PENDAHULUAN
Pada zaman serba canggih, informasi dapat menyebar luas dengan pesat. Merupakan hal yang umum apabila terdapat ketidaksesuaian dalam pengertian suatu konsep baik itu kesalahan dalam pemahamannya maupun dalam prakteknya. Sebagai seorang muslim, kita harus mampu menyaring dan mencerna segala informasi yang didapat dengan teliti terutama informasi mengenai konsep keagamaan. Kesalahpahaman terhadap makna kata Jihad hanyalah salah satu contoh dari persebaran informasi yang salah. Agama Islam mempunyai Al-Qur’an dan Hadist sebagai sumber pedoman dan rujukan utama. Kata Jihad dan derivasinya disebutkan dalam Alqru’an sebanyak 41 kali dan teripisah pada 19 ayat (Fattah, Muhammad, 2016, J-PAI). Tidak semua kata Jihad dalam Al-Qur’an memiliki arti perang, walaupun memang secara historis arti perang yang melekat pada kata Jihad sesuai dan benar dengan kondisi dan situasi pada saat itu.
Jihad adalah salah satu ajaran Islam yang paling diamati oleh beberapa golongan. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya persepsi yang bersumber dari kaum non Muslim. Sayangnya pengamat kalangan barat seringkali menyimbolkan Jihad dengan peperangan, kekerasan, teror, serta tindakan ekstrem lainnya. Pemahaman seperti ini ditopang oleh data-data empiris, yakni perilaku kaum fundamentalis Islam yang sering melakukan tindakan anarkis seperti aksi teror serta menanamkan bibit kerusakan dan perpecahan di tengah-tengah perdamaian dan ketentraman dunia (Mehden, 1983:18-25). Pemahaman yang miring akan hal ini otomatis turut mengotori citra agama Islam. Dalam konteks ini, Islam diketahui sebagai agama yang disebarkan melalui perang dan pertumpahan darah (Sa’id hawi, 1979:3).
Pandangan buruk terhadap agama Islam secara langsung merugikan kaum muslimin seperti adanya berbagai macam bentuk diskriminasi yang terhadap umat terutama bagi mereka yang tinggal di negara dengan mayoritas agama lain. Hal miris tersebut tentunya tidak sesuai dengan nilai serta ajaran Islam. Islam merupakan agama yang mencintai perdamaian serta menjunjung tinggi kasih sayang dan toleransi. Bentuk-betuk kekerasan yang tertanam di pola pikir manusia yang tidak paham dengan Islam sangat kontradiksi dengan fakta yang sebenarnya.
Awal dari kesalahpahaman ini berasal dari kesalahan dalam menginterpretasikan Al-Qur’an atau hadist yang bersangkutan dengan Jihad. Penafsiran yang dilakukan tidak melakukan pengkajian lebih dalam mengenai sisi historis turunnya Al-Qur-an. Memang betul adanya Islam mensyariatkan perang dan hal ini tertera dalam kitab suci. Namun, perang tersebut bukan berarti memerintahkan umat untuk menyerang orang lain secara fisik. Defenisi sebenarnya ialah perang melawan hal-hal negatif seperti melawan nafsu dan perlawanan non fisik lainnya. Nilai kasih sayang dalam ajaran Islam tidak akan hilang sampai kapanpun. Penerapan Jihad sesuai dengan skala kemampuan dan tuntutan keadaan sehingga tidak seharusnya dimaknasi tunggal sebagai perang fisik secara frontal terus-menerus. Kaum Muslimin diperintahkan untuk meningkatkan kualitas diri dengan memahami dan memperdalam Al-Qur’an sehingga mereka mampu untuk membentengi diri dan pemikiran mereka.
Perang sendiri ialah jalan dan pilihan paling terakhir yang boleh dilakukan oleh seorang Muslim dalam menegakkan tonggak agama setelah dakwah. Pendekatan secara sosial jauh lebih diutamakan untuk menghindari pertumpahan darah. Rasulullah selalu mengingatkan umatnya mengenai keutamaan dari sifat sabar. Hal ini seharusnya tertanam dalam diri seorang Muslim yang baik bahwa kekerasan tidak pernah akan pernah dibenarkan meskipun kita didzalimi dan hanya dibolehkan dalam bentuk pembelaan diri. Perang itu sendiri bukan serta merta berarti seorang Muslim boleh menyerang mereka yang berasal dari umat lain atau kelompok dengan keyakinan berbeda. Namun, perang hanya disyariatkan sebagai bentuk pembelaan diri dari perlawanan umat kafir terhadap Islam. Wujud dari serangan tifak selalu harus berupa serangan fisik. Serangan tersebut dapat berbentik serangan pemikiran, keilmuan, perekonomian dan bidang-bidang lain yang cenderung sensitif dan sering mengalami konflik antara umat Islam dengan pihak lain.
Atas dasar permasalahan yang terjadi, perlu dilakukan pengkajian lebih lanjut terhadap pemahaman hakikat jihad dalam Islam dengan tetap menjadikan kitab suci Al-Qur’an dan hadist shahih sebagai rujukan dan sumber utama. Informasi yang faktual dan sesuai dengan kebenaran pun seharusnya turut disebarkan untuk meminimalisir atau bahkan menghilangkan miskonsepsi yang terjadi. Sungguh miris apabila kita melihat saudara kita yang mempunyai status kaum minoritas pada tempat tinggal mereka mengalami tindakan rasisme yang dapat menimbulkan rasa nyaman bahkan rasa aman. Terdapat kemungkinan bahwa dalam penelurusan terhadap hal ini akan ditemukan pandangan-pandangan yang berbeda dikarenakan dalam penafsirkan Al-Qur’an pun terkadang masih menemukan kerancuan yang dapat berujung kepada perbedaan pandangan. Mengetahui makna atau hakikat Jihad dalam Islam melalu konsepnya yang tertera dalam ayat Al-Qur’an, hadist shahih, kitab-kitab tafsir, serta fiqh merupakan cara paling objektif yang bisa dilakukan.
Konsep jidad adalah sebuah term dalam ajaran Islam yang sudah sepatutnya dinilai dari perspektifnya juga. Seluruh jurnal, artikel, karya ilmiah yang telah dikaji bersama untuk menyusun artikel ini diharapkan menyajikan data-data yang faktual dan sesuai dengan pedoman utama umat Islam.
PEMBAHASAN
Pengertian Jihad
Kata Jihad dalam bahasa Arab berasal dari kata Jahada-Yajhadu-Jahdan/Juhdan yang berarti kesungguhan, kesulitan, dan kelapangan. Kata Jahada juga dapat diartikan sebagai usaha menghabiskan segala daya kekuatan, baik berupa perkataan dan perbuatan. Akar kata Jahada dibentuk menjadi thulati mazid dengan menambahkan alif sehingga menjadi jahada, yujahidu, mujahadatan (Abdullah, 1978:11) dengan arti yang sama yakni berusaha semaksimal mungkin. Secara etimologis, kata Jihad berakar dari kata al-juhd yakni upaya, kesungguhan, dan kesulitan (Munawwir, 1977:217). Asal kata Jihad ialah al-jahd, al-majhud, al-juhd, yang memiliki makna kemampuan. Al-majhud sendiri memiliki makna susu yang dikeluarkan dari intisarinya. Kalimat ini menggambarkan kesukaran dan bentuk kesungguhan dalam mengeluarkan air susu. Sedangkan arti yang memiliki kedekatan dengan kesulitan adalah “keras” dan bersungguh-sungguh (Abdullah, 1978:11).