Menurut Atwater (1984) konsep diri merupakan system yang dinamis dan kompleks, keyakinan yang dimiliki seseorang tentang dirinya, termasuk sikap, perasaan, persepsi, nilai-nilai, dan tingkah laku yang unik dari individu tersebut. Konsep diri mencakup keyakinan, perspektif, dan penilaian seseorang terhadap diri sendiri. Konsep diri akan menyusup ke dalam pikiran bawah sadar dan mempengaruhi tingkat kesadaran seseorang dari waktu ke waktu. Manusia tidak memiliki konsep diri yang sama sejak lahir. Faktanya, seseorang dilahirkan tanpa harapan untuk dirinya sendiri, tanpa kesadaran akan siapa dirinya sendiri, dan tanpa penilaian terhadap dirinya sendiri. Pembentukan konsep diri juga sangat dipengaruhi oleh pengalaman, lingkungan, dan pola asuh orang tua. Seseorang akan menggunakan lingkungan, sikap, dan respons orang tua serta pengalaman mereka sendiri untuk membangun opini tentang diri mereka sendiri.
Atwater (1984) yang dikutip oleh Desmita (2009) dalam Marliani (2016) mengidentifikasi konsep diri dalam tiga bentuk, yaitu:
1. Body image, kesadaran tentang tubuhnya, yaitu cara seseorang melihat dirinya sendiri.
2. Ideal self, yaitu cita-cita dan harapan-harapan seseorang mengenai dirinya.
3. Social self, yaitu cara orang lain melihat dirinya.
Dimensi Konsep Diri
Ada tiga komponen utama konsep diri yang diidentifikasi oleh Calhoun dan Acocella (1990), yaitu:
1. Dimensi Pengetahuan
  Dimensi ini mencakup konsep diri atau citra diri, yang merupakan dasar dari citra diri.
2.Dimensi Pengharapan
  Dimensi ini menggambarkan sesuatu yang ingin dicapai di masa depan. Ideal diri atau aspirasi diri adalah antisipasi ini.
3. Dimensi Penilaian
  Penilaian seseorang terhadap rasionalitas atau nilai dirinya sebagai manusia dikenal sebagai penilaian konsep diri.
Perkembangan Moral, Nilai, Sikap, dan Kreativitas
Moral
Istilah moral berasal dari kata Latin mores yang artinya tata cara dalam kehidupan, adat istiadat, atau kebiasaan (Gunarsa, 1986). Moral merupakan kaidah norma dan pranata yang mengatur perilaku individu dalam hubungannya dengan kelompok sosial dan masyarakat. Teori moral menurut menurut Lawrence Kohlberg adalah ukuran dari tinggi rendahnya teori moral individu berdasarkan perkembangan penalaran teori moralnya. Teori ini menyatakan bahwa penalaran moral yang merupakan dasar dari perilaku yang etis dan mempunyai stadium perkembangan moral dengan tingkat yang teridentifikasi yaitu sebagai berikut:
1. Tingkat Prakonvensional
Seseorang yang berada di dalam tingkat prakonvensional menilai moralitas dari tingkah laku yang ada dan dibuat berdasarkan konsekuensinya langsung.
2. Tingkat Konvensional
Pada tingkat ini, anak hanya menuruti harapan keluarga, kelompok, atau bangsa. Terdapat 2 tahap pada tingkat konvensional, yaitu orientasi kesepakatan antara pribadi atau orientasi "anak manis" dan orientasi hukuman dan ketertiban.
3. Tingkat Pascakonvensional
Pada tingkatan yang jelas untuk merumuskan nilai-nilai dan prinsip moral yang memiliki keabsahan dan dapat diterapkan, terlepas dari otoritis kelompok atau orang yang berpegang pada prinsip-prinsip itu dan terlepas pula dari identifikasi diri dengan kelompok tersebut.
Nilai
Menurut Spranger, nilai diartikan sebagai suatu tatanan yang dijadikan paduan oleh individu untuk menimbang dan memilih alternatif keputusan dalam situasi sosial tertentu. Menurut Spranger menggolongkan nilai itu ke dalam enam jenis, yaitu: nilai teori atau nilai keilmuan, nilai ekonomi, nilai sosial atau nilai solidaritas, nilai agama, nilai seni, nilai politik atau nilai kuasa
Sikap
Sikap merupakan salah satu aspek psikologis individu yang sangat penting karena sikap merupakan kecenderungan untuk berperilaku sehingga akan banyak mewarnai perilaku seseorang. Menurut LL. Thursione menyatakan, sikap sebagai tingkat kecenderungan positif atau negatif yang berkaitan dengan objek psikologis. Objek psikologis tersebut antara lain: simbol, kata-kata, slogan, orang, institusi, gagasan dan sebagainya.
Kreativitas
Kreativitas adalah proses kemampuan individu untuk memahami kesenjangan atau hambatan dalam hidupnya, merumuskan hipotesis baru, dan mengomunikasikan hasil-hasilnya, serta sedapat mungkin memodifikasi dan menguji hipotesis yang telah dirumuskan. Untuk dapat melakukan semua itu diperlukan adanya dorongan dari lingkungan yang didasari oleh potensi kreatif yang telah ada dalam dirinya. Pendekatan terhadap kreativitas menurut Clark (1988) yaitu, menggunakan pendekatan holistik untuk menjelaskan konsep kreativitas dengan berdasarkan pada fungsi-fungsi berpikir (thinking), merasa (feeling), mengindra (sensing), dan intuisi (intuiting).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H