Mohon tunggu...
Syofyan el Comandante
Syofyan el Comandante Mohon Tunggu... Pelaut - Sekretaris Jenderal SP.SAKTI/Mahasiswa STIH Sultan Adam Banjarmasin.

Mantan awak kapal yang ingin mendedikasikan sisa hidup untuk pelindungan hak - hak pekerja maritim

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Konflik Norma antara Undang-Undang Pelayaran dan Undang-Undang ketenagakerjaan: Tinjauan terhadap Hak Cuti dan Kompensasi PHK

29 Agustus 2024   07:21 Diperbarui: 29 Agustus 2024   07:30 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pendahuluan

Dalam dunia hukum, konflik norma sering kali muncul ketika terdapat peraturan yang saling bertentangan. Hal ini juga berlaku dalam konteks hubungan hukum antara Undang-Undang Pelayaran dan Undang-Undang Ketenagakerjaan, khususnya terkait hak cuti dan kompensasi pemutusan hubungan kerja (PHK) bagi awak kapal.

Dasar Hukum

Undang-Undang Pelayaran

Peraturan Pemerintah No 07 Tahun 2000 sebagai aturan turunan dari Undang-Undang Pelayaran memberikan ketentuan khusus mengenai hak cuti bagi awak kapal, yaitu:

Hak Cuti:

Setiap awak kapal berhak mendapatkan cuti tahunan yang lamanya paling sedikit 20 (dua puluh) hari kalender untuk setiap jangka waktu 1 (satu) tahun bekerja. ( pasal 24 ayat 1 )

Kompensasi PHK: 

- Apabila terjadi pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha angkutan di perairan karena kapal musnah atau tenggelam, pengusaha angkutan di perairan wajib membayar pesangon kepada awak kapal yang bersangkutan sebesar 2 (dua) kali penghasilan bulan terakhir dan hak lainnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku ( pasal 27 ayat 1)

- Apabila terjadi pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha angkutan di perairan karena kapal dianggurkan, atau dijual, pengusaha angkutan di perairan wajib membayar pesangon kepada awak kapal sesuai peraturan perundang- undangan yang berlaku.( pasal 27 ayat 2 )

Undang-Undang Ketenagakerjaan

Di sisi lain, Undang-Undang Ketenagakerjaan mengatur:

Hak Cuti:

 Cuti tahunan, sekurang kurangnya 12 (dua belas) hari kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas) bulan secara terus menerus;( pasal  79 ayat 2 huruf C )

Kompensasi PHK: Apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian kerja waktu tertentu, atau berakhirnya hubungan kerja bukan karena ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1), pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja. ( pasal 62 )

Analisis Konflik Norma

Lex Specialis Derogate Legi Generali

Prinsip hukum ini menyatakan bahwa norma yang lebih khusus mengesampingkan norma yang lebih umum. Dalam konteks ini, jika kita mengacu pada azas tersebut, Undang-Undang Pelayaran seharusnya diutamakan karena memberikan ketentuan spesifik bagi awak kapal.

 Namun, ada ketentuan dalam Pasal 337 Undang-Undang Pelayaran yang menyatakan bahwa masalah ketenagakerjaan di bidang pelayaran diatur oleh perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan. Hal ini menimbulkan kebingungan mengenai norma mana yang seharusnya diterapkan.

Implikasi Praktis

Hak Cuti: Perbedaan signifikan dalam hak cuti dapat berakibat pada kesejahteraan awak kapal. Apakah mereka berhak atas 20 hari cuti atau hanya 12 hari menjadi pertanyaan yang harus dijawab dengan jelas.

Kompensasi PHK: Ketidakpastian mengenai kompensasi yang harus diterima awak kapal juga dapat mempengaruhi stabilitas finansial mereka, terutama dalam kondisi sulit seperti kapal tenggelam atau dijual

Kesimpulan

 Konflik norma antara Undang-Undang Pelayaran dan Undang-Undang Ketenagakerjaan menciptakan tantangan bagi awak kapal dan perusahaan pelayaran. Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan harmonisasi peraturan yang lebih jelas, sehingga setiap pihak dapat memahami hak dan kewajiban mereka dengan baik. Selain itu, peran pemerintah dalam menyusun regulasi yang koheren dan komprehensif sangat penting untuk menciptakan kepastian hukum di sektor pelayaran.

Rekomendasi

Harmonisasi Regulasi: Perlu adanya kajian lebih lanjut untuk menyelaraskan norma-norma yang ada agar tidak terjadi konflik.

Sosialisasi Hukum: Meningkatkan pemahaman hukum di kalangan pelaku industri pelayaran dan awak kapal mengenai hak dan kewajiban mereka.

Pengawasan dan Penegakan Hukum: Memperkuat mekanisme pengawasan untuk memastikan bahwa hak-hak pekerja di bidang pelayaran dilindungi secara efektif.

Dengan pendekatan yang tepat, diharapkan konflik norma ini dapat diminimalkan dan hak-hak pekerja dapat terlindungi dengan baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun