Guru merupakan salah satu faktor utama bagi terciptanya generasi penerus bangsa yang berkualitas, tidak hanya dari sisi intelektulitas saja melainkan juga dari tata cara berperilaku dalam masyarakat. Kini, untuk mengkriminalkan seorang guru tidaklah sulit. Banyak hal yang memberi kemungkinan besar guru masuk di dalamnya. Sebut saja akibat tindakan menjewer murid, dalam perspektif si guru tidak disiplin dan layak dijewer agar siswa itu bisa lebih disiplin. Faktanya, sekarang banyak orang tua dan pihak-pihak tertentu yang tidak setuju guru main jewer. Â hal ini sangat berlebihan tentunya karena maksud dari guru bukanlah untuk melakukan penghinaan akan tetapi agar si murid tersebut lebih disiplin.
Pada dasarnya guru ingin mendidik muridnya untuk lebih disiplin tapi malah diadukan ke kantor polisi dengan dalih guru melakukan perbuatan yang tidak menyenangkan. Bahkan hanya dengan menepuk pundak siswanya, dengan maksud memberikan teguran ini dianggap kriminal oleh orang tua wali murid.1 Contoh yang paling nyata adalah kasus guru di SMKN 1 Taliwang yang dikriminalisasi Oleh Orang Tua Siswa.
Saat ini, Akbar Sarosa sedang menghadapi proses hukum dan masih menunggu keputusan dari hakim. Mustakim Patawari selaku Ketua Komite sekolah memohon kepada majelis hakim agar memberikan kebebasan kepada guru tersebut. Dia juga menekankan bahwa pukulan yang diberikan oleh Akbar tidak mengakibatkan luka parah atau cacat permanen pada murid.
"Lagipula pukulannya tidak berakibat cidera berat atau cacat permanen, karena itu, kami mohon kepada majelis hakim sebagai benteng terakhir keadilan melihat kasus ini dengan mata hati. Kami mohon Akbar Sarosa diberi kebebasan," ujar Mustakim Patawari.
Mustakim Patawari mengkhawatirkan bahwa jika hakim memutuskan Akbar bersalah, hal ini bisa menjadi contoh buruk bagi guru lainnya. Dia berpendapat bahwa guru-guru mungkin akan enggan mendisiplinkan murid-murid mereka karena takut menghadapi tindakan hukum serupa. Hal ini berpotensi mengarah pada ketidakmauan seseorang untuk menjadi guru di masa depan.
"Guru tak mau lagi mendidik. Karena takut dikriminalisasikan. Mereka hanya mengajar sekedar melaksanakan tugas." ujarnya lagi.
Selain itu, Mustakim Patawari juga merasa khawatir bahwa guru-guru mungkin akan kehilangan minat dan perhatian pada perkembangan murid-murid mereka jika mereka merasa terancam oleh hukuman atas tindakan disiplin yang mereka ambil.
"Hari ini Akbar yang jadi korban. Mungkin besok atau lusa guru Siti, guru Aminah, guru Ahmad yang dilaporkan. Kalau seperti ini, saya khawatir tidak ada yang mau jadi guru."
"Begitu juga guru, akan hilang kepeduliannya pada anak didik. Guru akan masa bodoh. Terserah, apakah muridnya mau pintar, berakhlak atau bodoh. Kalau begini, bahaya bagi dunia pendidikan," jelasnya lagi.
Mustakim Patawari menggarisbawahi situasi seperti ini dapat mengancam dunia pendidikan secara keseluruhan.
Kenapa sekarang orang tua gampang laporkan guru yang hukum anaknya?
Hingga saat ini, kita mungkin masih merasa prihatin ketika ada kasus di mana siswa dan keluarganya secara fisik atau verbal menyerang guru mereka sendiri. Kemungkinan kita juga merasa kesal ketika seorang guru dilaporkan oleh orang tua siswanya, bahkan dalam kasus yang sebenarnya sepele.
Namun, yang sering terjadi adalah bahwa semakin lama, semua ini menjadi lebih umum dan terulang, bahkan menjadi hal yang biasa saja. Ketika guru-guru semakin mudah dikriminalisasi, maka yang ditakutkan, guru tak mau lagi tegas pada siswanya karena khawatir dipolisikan.
Lagi pula, siapa, sih, yang mau dipenjara hanya karena mengurus satu anak bandel yang kemudian berlagak seolah-olah adalah korban? Sebetulnya kita mungkin setuju jika guru harus mengubah pendekatan mengajarnya. Tantangan sudah berubah dan pendekatan pedagogi mestinya juga menyesuaikan persoalan zaman.
Meskipun begitu, tidak semua orang tua dengan mudah mengubah sikap mereka dengan segera melaporkan guru anak mereka ke polisi. Beberapa dari mereka melaporkan kasus ini dengan cepat, terkadang melibatkan media dan membesar-besarkan masalah tersebut. Mereka sering kali berteriak bahwa sekolah seharusnya menjadi tempat pendidikan, sementara sebenarnya pendidikan pertama seharusnya dimulai di rumah. Jelas bahwa waktu yang dihabiskan siswa di sekolah tidak sebanyak waktu yang mereka habiskan di rumah bersama keluarga.
Orang tua seharusnya juga menjadi teladan dalam hal ini. Jika mereka terlalu sering melaporkan masalah kecil di sekolah, kemungkinan besar anak-anak mereka akan cenderung mengadu setiap kali sesuatu tidak sesuai dengan keinginan mereka.
Alih-alih guru yang membentuk karakter siswa, seringkali karakter anak yang terbentuk oleh orang tua siswa. Karena takut mendapat  laporan atau tindakan hukum, guru mungkin menjadi enggan menegur siswa yang melanggar aturan. Mereka mungkin tidak berani menjatuhkan hukuman sesuai aturan. Padahal, kita tahu bahwa tegaknya aturan adalah kunci keberhasilan. Namun, jika guru takut dihukum atau dilaporkan, mereka mungkin akan lebih memilih untuk tidak menindak siswa yang melanggar aturan.
Dampaknya adalah siswa semakin merasa mereka bisa melakukan apa saja tanpa konsekuensi. Mereka bisa merokok di sekolah, menonton konten tidak pantas, membolos, atau bahkan mengganggu teman-temannya tanpa takut diberi sanksi.
Ketika guru mencoba untuk menegur atau menghukum mereka sesuai aturan, siswa cenderung mengadu ke orang tua mereka. Orang tua, dalam banyak kasus, akan memenuhi keinginan anak mereka dan bahkan mungkin membalas dendam ke guru.
Karakteristik anak mungkin sebagian besar dipengaruhi oleh pendidikan orang tua. Jika orang tua selalu memenuhi setiap keinginan anak mereka, bahkan jika tidak diperlukan, maka anak dapat tumbuh menjadi pribadi yang tidak bertanggung jawab. Ini termasuk ketika anak meminta barang mahal seperti ponsel baru atau sepeda motor meskipun belum cukup umur.
Orang tua sering kali menyalahkan pihak lain jika anak mereka melakukan kesalahan. Mereka mungkin menyalahkan orang lain dan alasan seperti anak mereka masih di bawah umur. Ini adalah pertanyaan yang perlu dihadapi.
Namun, orang tua juga perlu melihat ke dalam diri mereka sendiri. Apakah mereka telah melakukan pendidikan yang tepat kepada anak-anak mereka dan memenuhi peran mereka sebagai guru pertama anak-anak mereka, terutama dalam hal perilaku? Sebagai orang tua, mereka memiliki hak untuk menyampaikan protes jika anak mereka mendapat pendidikan yang tidak sesuai atau tidak efektif, tetapi seharusnya mereka mengkomunikasikannya dengan guru anak mereka sebelum mengambil tindakan ekstrem.
Jika mereka merasa bahwa sekolah tidak sesuai dengan pendidikan yang mereka inginkan untuk anak mereka, maka mencari sekolah yang lebih cocok mungkin menjadi alternatif yang lebih baik. Banyak orang tua yang dengan cepat mengkritik cara guru mengajar di sekolah, tanpa menyadari bahwa mereka sendiri mungkin kurang efektif dalam mendidik anak mereka. Sekolah adalah tempat untuk mendidik, tetapi tetap saja pendidikan pertama dan utama harus dimulai dari rumah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H