Pagi itu aku bersepeda keliling Kota Kediri, kota yang terpisah oleh sungai Brantas, aku menyebutnya dengan Kediri Timur dan Kediri Barat yang keduanya dihubungkan oleh jembatan lama peninggalan Belanda.Â
Sejak bertahun-tahun aku mengadu nasib di tanah perantauan Jombang dan Malang, Kediri adalah tempat yang paling nyaman untuk berpulang, kehangatan pelukan keluarga dan semua kenangan masa kecilku di sisa-sisa kota ini masih tersimpan begitu rapi dan aku bisa membukanya kapanpun aku mau.
Sepanjang jalanan di Kota Kediri, aku melewati sebuah pemakaman yang indah. Melewati taman ini, aku ingat seseorang yang pernah hadir dalam masa laluku, seorang lelaki yang sangat istimewa, tak pernah bosan mewarnai langkah masa kecil hingga remaja, beliau adalah kakekku, sebut saja mbah kung.Â
Mbah kung seperti orang sepuh lainnya yang sudah berumur, berambut putih dan berbadan kurus, tapi selalu bisa membuatku ceria dan senang, bagiku itu sudah sangat mencukupi hari-hari masa kecilku, apalagi memangnya kebutuhan yang dicari seorang anak kelas 2 SD selain bermain lalu tertawa bukan?.
Setiap kali aku ditinggal ayah dan ibu bekerja, bermain di rumah mbah adalah pilihanku, mbah kung selalu memberiku banyak hal baru yang belum aku tahu, membuat mainan sederhana dari kayu, memberi makan kelinci, mengambil telur ayam di kandang, bermain masak-masakan atau mengantarku melihat warna-warni bunga di taman kota.
Di umurku yang menginjak remaja, mbah kung menjelma berbagai sosok yang menyumbangku dengan berbegai pengetahuan, kadangkala bak seorang kyai dengan nasihat religi kadangkala menjadi guru, kadangkala menjadi kamus sejarah yang berjalan. Ya, tentu berdiskusi dengan beliau cukup menyenangkan.
Setelah lima belas menit aku mengayuh pedal sepeda aku berhenti di tepi jalan trotoar, di depan sebuah bangunan megah yang terlindungi pagar putih memutar disepanjang bangunan.
Iya aku hanya bisa mengintipnya, dari arah berlawanan aku melihat seorang renta berjalan kearahku semakin dekat lalu menjajakan buku untukku, "Mbak silahkan dilihat bukunya," ucapnya sambil menyodorkan buku bersampul coklat dan putih.Â
"Oh iya pak terimakasih ucapku," tak lama si penjual itu berjalan menjauhiku, dan aku masih duduk di tepi trotoar sambil memandangi taman hijau yang tertutupi pagar putih.
Beberapa bulan lalu aku dan mbah kung sempat berbincang tentang Indonesia, bagaimana jaman dulu dan sekarang. Mendengarkan kisah beliau yang hidup lebih dari umur kemerdekaan Indonesia aku semakin kekeh menyimaknya, terlebih mbah kung adalah mantan veteran yang andil dalam pembebasan Irian Barat.Â
Beliau mengibaratkan jika Indonesia ini seperti rumah dan kuat tidaknya pondasi itu tergantung bagaimana generasi bangsa yang terus tumbuh, sedangkan pemuda sebagai pondasi bangsa untuk Indonesia lebih maju adalah mereka yang senantiasa berilmu dan berpengetahuan.