Itulah cerita yang kudengar versi kakak kelas V. Entah benar atau tidak, wallahu a’lam.
Lain lagi cerita yang kudapat dari versi kakak kelas VI.....................................................(diam dulu beberapa saat, pada saat aku menulis ini, tiba-tiba bulu kudukku merinding). Syahdan, cie....biar tidak gentar. (WC 20 disebut namanya saja sudah cukup membuat pendengarnya tutup kuping), adalah lokasi yang paling keramat di pondok ini, pada malam-malam tertentu bau-bau aneh keluar dari dalam WC itu. Bau aneh yang keluar biasanya diiringi dengan percikan nyala cahaya yang sekejap saja.
Momen itu berlangsung hanya sepersekian detik tapi sudah cukup membuat bagi yang melihatnya seperti kehabisan darah, rasanya sukma seperti tersedot keluar melalui jari-jari, ubun-ubun dan tengkuk. Karena cahaya yang keluar memancar itu seperti menyedot apa saja yang ada di dalam tubuh bagi yang melihatnya. Seperti cerita yang telah kudengar korbannya tak jarang pingsan dan begitu tersadar sudah lupa siapa dirinya sendiri.
Lagi menurut versi Kakak kelas VI, seorang santri senior sok berani yang memiliki keberanian 45 dan tidak percaya cerita takhayul mencoba untuk menjajal angkernya WC 20. Di suatu malam Jumat entah pon atau kliwon ia bermaksud membuang hajatnya di WC 20. Dengan disaksikan puluhan pasang mata kawan-kawannya.
Pada malam yang sudah ditentukan, diiringi doa dan pacuan semangat para sahabatnya berangkatlah ia dengan semangat 45 menuju WC 20 dengan seember air di tangannya.
10 menit, 20 menit, 30 menit, santri pemberani anti cerita takhayul itu belum juga keluar menampakkan batang hidungnya. Buang hajat di atas 30 menit adalah waktu tak wajar, maka kawan-kawannya pun berteriak memanggil-manggil. Setelah digedor, barulah santri itu keluar dengan senyum-senyum simpul. Angkuh, sombong, “tidak ada apa-apa bukan? Takhayul itu semua. WC ini tidak ada apa-apanya.”
Tapi keesokan harinya, santri itu menderita sakit berkepanjangan dan sembuh satu bulan kemudian.
Cerita itu sudah cukup membuat siapapun santri tak berani mengarahkan pandangannya ke WC 20.
Malam ini aku tak bisa tidur. Aku baru saja menghadiri pengadilan Mahkamah Bahasa untuk yang kesekian kalinya. Aku tercekat tak bisa bersuara dan bernafas normal ketika menerima hukuman harus membersihkan WC no. 19.
“Apa??? WC nomor 19, Kak? Coba periksa lagi, siapa tahu ada yang salah.”
Orang Mahkamah Bahasa itu sejenak saja mendongak memperhatikan parasku. Seperti tiada dosa ia kembali menulis dengan dingin. Menulis lokasi hukuman santri pelanggar bahasa selanjutnya setelah namaku.