampakan santri kesurupan, mereka berebut hendak menolongnya, namun santri yang telah berubah wujud menjadi sangat mengerikan itu sangat liar dan susah dijinakkan.

Goedemiddag, hoe gaat het met je,” teriaknya dengan suara berat mirip orang tercekik menggunakan bahasa Belanda. Tangannya dikibas-kibaskan seperti sedang bermain bola pingpong.

Para santri takjub, karena arwah yang masuk mungkin saja seorang turis dari Belanda. Susah diajak berkomunikasi.

Setiapkali tangannya berusaha dipegang oleh santri senior, ia bisa lolos melepaskan tangannya lalu berteriak meraung-raung dengan menggunakan bahasa Belanda yang susah dimengerti.

Kom niet als benaderde me je smakken.” Santri itu terus meracau tak karuan. Tenaganya sangat kuat mengalahkan banteng Spanyol, siapapun tiada berani mendekat.

Barulah setelah beberapa ustaz turun tangan membacakannya ayat-ayat suci, dan menyemburkan air azimat ke mukanya, santri itu baru bisa tenang dan tertidur tiga hari tiga malam.

Itulah cerita yang kudengar versi kakak kelas V. Entah benar atau tidak, wallahu a’lam.

Lain lagi cerita yang kudapat dari versi kakak kelas VI.....................................................(diam dulu beberapa saat, pada saat aku menulis ini, tiba-tiba bulu kudukku merinding). Syahdan, cie....biar tidak gentar. (WC 20 disebut namanya saja sudah cukup membuat pendengarnya tutup kuping), adalah lokasi yang paling keramat di pondok ini, pada malam-malam tertentu bau-bau aneh keluar dari dalam WC itu. Bau aneh yang keluar biasanya diiringi dengan percikan nyala cahaya yang sekejap saja.

 Momen itu berlangsung hanya sepersekian detik tapi sudah cukup membuat bagi yang melihatnya seperti kehabisan darah, rasanya sukma seperti tersedot keluar melalui jari-jari, ubun-ubun dan tengkuk. Karena cahaya yang keluar memancar itu seperti menyedot apa saja yang ada di dalam tubuh bagi yang melihatnya. Seperti cerita yang telah kudengar korbannya tak jarang pingsan dan begitu tersadar sudah lupa siapa dirinya sendiri.

Lagi menurut versi Kakak kelas VI, seorang santri senior sok berani yang memiliki keberanian 45 dan tidak percaya cerita takhayul mencoba untuk menjajal angkernya WC 20. Di suatu malam Jumat entah pon atau kliwon ia bermaksud membuang hajatnya di WC 20. Dengan disaksikan puluhan pasang mata kawan-kawannya.

Pada malam yang sudah ditentukan, diiringi doa dan pacuan semangat para sahabatnya berangkatlah ia dengan semangat 45 menuju WC 20 dengan seember air di tangannya.

10 menit, 20 menit, 30 menit, santri pemberani anti cerita takhayul itu belum juga keluar menampakkan batang hidungnya. Buang hajat di atas 30 menit adalah waktu tak wajar, maka kawan-kawannya pun berteriak memanggil-manggil. Setelah digedor, barulah santri itu keluar dengan senyum-senyum simpul. Angkuh, sombong, “tidak ada apa-apa bukan? Takhayul itu semua. WC ini tidak ada apa-apanya.”

Tapi keesokan harinya, santri itu menderita sakit berkepanjangan dan sembuh satu bulan kemudian.      

Cerita itu sudah cukup membuat siapapun santri tak berani mengarahkan pandangannya ke WC 20.

Malam ini aku tak bisa tidur. Aku baru saja menghadiri pengadilan Mahkamah Bahasa untuk yang kesekian kalinya. Aku tercekat tak bisa bersuara dan bernafas normal ketika menerima hukuman harus membersihkan WC no. 19.

“Apa??? WC nomor 19, Kak? Coba periksa lagi, siapa tahu ada yang salah.”

Orang Mahkamah Bahasa itu sejenak saja mendongak memperhatikan parasku. Seperti tiada dosa ia kembali menulis dengan dingin. Menulis lokasi hukuman santri pelanggar bahasa selanjutnya setelah namaku.

Aku terus menatapnya, meminta pembenaran, meminta revisi, meminta pernyataan kesalahan atas WC 19 itu. Tapi orang Mahkamah Bahasa itu tidak terusik. Mukanya datar seperti papan cucian di sumur Wustha.

“Kak, jangan WC nomor 19, Kak!!!” Aku merengek, mencoba melakukan tawar menarif. Kenapa tawar menarif, bukan tawar menawar, karena bagi saya kata tawar menawar itu adalah permintaan untuk mengurangi dengan diikuti respon oleh pihak kedua, istilah kerennya ‘negosiasi’ sementara si Kakak Petugas Mahkamah Bahasa itu, terkenal tidak akan pernah goyah akan keputusannya. Padahal apa susahnya sih menghapus angka satu di depan angka sembilan? Jadi kata tawar menawar bagiku adalah percuma, alias tidak mungkin. Tiada guna. Tepatnya sia-sia.

 “Mau WC 20???” Ucapnya pelan. Tanpa dosa.

Aku bergidik mendengar nama tempat itu, tiba-tiba lidahku kelu, lututku gemetar, bulu-bulu kecil yang menghiasi seluruh permukaan kulitku bermekaran.

“Oh, kalau begitu WC 19 saja, Kak.” Aku berlari pulang ke asrama.

WC 19 tentu saja bersebelahan dengan WC 20. Istilah diplomatiknya negeri jiran. Ibaratnya WC 19 itu Indonesia, maka WC 20 itu Malaysia. Dan esok pagi setelah shalat subuh aku harus berada di situ. Aku ngeri membayangkan tugas itu esok hari. Bagaimana kalau lagi asyik-asyiknya membersihkan WC 19, tiba-tiba ada suara dari negeri jiran, “Hai.. lagi ngapain Kamu di situ? Rajin amat sih, Kamu.” Mau aku jawab apa coba.

Atau, begitu berada di depan pintu WC 19 ada tulisan di sana, Sorry, aku ke wartel dulu, kunci dititipkan di tetangga sebelah, minta ajah, gak usah sungkan-sungkan.

Aduh bagaimana ini, aku tidak bisa tidur, sudah pukul 12:00 malam teng, esok subuh giliranku azan subuh di mesjid. Jadi aku harus berada di mesjid sebelum azan subuh. Ya iyalah, kan aku yang harus azan subuh.

Tapi, tiba-tiba saja aku ada akal. Sesungging senyuman menghiasi bibirku. Pelan-pelan aku baca doa sebelum tidur: Allahumma Kamaa Hassanta Khalqiy, Fahassin Khuluqiy... Ih salah, aku kok malah baca do’a bercermin. Ini pasti gara-gara ide brilian yang membuat aku tersenyum. Lalu.... Bismika Allahumma Ahya’ Wa Bismika Amutu.

 

SANTRI BAHLUL Adalah kelanjutan dari DIARY SANTRI.

NOVEL DIARY SANTRI Sudah Dibukukan. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun