Mohon tunggu...
Syifa Susilawati
Syifa Susilawati Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pembelajar

Mahasiswi Sarjana - Sejarah Peradaban Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Membaca Iklim Politik Rezim Orde Baru

14 Juni 2022   14:27 Diperbarui: 6 Juli 2022   17:46 368
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: google picture

Saat kudeta PKI (1965) gagal, para jenderal yang konservatif di masa orde baru membabat semua organisasi kiri, anggota hingga simpatisannya, dengan cara-cara brutal. Sumber kekuatan PKI kebanyakan adalah para petani miskin dan muslim nominal yang berdomisili dari daerah jawa. Operasi pembabatan ini melibatkan 500.000 orang indonesia yang dianggap berpihak kepada komunis, meski akhirnya tidak semuanya terbukti. 

Pembabatan dilakukan dalam berbagai macam bentuk, seperti dibunuh, ditangkap, bahkan dipenjara. Tidak hanya itu, semua ideologi dan kalangan intelektual yang bersebrangan dengan kebijakan pemerintah di orde baru ini akhirnya menghadapi kecemasan yang sama.

Rezim orde baru dibawah pimpinan suharto, bercorak militeristik. Sekalipun pemerintah masih mengizinkan oposisi dalam ruang demokrasi, namun kaum marxis tidak diberi ruang gerak sama sekali. 

Pada 1980, sistem parlemen multi partai berlaku. Tapi partai golkar pada saat itu justru bertindak sebagai satu partai yang hegemonik. Hal ini terjadi karena didalamnya terdapat koalisi yang kuat antara kelompok militer dan birokrasi. 

Pada masa itu, militer adalah algojo kekuasaan. Masih pada masa orde baru berkuasa, pembatasan independensi media massa juga dilakukan. Pengawasan terhadap oposan dan pihak-pihak yang bersebrang jalan dengan pemerintah semakin diperketat. Maka dalam hal ini, kooptasi media sangat rentan dan mudah sekali disusupi kepentingan-kepentingan penguasa demi langgengnya marwah kekuasaan yang sedang berlaku.

Kebebasan publik sangat dipersempit ruang geraknya, khsusnya para pekerja pers yang secara tidak langsung tertuntut untuk menghindari isu-isu keluarga suharto, kritik soalan hukum, isu politik, isu agama, gerakan separatis dll.

Meski demikian, Suharto pada pahun-tahun itu berusaha untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, dan itu berhasil. Namun di sisi yang lain konflik publik dan politik semakin memanas. Antara tahun 1982 hingga 1993 beberapa surat kabar ditutup karena dianggap membahas konten-konten sensitif yang dilarang pemerintah.

Sebagaimana diketahui, rezim orde baru menganut birokrasi yang condong kapitalistik. Hal ini terbukti dengan keterlibatan aktif para pejabat pemerintah dalam kegiatan ekonomi nasional. 

Birokrasi kapitalisme ini dicampuri oleh tangan barat, sehingga memang pembangunan ekonomi sangat besar peningkatannya. Namun kemajuan dan pertumbuhan ekonomi itu tidak mampu mengentaskan masalah kemiskinan, pemerataan penduduk dan korupsi justru merajarela.

Jika pada era rezim sukarno berkuasa, Indonesia memiliki kedekatan dengan komunnis blok soviet. Maka era rezim Suharto, pemerintahan cenderung lebih pro terhadap barat. Akibatnya, gerbang investasi barat terhadap indonesia terbangun massif seiring berjalannya waktu, termasuk dalam perubahan corak nilai budaya nasional di Indonesia yang akhirnya cenderung dimediasi oleh kebudayaan barat.

Hal ini pula yang barangkali menjadi sebuah fakta menarik, bahwa sepanjang catatan sejarah Indonesia, sejak RI hingga NKRI, ternyata prinsip politik non-blok itu hanya berupa teori politik. Indonesia tidak memiliki kekuatan ideologi yang utuh dan identitas murni yang mampu bertahan dari gempuran ideologi internasional. Buktinya, kecenderungan Barat-Timur itu selalu berlaku sesuai arah angin rezim yang berkuasa. Berganti kekuasaan, berarti berganti pula kecenderungan politiknya. Maka kecondongan politik di dekade ini pula barangkali tidak dapat dijamin telah lepas sama sekali.    

Kemajuan pertumbuhan ekonomi di masa rezim suharto berkuasa, memang layak untuk diperhitungkan. Ia berhasil mengurangi inflasi, meningkatkan pendapatan per kapita, pertumbuhan ekonomi 5%, kemiskinan yang pada tahun 1976 sekitar 40%, pada 1987 berkurang 17-20% dan pada tahun 1994 menjadi 14%.

Namun meskipun angka 30% sudah bisa dikatakan berhasil untuk mengurangi persentase kemiskinan, namun masih banyak sekitar separuh dari penduduk yang hidup dalam kemiskinan, yang tidak lebih baik dari sebelumnya. Sejumlah 40 persen dari angkatan kerja statusnya menganggur, buruh mendapatkan upah minimum dibanding upah pejabat.

Di masa ini juga, pencegahan serius terhadap kebangkitan islam militan sangat diwaspadai. Maka banyak usaha-usaha intelejen dan kooptasi terhadap gerakan-gerakan islam dilakukan dan hasilnya yang cukup memuaskan. Pada akhir tahun 1970-an partai politik berbasis islam baik dari kalangan tradisionalis maupun modernis dipaksa untuk meleburkan diri kedalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dengan tujuan untuk mengurangi oposisi pemerintahan. Turbulansi politik pada masa orde baru memang sekali lagi, sangat sensitif pada persoalan-persoalan agama, islam khususnya. Karena bukan tanpa alasan, setelah tahun 1965-1966 ancaman komunis dapat dikendalikan, oposisi utama di Indonesia hanyalah muncul dari kalangan Islamis.

Umat islam khususnya yang berasal dari kalangan santri banyak menentang kebijakan sekuler pemerintah dan menginginkan pendekatan sosial budaya yang lebih islami. Bahkan banyak diantara mereka yang membenci ideologi sinkretis pancasila. Yang mana hal ini mendorong masyarakat untuk mencari alternatif pemerintahan dan sistem sosial yang lebih cocok dengan kebutuhan mereka. Karena islam bagi mereka adalah lebih dari sekadar identitas dan komunitas.

Banyak narasi kebencian yang akhirnya dilontarkan masyarakat pada masa orde baru seperti, menyalahkan pemerintah atas standar hidup masyarakat yang semakin parah, oportunistik gaya hidup mewah, keserakahan dan korupsi di kalangan elitis, tingkat kemiskinan di perkotaan dan pedesaan yang cukup parah, malnutrisi akibat distribusi tidak efisien, ketegangan muslim dan pemerintah sipil (khususnya di dalam persitiwa tanjung priok tahun 1984), murahnya harga demokrasi, terancamnya kebebasan publik dan lain-lain. Kritik datang dari berbagai aspek. Baik dari aspek kehidupan politik, ekonomi, sosial budaya, dan agama.

Sumber Bacaan:

Lockard, C. A. (1998). DANCE LIFE Popular Music and Politics in Southeast Asia. Honolulu: University of Hawai‘i Press.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun