Mohon tunggu...
Syifa AuliaRamadhanis
Syifa AuliaRamadhanis Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa

Mahasiswa Sosiologi FISIP UIN JAKARTA. still trying to survive.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Review Buku "Islam, Kepemimpinan Perempuan, dan Seksualitas" Karya Neng Dara Affiah

14 November 2019   01:15 Diperbarui: 16 November 2019   18:26 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dapat terlihat bahwa masih begitu banyak laki-laki yang egonya begitu tinggi dan tidak rela tunduk pada perempuan sehingga penafsiran ajaran Islam mereka lakukan untuk memuaskan ego mereka. Padahal sudah banyak contoh sejak zaman Rasulullah bahwa beliau mengamalkan ajaran Allah SWT yang menganggap manusia, baik laki-laki maupun perempuan, adalah pemimpin, sehingga beliau lantas selalu berlaku adil dan baik pada perempuan-perempuan hebat seperti; Khadijah, yang menjadi penopang ekonomi keluarga dan Aisyah, yang menjadi pemimpin perang. Semua itu adalah contoh yang sangat jelas, semestinya tidak perlu lagi ada persoalan terhadap kepemimpinan perempuan dalam Islam. Kini, masyarakat semestinya berfokus pada bagaimana memunculkan perempuan sebagai pemimpin berkompeten dalam jumlah yang banyak. Manusia sudah seharusnya menghilangkan pembeda-bedaan antar laki-laki dan perempuan, pendidikannya harus sama rata dengan pengembangan yang sama pula. Jangan dikekang kebebasan perempuan itu. Buatlah perempuan menjadi pribadi yang tangguh dan mandiri.

Masih dalam ranah kepemimpinan perempuan dalam masyarakat yang mayoritas patriakis, Dr. Onghokham dalam FKAJ menyoroti kiprah Megawati sebagai mantan calon presiden RI, lantas beliau pun menyajikan analisis yang menarik. Megawati dianggap mayoritas masyarakat sebagai jawaban dari keinginan kuat rakyat untuk memiliki pemimpin yang keibuan dan pengayom, dibandingkan memiliki pemimpin yang represif dan otoriter, seperti yang ada pada rezim sebelumnya.

Rupanya, di beberapa negara pernah ada kejadian serupa, yakni rakyat yang tidak hanya membutuhkan pemimpin yang cerdik, tetapi juga yang mampu memberi keteduhan bagi rakyatnya. Di Filipina sewaktu dipimpin Marcos, rakyat diredam hak demokrasinya, sehingga rakyat mendukung Corazon Aquino (Cory) untuk naik sebagai presiden. Beliau yang awalnya adalah ibu rumah tangga, diremehkan habis-habisan oleh lawan politiknya tidak akan bisa berpolitik, apalagi menjadi presiden. Nyatanya, ia berhasil meningkatkan perekonomian Filipina yang terpuruk ketika dipimpin Marcos. Myanmar juga mengalami hal yang sama, hadirlah Aung San Suu Kyi sebagai pembawa kedamaian untuk melaksanakan demokrasi yang sebagaimana mestinya. Maka dari itu, seorang pemimpin, entah laki-laki atau perempuan, semestinya memiliki kemandirian, tujuan, dan integritas pribadi yang jelas.

Namun, isu gender kerap kali diangkat oleh lawan politik di Indonesia (bahkan internasional, dalam masyarakat yang mayoritasnya muslim tentunya) ketika seorang perempuan hendak menjadi pemimpin, seperti yang terjadi pada Megawati yang melawan calon laki-laki dari PPP. Megawati pada akhirnya diragukan kualitas dirinya oleh masyarakat karena kurang menunjukkan seberapa mampu dirinya dalam memimpin bangsa. Tafsiran-tafsiran soal kepemimpinan perempuan dalam ajaran Islam pun terus digulirkan demi menggagalkan Megawati untuk menjadi presiden. Juga, masyarakat Indonesia yang masih patriarkis menganggap perempuan itu lemah, sehingga rakyat pun berasumsi negara yang dipimpin perempuan akan jadi tidak kuat.

Walaupun Indonesia mendambakan menjadi bangsa yang demokratis, adil dan beradab, tetapi masih banyak rakyat yang belum siap mempersilahkan perempuan menjadi pemimpin bangsa. Padahal UUD 1945 sendiri mencita-citakan bangsa tanpa diskriminasi pemimpin, karena di dalam konstitusi NKRI ini tidak pernah ada larangan untuk perempuan memimpin maupun selalu mewajibkan laki-laki harus terus memimpin. Allah SWT menginginkan umat-Nya untuk menjadi orang yang semakin baik. Maka manusia cara hidup, cara pandang, maupun cara beragamannya harus semakin baik dari waktu ke waktu. Seharusnya di masa sekarang, masyarakat sudah semakin baik dalam beragama karena sudah banyak penafsiran ulang terhadap ajaran Islam demi membenarkan kesalahan tafsir di masa lalu. Sayangnya, kesalahan tafsir itu malah dimanfaatkan oknum untuk menguntungkan diri mereka sendiri. Lebih baik meningkatkan kemampuan dan kualitas diri daripada saling menjatuhkan dan mendiskriminasi sesama manusia.

Soal tuntutan terhadap pemimpin perempuan diadakan, ternyata begitu banyak orang menuntut soal mengapa kursi DPR Indonesia hanya sedikit diduduki oleh perempuan. Mungkin, karena politik dianggap kotor sehingga tidak dapat disentuh oleh kaum perempuan. Padahal, semua pekerjaan, termasuk politisi, selalu mengandung sisi yang buruk, baik, maupun kedua di antaranya. Tetapi, memang dunia politik itu kotornya lebih terlihat dibanding pekerjaan yang lain. Politik itu kotor jika kepentingan bangsa sudah tercampur dengan kepentingan pribadi atau golongan. Politik tidak seharusnya selalu disalahkan, karena kemerdekaan Indonesia saja berasal dari usaha politik para pahlawan yang cerdik. Mahatma Ghandi juga adalah contoh orang yang berpolitik dalam kedamaian. Selama ini pun rakyat diminta untuk hidup baik dan biasa saja padahal sebenarnya mereka tidak hidup dalam keadaan yang baik-baik saja, namun diminta bersikap untuk acuh tak acuh. Hal tersebut dilakukan demi pemerintahan yang anti kritik. Pemerintahan, maupun rakyat, semua terkesan bersahaja secara fisik, tapi ternyata tidak dengan mentalnya. Banyak pejabat yang memerintah dengan kotor, dan masih banyak rakyat yang hak demokrasinya belum maksimal dilaksanakan. Maka, rakyat butuh pemimpin dengan watak seorang ibu, yakni yang mengayomi dan mau mendengarkan keluh kesah. Tetapi, karena masyarakat masih begitu patriarkis, namun tidak mau mengakuinya dan berusaha menutupinya, diadakanlah banyak menteri perempuan, namun disingkirkanlah calon presiden perempuan.

            Di Indonesia sendiri pada masa lalu, hal-hal tentang pemerintahan masih banyak yang jauh dari sempurna. Pemerintah daerah seringkali hanya sekadar mengikuti apa yang diperintahkan pemerintah pusat. Padahal kebijakan-kebijakan yang dibuat juga belum tentu sesuai dengan keadaan daerah. Rakyat juga tidak ada hak untuk menolak melaksanakan kebijakan pusat. Pemerintahan dianggap berbau "Jawa", menyebabkan ada beberapa daerah yang ingin memisahkan diri karena tidak mau dijajah "Jawa". Tidak heran, konflik di berbagai daerah masih banyak terjadi. Salah satu penyebabnya tentu karena pemerintahan yang bermasalah.

Kemudian, muncullah ide tentang pemerintahan yang cocok untuk Indonesia, yaitu yang tetap berdaulat pada pusat tapi bisa memiliki kesempatan seluas-luasnya untuk mengembangkan daerah dengan pemerintahan daerahnya secara mandiri. Sempat mau ditetapkan sistem pemerintah yang federalis untuk Indonesia, rencana tersebut gagal karena sistem pemerintahan otonomi daerah dianggap lebih cocok untuk Indonesia. Kebijakan oleh pemerintah pusat maupun daerah harus transparan pembuatannya. Pemerintah pusat dan daerah sama-sama saling mengontrol supaya terjadi keadilan dan keseimbangan. Perekonomian juga dapat lebih maju karena pemerintah daerah diberi kesempatan untuk mengembangkan dengan baik ekonomi daerahnya sesuai dengan keadaan daerahnya. Kebudayaan juga dapat dipromosikan dengan baik oleh pemerintah daerahnya. Maka, sudah sepatutnya perempuan dilibatkan dalam otonomi daerah. Ini dikarenakan pemerintahan daerah juga masih banyak diisi oleh laki-laki. Tentunya, perempuan harus mengembangkan potensinya dengan ikut memajukan daerah.

            Dahulu sewaktu masa penjajahan, banyak pelajar dari Indonesia pergi ke luar negeri untuk menuntut ilmu. Pelajar-pelajar yang kembali ke Indonesia pun ada yang membawa semangat dan ilmu mereka ke desa-desa untuk diajarkan ke warga juga mereka tak lupa terus menanamkan keinginan pada anak-anak di desa tersebut untuk menimba ilmu sebanyak-banyaknya tanpa batas. Kartini pun terketuk hati dan pikirannya untuk mencerdaskan bangsa. Kartini bercucuran keringat bukan untuk disia-siakan perjuangannya. Meskipun Kartini telah wafat dan jasa-jasanya akan terus lekat dalam ingatan, namun "Kartini-Kartini" lainnya bermunculan untuk memperjuangkan hak-hak perempuan. Perjuangan Kartini dalam mencerdaskan kaum perempuan harusnya terus dilanjutkan, bukannya tetap menyuruh perempuan hanya berurusan dengan urusan sumur, dapur, dan kasur. Maka sudah semestinya setiap perempuan memiliki kemandirian dan kemerdekaan atas dirinya sendiri. Sudah sepatutnya perempuan berkontribusi untuk pembangunan masyarakat dan negara supaya lebih maju.        

           

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun