Â
Judul Buku    : Islam, Kepemimpinan Perempuan, dan SeksualitasÂ
Penulis        : Neng Dara Affiah
Penerbit       : Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Tahun Terbit   : 2017
Edisi           : Pertama
Tebal Buku    : xxi + 200 halaman
Dimensi      : 14,5 x 21cm
       Buku ini ditulis oleh Neng Dara Affiah. Beliau adalah dosen saya yang mengajar mata kuliah Teori Sosiologi Modern. Dalam kesempatan kali ini, saya  akan mereview buku yang ditulis oleh beliau. Sebelumnya, pembahasan di buku ini cukup menarik bagi saya karena buku ini berfokus pada islam dan perempuan yang di dalamnya terdapat 3 bab beserta sub babnya. Disini saya akan merivew bab satu tentang Islam dan Kepemimpinan Perempuan.
 "Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal."
      Berikut telah dikutip terjemahan dari Surah Al-Hujurat Ayat 13. Ayat tersebut menyatakan bahwa yang membedakan manusia bukanlah bangsanya, sukunya, atau bahkan jenis kelaminnya, tetapi ketakwaannya lah yang membuat seorang manusia mulia di sisi Allah SWT. Manusia derajatnya akan lebih tinggi dibandingkan manusia lainnya apabila beriman dan berilmu. Lantas, ketika sudah banyak ayat di Al-Qur'an dan Hadits yang menyatakan hal seperti yang disebutkan di dalam Surat Al-Hujurat Ayat 13, mengapa manusia masih menganggap perempuan memiliki derajat yang lebih rendah dibanding laki-laki padahal sudah ada pertanyaan yang begitu jelas?
      Nabi Muhammad SAW sendiri, dikelilingi oleh perempuan-perempuan yang Rasulullah hormati dan sayangi karena ketakwaan, kepintaran, kebaikan, kegigihan, dan kesahajaannya. Ada Khadijah, perempuan yang pertama kali menghayati kebenaran Islam, yang juga senantiasa mendukung Rasulullah secara finansial dan moral untuk menyampaikan ajaran Islam. Ada Aisyah, salah satu istri Rasulullah, yaitu perempuan yang cerdas ilmu Islam dan sastranya dan menjadi guru bagi para sahabat Nabi juga penerus-penerusnya. Kemudian, ada Fatimah, anak perempuan Rasulullah yang bermental kuat dan bijaksana, bergelimang harta tidak membuatnya memiliki sikap yang manja. Semua hal yang ditujukan Rasulullah kepada para perempuan kesayangan beliau ini sungguh bertolak belakang dengan apa yang dilakukan Bangsa Arab pada masa itu yang malah cenderung menganggap kelahiran seorang perempuan dalam keluarga membawa aib dan beban. Dapat dilihat Nabi Muhammad SAW sama sekali tidak merendahkan perempuan.
      Ajaran Allah SWT sendiri terkandung dalam Al-Qur'an dan Hadist yang sahih, namun begitu banyaknya manusia dengan pola pikir yang berbeda-beda membuat pemaknaan tiap orang terhadap kedua pedoman hidup umat muslim tidak semuanya sama. Bahkan ada pula manusia yang memaknai kedua pedoman tersebut berdasarkan kepentingannya sendiri. Allah SWT, Nabi, dan Rasul, semua selalu mengajarkan bagaimana manusia itu setara di mata Tuhan. Muslim pun mengakui hal itu. Tapi, masih banyak muslim yang menganut miskonsepsi soal kepemimpinan perempuan. Padahal, Surah Al-Baqarah Ayat 30 menyatakan bahwa manusia, laki-laki maupun perempuan, merupakan pemimpin (khalifah). Tentunya, ini berarti Allah SWT mengkehendaki manusia, tanpa memandang gender, menjadi seorang pemimpin, entah untuk dirinya sendiri maupun untuk orang lain. Hadist Riwayat Ibn Abbas pun berkata, bahwa manusia bertanggung jawab atas yang dipimpinnya. Sudah jelas, kalau manusia ini lantas bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri maupun orang lain yang ia pimpin. Sama sekali tidak ada pembatasan untuk perempuan yang hendak menjadi pemimpin untuk orang lain.
Orang yang mengalami miskonsepsi, seperti yang sudah disinggung pada paragraf sebelumnya, adalah orang yang memakai kutipan Surah An-Nisa Ayat 34 yang berbunyi, "Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita," untuk membantah dibolehkannya perempuan memimpin suatu kelompok dalam Islam. Laki-laki dianggap superior karena dianggap memiliki kemampuan menafkahi istri mereka dengan bekerja dan memiliki kekayaan, juga cara berpikir, tekad, keteguhan, kekuatan, dan keberaniannya dikatakan lebih baik daripada perempuan. Nyatanya, kelebihan dan kekurangan dari masing-masing manusia itu berbeda-beda dan sifatnya relatif (tidak tetap, tidak selamanya laki-laki selalu banyak kelebihannya, begitu pula dengan perempuan yang tidak selamanya memiliki banyak kekurangan dibandingkan laki-laki).
Kutipan Surat Al-Baqarah Ayat 228 yang berbunyi: "... Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. ..." dapat ditafsirkan bahwa laki-laki pencari nafkah memiliki hak di atas perempuan, yang pada masa turunnya Islam, hanya dianggap sebagai budak (Tafsir Quraish Shihab). Istri sebagai ibu rumah tangga ada keharusan untuk menaati suami yang memberinya nafkah materi ketika masa cerai (Tafsir Jalalayn). Penafsiran-penafsiran ayat tersebut menunjukkan bahwa seluruh laki-laki tidak otomatis menjadi satu tingkat lebih tinggi dibanding perempuan. Kelebihan laki-laki dibanding perempuan, menurut Fazlur-Rahman, bersifat fungsional. Semua tergantung laki-laki maupun perempuan itu sendiri. Jika malah sang istri mandiri menafkahi dirinya sendiri maupun rumah tangganya, apalagi sekarang perempuan bukanlah budak seperti yang terjadi pada masa diturunkannya Agama Islam, tentu berkuranglah kelebihan laki-laki sebagai suami, yaitu anggapan bahwa hanya suami lah yang bisa mencari nafkah untuk rumah tangganya.
Pernyataan yang menganggap bahwa laki-laki lebih tinggi derajatnya dari perempuan, tentu bersifat kontekstual, bukan normatif (Ashgar Ali Engineer), mengingat perempuan di dalam bangsa Arab saat itu, ketika Al-Qur'an diturunkan, dianggap begitu hina dan rendahan. Di dalam Al-Qur'an tidak ada satupun ayat yang mewajibkan laki-laki harus memiliki derajat yang lebih tinggi dibanding perempuan. Surat Al-Baqarah Ayat 228 konteksnya adalah untuk suami istri, bukan untuk kepemimpinan perempuan terhadap suatu kelompok dalam Islam. Ayat ini turun ketika perempuan hanya dianggap sebagai orang yang mengandung dan melahirkan, sehingga membebankannya sebagai pencari nafkah dianggap tidak baik. Membuat ayat tersebut menjadi dasar untuk melarang kepemimpinan perempuan justru tidak dikehendaki Allah SWT, mengingat Al-Qur'an pun mencontohkan Ratu Balqis sebagai pemimpin perempuan yang hebat.
      Selanjutnya, ada lagi Hadist yang berbunyi, "Tidak akan berjaya suatu kaum/masyarakat jika kepemimpinannya diserahkan kepada perempuan". Fatima Mernissi kemudian melakukan penelitian terhadap Hadist tersebut. Didapatilah fakta-fakta bahwa; Hadist itu terucap dalam konteks untuk mengomentari Negari Persia yang pada saat itu dipimpin oleh perempuan yang tidak berkompeten. Abu Bakrah pun mengucapkan kembali Hadist tersebut karena menghindari terjadinya konflik, sehingga Hadist tersebut digunakan untuk memihak pada Khalifah Ali, ketimbang pada Aisyah, istri Rasulullah. Sedangkan, Hadist dengan satu perawi saja (yaitu pada Hadist tersebut hanya Abu Bakrah lah perawinya), dianggap para Ahli Hadist merupakan Hadist yang kurang otentik. Mernissi pun memperingatkan orang, khususnya politisi, untuk tidak memakai Hadist yang tidak sahih tapi dianggap benar, dan pemakaian Hadist tersebut berulang kali tentunya dapat membuat perempuan dirugikan.
Kerajaan Islam di Aceh merupakan Kerajaan Islam Nusantara yang memiliki banyak pemimpin perempuan, karena Kerajaan Aceh peka bahwa tidak ada satu pun aturan yang melarang perempuan untuk menjadi pemimpin. Di Indonesia sendiri, banyak juga perempuan Islam yang telah menjadi pemimpin. Sayangnya, sudah banyak muslim yang terlanjur salah kaprah karena miskonsepsi yang timbul akibat tafsir manusia terhadap ayat Al-Qur'an dan Hadist, sehingga walaupun sudah banyak perempuan muslim yang menjadi pemimpin, tetap saja jumlahnya masih kalah dengan pemimpin Islam yang berjenis kelamin laki-laki.
Padahal menurut seorang intelektual Mesir, penganut Agama Islam perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki. Maka perempuan, selain laki-laki, juga perlu didorong untuk memunculkan potensinya menjadi pemimpin demi memajukan dunia bersama-sama. Namun ternyata, hambatan seorang perempuan muslim untuk menjadi pemimpin tidak hanya berasal dari salah tafsirnya umat muslim terhadap ayat Al-Qur'an dan Hadist, melainkan melekat dengan kuatnya nilai-nilai budaya patriarki di masyarakat. Laki-laki dengan ego tinggi mengarahkan tumbuh dan tertanamnya salah tafsir soal dilarangnya kepemimpinan perempuan di masyarakat supaya laki-laki tersebut bisa memimpin dan kaum perempuan terus ditanamkan nilai patriarki oleh masyarakat bahkan sejak lahir ke dunia. Maka dari itu, untuk menyiasati hilangnya batasan terhadap kepemimpinan perempuan, laki-laki maupun perempuan tidak dibeda-bedakan dalam berbagai aspek, boleh mengakses apa pun untuk pengembangan diri mereka, diberikan kebebasan memilih sesuai keinginannya, melatih perempuan untuk mandiri, dan tidak membatasi perempuan.
Ternyata, fakta mengatakan bahwa begitu banyak perempuan yang menjadi pemimpin dalam masyarakat muslim berasal dari ayah yang hebat dan menjadi pemimpin juga dalam masyarakat, contoh paling dekat adalah Ibu Megawati Soekarnoputri, anak dari Ir. Soekarno. Teori Sosialisasi Politik telah menyatakan bahwa keluarga merupakan penentu utama anak untuk terjun ke dalam dunia politik. Namun sikap seseorang ketika terjun ke dalam dunia politik tergantung kelompok yang melingkupinya. Contohnya adalah, Benazir Bhutto yang terjun ke dunia politik karena ayahnya sering menceritakan kisah-kisah pemimpin yang hebat pada Benazir sehingga Benazir bermimpi ingin menjadi seperti orang yang ada dalam cerita ayahnya. Kemudian ayahnya berpesan padanya sebelum meninggal, bahwa berkorbanlah demi negara.
Lalu, Megawati Soekarnoputri yang berkata bahwa ia selalu memantau dunia perpolitikan bahkan sebelum menjadi politisi, karena keluarganya telah disituasikan seperti itu. Namun, hal-hal seperti itu membangun kesan bahwa pemimpin perempuan hanya lahir dari kaum elite tertentu. Ini malah menyuburkan cara pemilihan pemimpin dalam masyarakat feodal tradisional, yaitu hanya melihat kharisma dan bukan kemampuannya. Benazir dianggap memanfaatkan Bhuttoisme dalam kiprah kepemimpinannya. Sedangkan Megawati membuat PDIP mendapatkan suara terbanyak pada pemilu 1998 karena pemunculan Soekarnoisme pada partai tersebut. Terlihatlah adanya pemanfaatan budaya patriarki dari kedua pemimpin ini. Tetapi perlu diingat, kemungkinan munculnya nepotisme akan semakin besar jika memanfaatkan kharisma.
Benazir dan Megawati lantas berusaha melawan halangan untuk menjadi pemimpin dalam masyarakat Islam dengan kecerdasan dan kemampuan mereka. Halangan yang mereka hadapi tentunya tidak jauh-jauh dari salah tafsir tentang ajaran Islam soal kepemimpinan perempuan. Benazir menghadapi kecaman para ulama konservatif dengan ayat Al-Qur'an yang mencantumkan tentang kepemimpinan Ratu Balqis, dan betapa Allah SWT telah berfirman kalau kedudukan laki-laki maupun perempuan itu setara. Megawati yang dilarang menjadi pemimpin oleh KUII Â (Kongres Umat Islam Indonesia), lantas mengatakan bahwa pelarangan perempuan untuk menjadi pemimpin merupakan sikap diskriminatif yang seharusnya dihilangkan pada zaman ini, karena Nabi Muhammad SAW saja membela kalau ada perempuan yang diperlakukan tidak adil.
Dapat terlihat bahwa masih begitu banyak laki-laki yang egonya begitu tinggi dan tidak rela tunduk pada perempuan sehingga penafsiran ajaran Islam mereka lakukan untuk memuaskan ego mereka. Padahal sudah banyak contoh sejak zaman Rasulullah bahwa beliau mengamalkan ajaran Allah SWT yang menganggap manusia, baik laki-laki maupun perempuan, adalah pemimpin, sehingga beliau lantas selalu berlaku adil dan baik pada perempuan-perempuan hebat seperti; Khadijah, yang menjadi penopang ekonomi keluarga dan Aisyah, yang menjadi pemimpin perang. Semua itu adalah contoh yang sangat jelas, semestinya tidak perlu lagi ada persoalan terhadap kepemimpinan perempuan dalam Islam. Kini, masyarakat semestinya berfokus pada bagaimana memunculkan perempuan sebagai pemimpin berkompeten dalam jumlah yang banyak. Manusia sudah seharusnya menghilangkan pembeda-bedaan antar laki-laki dan perempuan, pendidikannya harus sama rata dengan pengembangan yang sama pula. Jangan dikekang kebebasan perempuan itu. Buatlah perempuan menjadi pribadi yang tangguh dan mandiri.
Masih dalam ranah kepemimpinan perempuan dalam masyarakat yang mayoritas patriakis, Dr. Onghokham dalam FKAJ menyoroti kiprah Megawati sebagai mantan calon presiden RI, lantas beliau pun menyajikan analisis yang menarik. Megawati dianggap mayoritas masyarakat sebagai jawaban dari keinginan kuat rakyat untuk memiliki pemimpin yang keibuan dan pengayom, dibandingkan memiliki pemimpin yang represif dan otoriter, seperti yang ada pada rezim sebelumnya.
Rupanya, di beberapa negara pernah ada kejadian serupa, yakni rakyat yang tidak hanya membutuhkan pemimpin yang cerdik, tetapi juga yang mampu memberi keteduhan bagi rakyatnya. Di Filipina sewaktu dipimpin Marcos, rakyat diredam hak demokrasinya, sehingga rakyat mendukung Corazon Aquino (Cory) untuk naik sebagai presiden. Beliau yang awalnya adalah ibu rumah tangga, diremehkan habis-habisan oleh lawan politiknya tidak akan bisa berpolitik, apalagi menjadi presiden. Nyatanya, ia berhasil meningkatkan perekonomian Filipina yang terpuruk ketika dipimpin Marcos. Myanmar juga mengalami hal yang sama, hadirlah Aung San Suu Kyi sebagai pembawa kedamaian untuk melaksanakan demokrasi yang sebagaimana mestinya. Maka dari itu, seorang pemimpin, entah laki-laki atau perempuan, semestinya memiliki kemandirian, tujuan, dan integritas pribadi yang jelas.
Namun, isu gender kerap kali diangkat oleh lawan politik di Indonesia (bahkan internasional, dalam masyarakat yang mayoritasnya muslim tentunya) ketika seorang perempuan hendak menjadi pemimpin, seperti yang terjadi pada Megawati yang melawan calon laki-laki dari PPP. Megawati pada akhirnya diragukan kualitas dirinya oleh masyarakat karena kurang menunjukkan seberapa mampu dirinya dalam memimpin bangsa. Tafsiran-tafsiran soal kepemimpinan perempuan dalam ajaran Islam pun terus digulirkan demi menggagalkan Megawati untuk menjadi presiden. Juga, masyarakat Indonesia yang masih patriarkis menganggap perempuan itu lemah, sehingga rakyat pun berasumsi negara yang dipimpin perempuan akan jadi tidak kuat.
Walaupun Indonesia mendambakan menjadi bangsa yang demokratis, adil dan beradab, tetapi masih banyak rakyat yang belum siap mempersilahkan perempuan menjadi pemimpin bangsa. Padahal UUD 1945 sendiri mencita-citakan bangsa tanpa diskriminasi pemimpin, karena di dalam konstitusi NKRI ini tidak pernah ada larangan untuk perempuan memimpin maupun selalu mewajibkan laki-laki harus terus memimpin. Allah SWT menginginkan umat-Nya untuk menjadi orang yang semakin baik. Maka manusia cara hidup, cara pandang, maupun cara beragamannya harus semakin baik dari waktu ke waktu. Seharusnya di masa sekarang, masyarakat sudah semakin baik dalam beragama karena sudah banyak penafsiran ulang terhadap ajaran Islam demi membenarkan kesalahan tafsir di masa lalu. Sayangnya, kesalahan tafsir itu malah dimanfaatkan oknum untuk menguntungkan diri mereka sendiri. Lebih baik meningkatkan kemampuan dan kualitas diri daripada saling menjatuhkan dan mendiskriminasi sesama manusia.
Soal tuntutan terhadap pemimpin perempuan diadakan, ternyata begitu banyak orang menuntut soal mengapa kursi DPR Indonesia hanya sedikit diduduki oleh perempuan. Mungkin, karena politik dianggap kotor sehingga tidak dapat disentuh oleh kaum perempuan. Padahal, semua pekerjaan, termasuk politisi, selalu mengandung sisi yang buruk, baik, maupun kedua di antaranya. Tetapi, memang dunia politik itu kotornya lebih terlihat dibanding pekerjaan yang lain. Politik itu kotor jika kepentingan bangsa sudah tercampur dengan kepentingan pribadi atau golongan. Politik tidak seharusnya selalu disalahkan, karena kemerdekaan Indonesia saja berasal dari usaha politik para pahlawan yang cerdik. Mahatma Ghandi juga adalah contoh orang yang berpolitik dalam kedamaian. Selama ini pun rakyat diminta untuk hidup baik dan biasa saja padahal sebenarnya mereka tidak hidup dalam keadaan yang baik-baik saja, namun diminta bersikap untuk acuh tak acuh. Hal tersebut dilakukan demi pemerintahan yang anti kritik. Pemerintahan, maupun rakyat, semua terkesan bersahaja secara fisik, tapi ternyata tidak dengan mentalnya. Banyak pejabat yang memerintah dengan kotor, dan masih banyak rakyat yang hak demokrasinya belum maksimal dilaksanakan. Maka, rakyat butuh pemimpin dengan watak seorang ibu, yakni yang mengayomi dan mau mendengarkan keluh kesah. Tetapi, karena masyarakat masih begitu patriarkis, namun tidak mau mengakuinya dan berusaha menutupinya, diadakanlah banyak menteri perempuan, namun disingkirkanlah calon presiden perempuan.
      Di Indonesia sendiri pada masa lalu, hal-hal tentang pemerintahan masih banyak yang jauh dari sempurna. Pemerintah daerah seringkali hanya sekadar mengikuti apa yang diperintahkan pemerintah pusat. Padahal kebijakan-kebijakan yang dibuat juga belum tentu sesuai dengan keadaan daerah. Rakyat juga tidak ada hak untuk menolak melaksanakan kebijakan pusat. Pemerintahan dianggap berbau "Jawa", menyebabkan ada beberapa daerah yang ingin memisahkan diri karena tidak mau dijajah "Jawa". Tidak heran, konflik di berbagai daerah masih banyak terjadi. Salah satu penyebabnya tentu karena pemerintahan yang bermasalah.
Kemudian, muncullah ide tentang pemerintahan yang cocok untuk Indonesia, yaitu yang tetap berdaulat pada pusat tapi bisa memiliki kesempatan seluas-luasnya untuk mengembangkan daerah dengan pemerintahan daerahnya secara mandiri. Sempat mau ditetapkan sistem pemerintah yang federalis untuk Indonesia, rencana tersebut gagal karena sistem pemerintahan otonomi daerah dianggap lebih cocok untuk Indonesia. Kebijakan oleh pemerintah pusat maupun daerah harus transparan pembuatannya. Pemerintah pusat dan daerah sama-sama saling mengontrol supaya terjadi keadilan dan keseimbangan. Perekonomian juga dapat lebih maju karena pemerintah daerah diberi kesempatan untuk mengembangkan dengan baik ekonomi daerahnya sesuai dengan keadaan daerahnya. Kebudayaan juga dapat dipromosikan dengan baik oleh pemerintah daerahnya. Maka, sudah sepatutnya perempuan dilibatkan dalam otonomi daerah. Ini dikarenakan pemerintahan daerah juga masih banyak diisi oleh laki-laki. Tentunya, perempuan harus mengembangkan potensinya dengan ikut memajukan daerah.
      Dahulu sewaktu masa penjajahan, banyak pelajar dari Indonesia pergi ke luar negeri untuk menuntut ilmu. Pelajar-pelajar yang kembali ke Indonesia pun ada yang membawa semangat dan ilmu mereka ke desa-desa untuk diajarkan ke warga juga mereka tak lupa terus menanamkan keinginan pada anak-anak di desa tersebut untuk menimba ilmu sebanyak-banyaknya tanpa batas. Kartini pun terketuk hati dan pikirannya untuk mencerdaskan bangsa. Kartini bercucuran keringat bukan untuk disia-siakan perjuangannya. Meskipun Kartini telah wafat dan jasa-jasanya akan terus lekat dalam ingatan, namun "Kartini-Kartini" lainnya bermunculan untuk memperjuangkan hak-hak perempuan. Perjuangan Kartini dalam mencerdaskan kaum perempuan harusnya terus dilanjutkan, bukannya tetap menyuruh perempuan hanya berurusan dengan urusan sumur, dapur, dan kasur. Maka sudah semestinya setiap perempuan memiliki kemandirian dan kemerdekaan atas dirinya sendiri. Sudah sepatutnya perempuan berkontribusi untuk pembangunan masyarakat dan negara supaya lebih maju.    Â
     Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H