Sebagai satu-satunya penyedia listrik utama di Indonesia, PLN memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat. Meski demikian, perusahaan ini kerap dikritik karena inefisiensi operasionalnya, terutama dalam hal pemanfaatan sumber daya dan birokrasi internal yang menghambat inovasi. Salah satu tantangan utama PLN adalah kurangnya fleksibilitas dalam mengadopsi teknologi baru, seperti smart grid dan energi terbarukan. Proses pengambilan keputusan yang lambat, ditambah dengan tekanan politik untuk mempertahankan harga listrik yang terjangkau bagi masyarakat luas, membuat PLN sulit untuk berinovasi dan menjadi efisien.
Grab:
Sebaliknya, Grab, sebagai perusahaan teknologi yang berkembang pesat, telah memanfaatkan data dan teknologi untuk meningkatkan efisiensi dan inovasi dalam operasionalnya. Dengan menggunakan algoritma dan analisis big data, Grab mampu mengoptimalkan rute pengemudi, menurunkan biaya operasional, dan meningkatkan pengalaman pelanggan. Kecepatan adaptasi Grab terhadap perubahan pasar menjadi faktor utama dalam keberhasilannya di pasar Asia Tenggara. Berbeda dengan PLN, yang terikat oleh regulasi pemerintah dan birokrasi, Grab memiliki fleksibilitas lebih dalam menerapkan inovasi teknologi.
Pandangan Para Ahli
Menurut Michael Porter, salah satu ahli strategi bisnis terkemuka, inovasi dalam sistem pengendalian manajemen tidak hanya penting untuk meningkatkan efisiensi, tetapi juga untuk menciptakan keunggulan kompetitif. Porter dalam bukunya. Competitive Advantage menekankan bahwa perusahaan yang mampu memadukan teknologi dengan pengendalian manajemen yang efektif akan memiliki kemampuan yang lebih besar untuk beradaptasi dengan perubahan pasar yang dinamis.
Sementara itu, Robert Simons, dalam teori Levers of Control yang terkenal, menggarisbawahi pentingnya keseimbangan antara kontrol yang ketat dengan fleksibilitas dalam mendorong inovasi. Simons percaya bahwa perusahaan yang berhasil dalam era digital adalah mereka yang mampu memanfaatkan kontrol untuk menjaga stabilitas, tetapi pada saat yang sama memberikan ruang bagi inovasi untuk berkembang.
Peran Teori dalam Perbandingan
Teori Contingency dan Resource-Based View (RBV) relevan dalam membedah perbandingan ini. Teori Contingency menyatakan bahwa tidak ada pendekatan universal dalam pengendalian manajemen; setiap perusahaan harus menyesuaikan diri dengan kondisi internal dan eksternal yang dihadapinya. Dalam hal ini, BUMN dengan struktur birokrasi dan keterikatan pada kebijakan pemerintah perlu menerapkan pendekatan pengendalian yang berbeda dibandingkan perusahaan swasta yang lebih bebas menentukan arah dan kebijakan internal.
Sementara itu, Resource-Based View berfokus pada bagaimana perusahaan mengelola sumber daya yang dimiliki untuk menciptakan keunggulan kompetitif. Dalam konteks ini, perusahaan swasta yang berhasil memanfaatkan teknologi sebagai sumber daya strategis memiliki keunggulan dalam berinovasi dan merespon kebutuhan pasar yang dinamis. Contoh nyata dari penerapan RBV ini terlihat pada perusahaan seperti Gojek dan Grab yang menjadikan teknologi sebagai inti dari sistem pengendalian manajemennya.
Kesimpulan: Apa yang Bisa Dipelajari?
Perbandingan antara BUMN dan perusahaan swasta dalam hal efisiensi dan inovasi sistem pengendalian manajemen menunjukkan bahwa perusahaan swasta memiliki keunggulan dalam hal fleksibilitas dan kemampuan untuk berinovasi secara cepat. Di sisi lain, BUMN menghadapi tantangan yang lebih kompleks karena terikat oleh regulasi pemerintah, birokrasi, dan tekanan politik.
Namun, bukan berarti BUMN tidak bisa belajar dari perusahaan swasta. Dengan adopsi teknologi yang lebih agresif, pengurangan birokrasi, dan pendekatan yang lebih adaptif, BUMN juga bisa meningkatkan efisiensi dan daya saingnya di era digital. Perusahaan seperti PT Telkom Indonesia sudah membuktikan bahwa BUMN bisa menjadi pemain yang tangguh di era digital jika mereka mampu bertransformasi dan beradaptasi dengan cepat. Adopsi teknologi canggih seperti big data, artificial intelligence (AI), dan Internet of Things (IoT) merupakan langkah yang harus ditempuh jika BUMN ingin bersaing dengan perusahaan swasta yang lebih gesit.
Namun, upaya transformasi ini tidak hanya soal teknologi, tetapi juga perubahan budaya organisasi. Salah satu kendala terbesar BUMN adalah resistensi terhadap perubahan, yang sering kali datang dari berbagai tingkat manajemen. Sebagaimana diungkapkan oleh Simons dalam teorinya tentang Levers of Control, inovasi tidak akan berhasil jika tidak didukung oleh manajemen yang memiliki visi untuk mendobrak status quo. Proses pengambilan keputusan di BUMN yang hierarkis dan lambat perlu ditransformasi menjadi lebih partisipatif dan desentralisasi, di mana keputusan penting bisa diambil dengan cepat dan responsif terhadap perubahan eksternal.