[caption caption="Ilustrasi @ Shutterstock"][/caption]
Media harusnya menjadi sumber informasi bagi masyarakat, bukan obyek luapan kemarahan. Tapi, apa yang sedang terjadi pada masyarakat kita saat ini? Sebagian masyarakat Indonesia sedang bergerak ke arah mudah marah. Sebagian masyarakat kita begitu marah pada hal-hal yang masih sumir kebenarannya. Termasuk marah-marah pada media.
Sekarang ini seiring dengan menghangatnya suhu politik di Indonesia, sikap kritis masyarakat pun mulai tumbuh. Masyarakat mulai skeptis terhadap hal-hal dan kondisi di sekitarnya. Banyak orang yang mempertanyakan atau meragukan kondisi disekitarnya dan berusaha menemukan jawaban atas kondisi tersebut. Sayangnya, sikap kritis itu terpecah lagi menjadi dua. Kritis murni dan kritis sesuai selera.
Kritis murni itu baik, tentu saja. Dengan bersifat kritis murni, kamu akan bisa melihat suatu hal dari banyak sisi yang akan meluaskan pandanganmu. Nah yang berbahaya adalah kritis sesuai selera. Orang yang kritis sesuai selera ini hanya akan kritis terhadap apa yang bertentangan dengan dirinya. Kritis sesuai selera ini menciptakan marah-marah. Termasuk marah-marah pada media.
Boikot, Usir dan Keruntuhan Nalar
Sekarang coba ingat-ingat, seberapa sering kamu melihat tagar untuk memboikot atau mengusir sebuah media menghiasi lini masamu? Akhir-akhir ini hal itu cukup sering terjadi. Bahkan pada sebuah aksi yang diklaim berjalan damai baru-baru baru ini, ajakan pemboikotan, pengusiran dan himbauan untuk "Tak usah liput kami" pada beberapa media masih saja terjadi. Untuk kelengkapan tulisan ini, harap dimaklumi, saya harus secara terang-terangan menyebut dan menuliskan nama-nama media yang pernah menjadi korban seruan boikot, ajakan usir dan himbauan untuk tak meliput. Media-media tersebut adalah Metro TV, Kompas TV dan Kompas.com ketiga media itu dinilai sebagian orang menyudutkan, mengecilkan dan mengganggu suatu kelompok tertentu dalam pemberitaannya. Tekanan sebagian masyarakat muncul hingga munculah ajakan boikot, himbauan tak meliput dan seruan usir tersebut. Pendeknya sebagian masyarakat sedang marah-marah pada media dan sekarang banyak orang terjangkit fenomena seperti itu. Menghakimi media karena memberitakan tak sesuai selera mereka. Lucunya, sikap yang katanya kritis dan demi kebenaran tersebut hanya diterapkan kepada beberapa media tertentu.
Dalam padangan saya yang juga masih belajar ini, fenomena marah-marah pada media dengan mengusir dan memboikot apalagi memaki awak pekerjanya adalah hal bar-bar yang tidak berdasar.
Sederhananya: jka suatu media dianggap jelek oleh sebagian orang, apa lantas semua yang terkait dengan media itu menjadi salah total? Sebrapa sering kamu melihat tagar boikot media ini, usir media itu terbaca di lini masamu, rasional ajakan itu?
Apa karena satu media jelek dalam persepsi sebagian orang, lantas semua yang terkait dengan media itu pasti jelek seluruhnya? Pasti anti ini anti itu, mana data valid untuk bisa menilai seperti itu? Mari sama-sama membuka pikiran, biasakan meneliti sebelum marah-marah dan meneliti pun bukan untuk marah-marah, tapi untuk mencari tahu dengan teknik yang terarah.
Misalnya, dalam ilmu komunikasi massa, memang dikenal adanya sebutan bias media, tapi untuk mengatakan sebuah media itu bias, anda perlu meneliti tentang itu untuk menguji kebenarannya. Teliti sebelum marah-marah. Jangan sekedar berasumsi.
Misalnya, jika Kompas dan Metro TV memberitakan pembubaran HTI apa lantas mereka anti terhadap Islam? Jika ada yang bilang iya, sudahkah anda meneliti kebenaran asumsi tersebut minimal menonton kedua TV itu sebulan penuh? Sudah belum? atau mau tidak? Kalau jawabannya belum dan ogah, itu artinya anda hanya marah-marah. Kenapa? Karena contohnya jelas HTI sekarang bubar, dan peristiwa bubarnya HTI jelas memiliki nilai berita dan wajar jika sejumlah media berlomba-lomba meliputnya, karena memang sedang hangat. Itu saja. Adalah ngwur jika mencap sebuah media anti sesuatu hanya karena media itu meliput 'Sad moment' dari sebuah pristiwa.
Yang tak kalah uniknya, bahkan ada orang yang mencap orang lain sebagai "kendor iman" "kurang agama" dll, hanya karena melihat media apa yang dia baca, tonton dan tulis.
Memangnya kenapa? Apa hubungannya iman seorang pembaca dengan apa yang dia baca? Di titik ini, orang yang menyinyiri orang lain karena konsumsi media, hanya sedang marah-marah pada media dan itu tanpa dasar yang kuat Titik. dia hanya tidak suka dan sedang bersikap kritis sesuai seleranya.
Analoginya begini: jika saya baca buku Kumpulan Cerpen Etgar Keret yang seorang Yahudi berkebangsaan Israel apa saya lantas menjadi Yahudi dan orang Israel? Tidak dan tidak bisa demikian, saya tetap orang Indonesia dan bukan beragama Yahudi. Imanmu tak bisa diukur hanya dengan media apa yang kamu baca, tonton dan tulis. Adalah sangat mengerikan jika manusia bisa memprediksi kadar iman seseorang hanya dari cara dia menulis dan membaca.
Kembali lagi ke fenomena marah-marah pada media, Ah! hidup terlalu singkat untuk meladeni pendangkalan nalar yang akhir-akhir ini terjadi. Ada yang lebih bisa menberikan cahaya nalar kita: Literasi. Bukan kemarahan tiada ujung. Apa setiap isi media harus sesuai selera suatu golongan? Jika iya.. Ah sudahlah, mungkin kamu salah zaman!
Salam Kreatif!
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H