Nabi Muhammad SAW sendiri, dikelilingi oleh perempuan-perempuan yang Rasulullah hormati dan sayangi karena ketakwaan, kepintaran, kebaikan, kegigihan, dan kesahajaannya. Ada Khadijah, perempuan yang pertama kali menghayati kebenaran Islam, yang juga senantiasa mendukung Rasulullah secara finansial dan moral untuk menyampaikan ajaran Islam. Ada Aisyah, salah satu istri Rasulullah, yaitu perempuan yang cerdas ilmu Islam dan sastranya dan menjadi guru bagi para sahabat Nabi juga penerus-penerusnya. Kemudian, ada Fatimah, anak perempuan Rasulullah yang bermental kuat dan bijaksana, bergelimang harta tidak membuatnya memiliki sikap yang manja. Semua hal yang ditujukan Rasulullah kepada para perempuan kesayangan beliau ini sungguh bertolak belakang dengan apa yang dilakukan Bangsa Arab pada masa itu yang malah cenderung menganggap kelahiran seorang perempuan dalam keluarga membawa aib dan beban. Dapat dilihat Nabi Muhammad SAW sama sekali tidak merendahkan perempuan.
      Ajaran Allah SWT sendiri terkandung dalam Al-Qur'an dan Hadist yang sahih, namun begitu banyaknya manusia dengan pola pikir yang berbeda-beda membuat pemaknaan tiap orang terhadap kedua pedoman hidup umat muslim tidak semuanya sama. Bahkan ada pula manusia yang memaknai kedua pedoman tersebut berdasarkan kepentingannya sendiri. Allah SWT, Nabi, dan Rasul, semua selalu mengajarkan bagaimana manusia itu setara di mata Tuhan. Muslim pun mengakui hal itu. Tapi, masih banyak muslim yang menganut miskonsepsi soal kepemimpinan perempuan. Padahal, Surah Al-Baqarah Ayat 30 menyatakan bahwa manusia, laki-laki maupun perempuan, merupakan pemimpin (khalifah). Tentunya, ini berarti Allah SWT mengkehendaki manusia, tanpa memandang gender, menjadi seorang pemimpin, entah untuk dirinya sendiri maupun untuk orang lain. Hadist Riwayat Ibn Abbas pun berkata, bahwa manusia bertanggung jawab atas yang dipimpinnya. Sudah jelas, kalau manusia ini lantas bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri maupun orang lain yang ia pimpin. Sama sekali tidak ada pembatasan untuk perempuan yang hendak menjadi pemimpin untuk orang lain.
Orang yang mengalami miskonsepsi, seperti yang sudah disinggung pada paragraf sebelumnya, adalah orang yang memakai kutipan Surah An-Nisa Ayat 34 yang berbunyi, "Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita," untuk membantah dibolehkannya perempuan memimpin suatu kelompok dalam Islam. Laki-laki dianggap superior karena dianggap memiliki kemampuan menafkahi istri mereka dengan bekerja dan memiliki kekayaan, juga cara berpikir, tekad, keteguhan, kekuatan, dan keberaniannya dikatakan lebih baik daripada perempuan. Nyatanya, kelebihan dan kekurangan dari masing-masing manusia itu berbeda-beda dan sifatnya relatif (tidak tetap, tidak selamanya laki-laki selalu banyak kelebihannya, begitu pula dengan perempuan yang tidak selamanya memiliki banyak kekurangan dibandingkan laki-laki).
Kutipan Surat Al-Baqarah Ayat 228 yang berbunyi: "... Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. ..." dapat ditafsirkan bahwa laki-laki pencari nafkah memiliki hak di atas perempuan, yang pada masa turunnya Islam, hanya dianggap sebagai budak (Tafsir Quraish Shihab). Istri sebagai ibu rumah tangga ada keharusan untuk menaati suami yang memberinya nafkah materi ketika masa cerai (Tafsir Jalalayn). Penafsiran-penafsiran ayat tersebut menunjukkan bahwa seluruh laki-laki tidak otomatis menjadi satu tingkat lebih tinggi dibanding perempuan. Kelebihan laki-laki dibanding perempuan, menurut Fazlur-Rahman, bersifat fungsional. Semua tergantung laki-laki maupun perempuan itu sendiri. Jika malah sang istri mandiri menafkahi dirinya sendiri maupun rumah tangganya, apalagi sekarang perempuan bukanlah budak seperti yang terjadi pada masa diturunkannya Agama Islam, tentu berkuranglah kelebihan laki-laki sebagai suami, yaitu anggapan bahwa hanya suami lah yang bisa mencari nafkah untuk rumah tangganya.
Pernyataan yang menganggap bahwa laki-laki lebih tinggi derajatnya dari perempuan, tentu bersifat kontekstual, bukan normatif (Ashgar Ali Engineer), mengingat perempuan di dalam bangsa Arab saat itu, ketika Al-Qur'an diturunkan, dianggap begitu hina dan rendahan. Di dalam Al-Qur'an tidak ada satupun ayat yang mewajibkan laki-laki harus memiliki derajat yang lebih tinggi dibanding perempuan. Surat Al-Baqarah Ayat 228 konteksnya adalah untuk suami istri, bukan untuk kepemimpinan perempuan terhadap suatu kelompok dalam Islam. Ayat ini turun ketika perempuan hanya dianggap sebagai orang yang mengandung dan melahirkan, sehingga membebankannya sebagai pencari nafkah dianggap tidak baik. Membuat ayat tersebut menjadi dasar untuk melarang kepemimpinan perempuan justru tidak dikehendaki Allah SWT, mengingat Al-Qur'an pun mencontohkan Ratu Balqis sebagai pemimpin perempuan yang hebat.
      Selanjutnya, ada lagi Hadist yang berbunyi, "Tidak akan berjaya suatu kaum/masyarakat jika kepemimpinannya diserahkan kepada perempuan". Fatima Mernissi kemudian melakukan penelitian terhadap Hadist tersebut. Didapatilah fakta-fakta bahwa; Hadist itu terucap dalam konteks untuk mengomentari Negari Persia yang pada saat itu dipimpin oleh perempuan yang tidak berkompeten. Abu Bakrah pun mengucapkan kembali Hadist tersebut karena menghindari terjadinya konflik, sehingga Hadist tersebut digunakan untuk memihak pada Khalifah Ali, ketimbang pada Aisyah, istri Rasulullah. Sedangkan, Hadist dengan satu perawi saja (yaitu pada Hadist tersebut hanya Abu Bakrah lah perawinya), dianggap para Ahli Hadist merupakan Hadist yang kurang otentik. Mernissi pun memperingatkan orang, khususnya politisi, untuk tidak memakai Hadist yang tidak sahih tapi dianggap benar, dan pemakaian Hadist tersebut berulang kali tentunya dapat membuat perempuan dirugikan.
Kerajaan Islam di Aceh merupakan Kerajaan Islam Nusantara yang memiliki banyak pemimpin perempuan, karena Kerajaan Aceh peka bahwa tidak ada satu pun aturan yang melarang perempuan untuk menjadi pemimpin. Di Indonesia sendiri, banyak juga perempuan Islam yang telah menjadi pemimpin. Sayangnya, sudah banyak muslim yang terlanjur salah kaprah karena miskonsepsi yang timbul akibat tafsir manusia terhadap ayat Al-Qur'an dan Hadist, sehingga walaupun sudah banyak perempuan muslim yang menjadi pemimpin, tetap saja jumlahnya masih kalah dengan pemimpin Islam yang berjenis kelamin laki-laki.
Padahal menurut seorang intelektual Mesir, penganut Agama Islam perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki. Maka perempuan, selain laki-laki, juga perlu didorong untuk memunculkan potensinya menjadi pemimpin demi memajukan dunia bersama-sama. Namun ternyata, hambatan seorang perempuan muslim untuk menjadi pemimpin tidak hanya berasal dari salah tafsirnya umat muslim terhadap ayat Al-Qur'an dan Hadist, melainkan melekat dengan kuatnya nilai-nilai budaya patriarki di masyarakat. Laki-laki dengan ego tinggi mengarahkan tumbuh dan tertanamnya salah tafsir soal dilarangnya kepemimpinan perempuan di masyarakat supaya laki-laki tersebut bisa memimpin dan kaum perempuan terus ditanamkan nilai patriarki oleh masyarakat bahkan sejak lahir ke dunia. Maka dari itu, untuk menyiasati hilangnya batasan terhadap kepemimpinan perempuan, laki-laki maupun perempuan tidak dibeda-bedakan dalam berbagai aspek, boleh mengakses apa pun untuk pengembangan diri mereka, diberikan kebebasan memilih sesuai keinginannya, melatih perempuan untuk mandiri, dan tidak membatasi perempuan.
Ternyata, fakta mengatakan bahwa begitu banyak perempuan yang menjadi pemimpin dalam masyarakat muslim berasal dari ayah yang hebat dan menjadi pemimpin juga dalam masyarakat, contoh paling dekat adalah Ibu Megawati Soekarnoputri, anak dari Ir. Soekarno. Teori Sosialisasi Politik telah menyatakan bahwa keluarga merupakan penentu utama anak untuk terjun ke dalam dunia politik. Namun sikap seseorang ketika terjun ke dalam dunia politik tergantung kelompok yang melingkupinya. Contohnya adalah, Benazir Bhutto yang terjun ke dunia politik karena ayahnya sering menceritakan kisah-kisah pemimpin yang hebat pada Benazir sehingga Benazir bermimpi ingin menjadi seperti orang yang ada dalam cerita ayahnya. Kemudian ayahnya berpesan padanya sebelum meninggal, bahwa berkorbanlah demi negara.
Lalu, Megawati Soekarnoputri yang berkata bahwa ia selalu memantau dunia perpolitikan bahkan sebelum menjadi politisi, karena keluarganya telah disituasikan seperti itu. Namun, hal-hal seperti itu membangun kesan bahwa pemimpin perempuan hanya lahir dari kaum elite tertentu. Ini malah menyuburkan cara pemilihan pemimpin dalam masyarakat feodal tradisional, yaitu hanya melihat kharisma dan bukan kemampuannya. Benazir dianggap memanfaatkan Bhuttoisme dalam kiprah kepemimpinannya. Sedangkan Megawati membuat PDIP mendapatkan suara terbanyak pada pemilu 1998 karena pemunculan Soekarnoisme pada partai tersebut. Terlihatlah adanya pemanfaatan budaya patriarki dari kedua pemimpin ini. Tetapi perlu diingat, kemungkinan munculnya nepotisme akan semakin besar jika memanfaatkan kharisma.
Benazir dan Megawati lantas berusaha melawan halangan untuk menjadi pemimpin dalam masyarakat Islam dengan kecerdasan dan kemampuan mereka. Halangan yang mereka hadapi tentunya tidak jauh-jauh dari salah tafsir tentang ajaran Islam soal kepemimpinan perempuan. Benazir menghadapi kecaman para ulama konservatif dengan ayat Al-Qur'an yang mencantumkan tentang kepemimpinan Ratu Balqis, dan betapa Allah SWT telah berfirman kalau kedudukan laki-laki maupun perempuan itu setara. Megawati yang dilarang menjadi pemimpin oleh KUII Â (Kongres Umat Islam Indonesia), lantas mengatakan bahwa pelarangan perempuan untuk menjadi pemimpin merupakan sikap diskriminatif yang seharusnya dihilangkan pada zaman ini, karena Nabi Muhammad SAW saja membela kalau ada perempuan yang diperlakukan tidak adil.