[caption id="" align="aligncenter" width="624" caption="Ilustrasi/Kompasiana (kompas.com)"][/caption] Kata tiba-tiba muncul di alunan jemari.. Mengusik mata yang sudah ingin terpejam.. Mengusili pikiran dengan ribuan kalimat yang berantakan.. Terbang mengambang di atas langit ingatan.. Sunyi seakan setuju saat aku beranjak dari tempat nyamanku.. Angin malam menuntunku untuk menarikan jemariku.. Mengambil potong-potong kalimat yang berantakan.. Dan kemudian menyusun dengan rapi bak sutra di tangan sufi.. Alunan malam penuh cahaya bulan membuat terang.. Meniadakan gelap yang sedari tadi merangkul kesunyian.. Menerpa dingin yang tak henti memeluk ilalang di pojok taman.. Menggantinya dengan selimut kehangatan sang penyusun harmoni malam.. Jemariku tak henti menari, Seakan menuruti bahwa sunyi memiliki nadanya sendiri.. Terus dan terus menari lentik di alas ketik yang sudah semakin canggih.. Berputar-putar bak tarian sufi yang sudah majnun dengan sang ilahi.. Terima kasih sunyi, Kau selalu bisa membuatku bersahabat dengan imaji, Merangkai bait-bait yang muncul dengan sendiri, Kemudian memeluknya menjadi satu, Puisi.. Terima kasih sunyi, Aku di pihakmu, meskipun orang selalu memakimu.. Aku merinduimu, walau kadang kau hanya semu.. Aku bersamamu, memelukmu dalam kasat mataku.. Sekali lagi.. Terima kasih untukmu.. Sunyi..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H