Tulisan ini saya buat secara naratif dengan tujuan untuk berbagi dan memberikan beberapa pelajaran serta catatan bagi diri saya dan keluarga khususnya serta para pembaca sekalian umumnya mengenai bagaimana pengalaman yang saya hadapi saat dioperasi di Helsinki, Ibu Kota Negeri Seribu Danau, sebutan bagi negara Finlandia di Eropa Utara yang juga terpilih selama empat tahun berturut-turut sebagai negara paling bahagia sedunia.
Sebuah Keputusan
“Bip”, bunyi mesin scanner membaca kartu KELA (Kartu jaminan sosial semacam BPJS saya di sini) setelah saya menggunakan handsanitizer lalu menekan beberapa tombol pada layar. Lalu secara otomatis keluar kertas kecil berisi tiga bahasa, Finlandia, Swedia dan Inggris yang menyatakan jadwal pemeriksaan saya, dokter yang akan memeriksa serta instruksi menuju lokasi pemeriksaan. Saya datang lebih awal satu jam saat itu saat saya yakin tidak ada gejala covid-19 yang saya alami, di samping itu juga karena saya ingin menikmati perbekalan lebih dahulu dan menghindari jika harus membayar denda jika terlambat datang dari jadwal yang lebih mahal dari biaya pemeriksaan.
Saya lalu kembali ke taman di luar dan mencari kursi yang kosong. Di sana ada seorang nenek yang tengah menjaga cucunya di kereta bayi lalu saya berjalan lebih dalam, ada seorang petugas medis yang sedang menikmati makanannya, sekitar tiga meter saya duduk di bangku berjajar menghadap taman yang belakangan saya baru sadari bahwa itu adalah makam kuno. Sambil menikmati salad tuna yang dibelikan oleh suami saya sesekali mengecek jam.
Memang berbeda di masa pandemi ini, setiap kali ke RumahSakit(RS) kini tidak bisa lagi didampingi, bahkan panduan dari Rumah Sakit lewat surat dan SMS juga menyarankan hingga jika orang tua mendampingi anaknya yang yang sakit, saudaranya yang masih kecil juga tidak boleh diajak ke RS.
Setelah selesai saya masuk kembali dan mengambil jalan di lorong kiri gedung sebagaimana petunjuk dalam kertas dan petunjuk ruangan. Sampai di tempat yang dimaksud, ada kode digital nomor panggilan pasien yang sedang ditangani dan saya menunggu di ruang tunggu, ruang yang sama dengan pemeriksaan sebelumnya di dokter Spesialis yang berbeda. Saya mencuci tangan, menenangkan diri, kemudian nomor antrian berganti.
“AMANATI”, perawat memanggil nama saya dan menghampiri ruang tunggu
“Yes” saya menarik nafas panjang sambil kami menuju ruang pemeriksaan ia mengajak berbicara dan saya meminta maaf dengan bahasa Finlandia seadanya
“Anteeksi ei suomi, englanti” yang maksud saya tidak bisa bahasa Finlandia (Suomi) namun dengan bahasa Inggris saja. Di dalam, perawat tadi menjelaskan soal bahasa kepada dokter perempuan, usianya nampak sepantaran dengan orang tua saya, ia membuka-buka komputer dan perawat pertama mulai meminta dokumen administrasi termasuk 4 lembar formulir yang telah diberikan sebelumnya dan telah saya isi, yang di dalamnya ada pilihan bahasa pelayanan dan juga jenis makanan yang saya konsumsi.
Lalu ia memeriksa di komputernya dan mulai menanyakan kondisi yang saya alami, salah satunya intensitas dan frekuensi rasa sakit yang saya rasakan. Dokter juga memeriksa dokumen itu lalu sempat menanyakan “Tolak angin” yang saya tulis, saya sampaikan itu salah satu minuman jamu yang saya konsumsi jika saya merasakan kurang enak badan, terakhir saya menitip dibawakan kepada teman saat bertemu di Estonia, tetangga Finlandia.
Dokter mengangguk, melanjutkan membaca serta melihat ke layar komputernya sambil sesekali mengarahkan mouse, kemudian perawat kedua yang lebih muda dan menggunakan hijab masuk lalu bergabung dengan kami. Dokter mendekat ke arah saya, ia menunjukkan gambar berwarna di meja.