Mohon tunggu...
Syifa Ann
Syifa Ann Mohon Tunggu... Penulis - Write read sleep

Alumni Sosiologi, Penyuka Puisi | Pecinta Buku Nonfiksi & Kisah Inspirasi. | Pengagum B.J Habibie. | Pengguna K'- Mobilian. | Addicted With Joe Sacco's Books. | Risk Taker. ¦ A Warrior Princess on Your Ground. | Feel The Fear, and Do It Anyway :)

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Kompasiana: Maya ke Nyata, dari Tulisan ke Pertemuan, Ini Ceritaku

24 Oktober 2016   00:47 Diperbarui: 24 Oktober 2016   08:53 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

○ [caption caption="Dok akun Official Kompasiana"][/caption]

Kompasiana selama perjalanannya di dunia digital, media warga yang baru menjejak tahun ke delapan ini telah menorehkan banyak cerita bagi anggotanya, baik manis, pahit atau error yang tentunya nyebelin. Bosen ah bahas error, saya mau berbagi ini saja:

**
Salah satu cerita manisnya berkompasiana adalah temu nyata, bagi saya pribadi tak terbayang sebelumnya, sejak aktif menulis di Kompasiana, saya jadi rajin kopdar. Tak pernah terbayang sebelumnya, saya akan jadi salah satu anggota yang merasakan sendiri, hangat, rekat dan solidnya orang-orang yang disebut Kompasianer itu. Semua berawal dan disatukan oleh satu hal: tulisan.

Kompasiana Tebar Virus Candu Nulis

Saya membuat akun di Kompasiana sejak September 2013, meski belum terlalu aktif menulis artikel di Kompasiana, pada tahun itu saya lebih suka menjadi pengamat artikel-artikel Kompasianer lain, sementara saya, untuk menulis di akun sendiri bisa dibilang hanya sebulan sekali. Saat itu saya jadi hapal beberapa Kompasianer aktif dan fokus tulisannya, misalnya Rahab Ganendra yang fokus menulis puisi, Fey Down yang aktif membahas scammer cinta, dan Ombrill yang fokus di isu televisi.

Semua berubah di tahun 2014, tepatnya bulan Januari, saat itu saya berani-beraninya mengambil side job sebagai wartawan lepas di sebuah media online, padahal nulis aja jarang, dan syukurnya diberi kesempatan dan diterima.

Hal itu mau tak mau memacu saya untuk lebih banyak menulis, dan selain belajar dari proses liputan berita, saya juga menjadikan web Kompasiana sebagai tempat untuk latihan. Belajar nulis lebih aktif, nulis lebih banyak, dan menurut saya, Kompasiana itu tempat yang ideal karena ada lalu lintas penulis dan pembaca yang bisa memberikan umpan balik terhadap tulisan, apa pun bentuknya dan saya bisa lebih bebas menulis di Kompasiana, ketimbang di media online mainstreem untuk liputan yang memiliki standar lebih kaku.

Jadilah frekuensi menulis saya meningkat seiring niat latihan itu, tulisan saya yang tadinya muncul hanya sebulan sekali menjadi posting seminggu sekali di Kompasiana, belum terlalu aktif memang, tapi, tulisan saya mulai mendapatkan respon perlahan. Tercatat tulisan pertama saya yang di headline-kan admin di Kompasiana adalah sebuah puisi berjudul Anak Monas, yang saat itu saya buat untuk menanggapi momen ditangkapnya salah satu politisi yang pernah berjanji nyeleneh bawa-bawa nama Monas, dan politisi itu akhirnya diciduk KPK. Puisi yang iseng Saya buat itu di sini, dan menjadi HL Kompasiana.

Sejak saat itu makin semangat saya menulis di Kompasiana, menulis sambil belajar.

"Coba Cari Sendiri"

Mei 2015, saya mulai dihadapkan pada tugas akhir Skripsi, inginnya saat itu mengejar target studi 3.5 tahun, tapi target tersebut meleset. Rencana Skripsi saya tentang salah satu sinetron di stasiun TV swasta ditolak tanpa respon dari mereka, mulailah saya berpikir apa yang bisa menggantikan, saya liriklah Kompasiana, tempat belajar nulis selama ini pasti bisa membantu, itu pikiran saya saat itu. Saya mintalah izin sama dedengkotnya Kompasiana Mas Iskandar Zulkarnaen alias Mas Isjet.

Dan dasar Syifa dudul, nekat banget minta izin skripsi sama Mas Isjet via twitter! Hal sebesar skripsi, minta izin via twitter! dan syukurnya direspon, dimudahkan sama Mas Is yang minta saya kirim proposal skripsi via email untuk dikoordinasikan dengan HRD. Duh.. Sebelumnya mungkin gak ada mahasiswi senekat saya.

Selanjutnya saya komunikasi dengan HRD yang ditunjuk Kompasiana untuk mengarahkan skripsi saya, Mas Aldi. Mulailah saya dibuatkan jadwal wawancara.

Wawancara pertama dengan Mas Isjet berlangsung lancar. Hangat dan kritis itu kesan pertama saya tentang lelaki bertanggal lahir 2 Januari itu, dan setelah sesi wawancara itu saya bilang ke Mas Is kalau saya gak kenal Kompasianer satu pun sama sekali untuk saya jadikan narasumber dan minta tolong mas Is yang carikan.. - Sekarang setelah lebih matang, saya tepuk jidat setiap kali ingat momen itu.

Duh! Dengan sabar Mas Is bilang:
"Coba dong cari sendiri, nanti ngerti."

Saat itu saya bingung gimana carinya dan gimana caranya, tapi sekarang setelah lebih matang, saya justru bersyukur, dulu Mas Is bisa merespon momen itu dengan sabar- kalau orang lain, entah! dan untung dulu disuruh "cari sendiri". Sesuatu yang membuat saya mengerti apa arti Kompasianer itu: berbagi apa yang bisa dibagi termasuk ilmu dan waktu.

[caption caption="Wawancara Skripsi dengan Mas Isjet Dok Pri"]

[/caption]

Sedikit Cerita tentang Nangkring Pertama

Gegara "Cari Sendiri"- nya Mas Isjet, jadilah saya bergriliya untuk cari Kompasianer buat narasumber Skripsi saya selain para admin Kompasiana yang adalah informan kunci. Saya konsultasi sama Mas Aldi-HRD, gimana caranya cari Kompasianer biasa buat narasumber.

"Ikut Nangkring." Jawaban Mas Aldi yang saat itu saya pikir bercanda.

"Nangkring apaan, gimana, Mas?" - Sebuah pertanyaan yang sekarang bikin tepok jidat.

"Acara, temu blogger regulernya Kompasiana, memang belum pernah?" Tanya Mas Aldi masih sabar.

"Belum Mas." Saya mengaku malu dan jujur saat itu.

"Minta email dan Url akun Kompasiana kamu, kirim WA. Jangan bilang gak punya akun?" Sambung Mas Aldi.

"Kalau akun punya, Mas."

"Kirim WA, saya urus, nanti kamu datang pas acara ya. Habis itu ikuti formatnya biar bisa daftar sendiri kalau nangkring lagi."

"Tolong buatkan jadwal wawancara dengan Kang Pepih, Mas. Saya butuh wawancara Kang Pep", sambung saya.

"Iya, dilihat dulu waktunya, ya" Tutup Mas Aldi.

Sebuah percakapan yang sekarang saya sadari, benar-benar sabar.

**
Entah gimana caranya, saya diemail konfirmasi untuk datang nangkring Kompasiana Bauksit akhir Mei itu. Selain acara nangkring itu, saya juga bergriliya cari narasumber lewat tulisan di Kompasiana, saya tulislah artikel ini.
Tulisan sederhana yang mengundang respon saat itu, setidaknya dari situ saya jadi tahu harus cari siapa saat nangkring pertama. Beberapa Kompasianer setuju untuk diwawancara. saya juga kontak bunda Fey, yang ternyata Jauuuuh.. Di negeri Kangguru.

Datanglah saya di Nangkring Bauksit Peninsula itu, ketemu dan kenal langsung dengan Pak Thamrin Sonata yang lantas mengarahkan saya ke Kompasianer lain, Pak Syaiful W. Harahap, Mas Rahab, Pak Te De, Mbak Arum, Mbak Popy, Dll. Kami sepakat untuk wawancara skripsi setelah acara Nangkring, sementara saya ikuti jalannya acara sambil ngetweet, yang saya waktu itu gak tahu ada lomba livetweet, ngetweet aja, memang wajib kali. Gitu pikiran saya, dan diakhir acara, Mbak Citra yang saat itu jadi MC membacakan kalau saya menang livetweet-nya Bauksit, saya bingung, maksudnya apaan.

"Kamu maju," kata Mas Rahab memberi Komando, ya sudah saya turuti". Baru saya tahu, begitu toh namanya lomba livetweet dan ternyata berhadiah.

**
Sepakat wawancara setelah acara nangkring, ternyata saya kurang cepat, selesai acara, Kompasianer sudah pada mencar, tinggal Mas Rahab yang dedengkot komunitas KPK- 'madyang' lagi ngobrol dengan Mbak Wawa, yang saat itu menjadi admin Kompasiana.

[caption caption="Dengan mbak Wawa- Ex Admin Kompasiana (Dok Pri)"]

[/caption]

[caption caption="Wawancara Skripsi dengan Pak Te De"]

[/caption]

[caption caption="Wawancara Skripsi dengan Mas Rahab di Peninsula Dok Pri"]

[/caption]

[caption caption="Wawancara Skripsi dengan Pak TS Dok Pri"]

[/caption]

Saya ke Mas Rahab untuk wawancara, saat saya wawancarai, Mas Rahab, lelaki berciri khas topi itu bilang sama Mbak Wawa kalau saya mahasiswi yang lagi skripsi tentang Kompasiana, iseng-iseng saya tanya, Mbak Wawa: "Mbak, Kang Pepih di mana, masih di sini gak? Saya butuh wawacara Kang Pep."
"Masih di atas, tunggu nanti turun," kata Mbak Wawa.

Benar saja, saya ngobrol dengan mas Rahab dan Mbak Wawa, gak lama, Kang Pepih turun dari tangga. Fokus saya teralih ke Kang Pepih. Wawancara dengan Kompasianer lain saya lakukan di nangkring berikutnya.

Saya "nembak" Kang Pepih untuk wawancara, dan syukurnya diladeni meski kaget, Kang Pepih mau diwawancara dadakan. Wawancara di Lobby Hotel itu tidak berlangsung lama, setelahnya ada taksi pesanan Kang Pepih datang, wawancara-pun dilanjutkan di Kantor Kompasiana Palmerah 3 hari setelahnya, dan ternyata di balik mudahnya wawancara itu.. Ada yang susah-payah mengusahakan saya, terima kasih, maafkan! :) selengkapnya artikel ini.

[caption caption="Wawancara Tembak dengan Kang Pepih di peninsula"]

[/caption]

Bersyukur diperlakukan dengan baik dan sangat sabar oleh Kompasianer dan Tim Kompasiana, itulah yang saya rasakan sampai sekarang. Meski karena satu dan lain hal, sampai sekarang skripsi itu belum kelar dan masih saya usahakan.

Skripsian tentang Kompasiana, otomatis membuat saya lebih aktif menulis dan lebih rajin mengikuti dinamika Kompasiana, bukan cuma karena skripsi, tapi memang saya sudah nyaman nulis di sini, selain itu memang, saya ingin lulus lewat Kompasiana, saya ingin bisa menulis momen wisuda saya di Kompasiana, itu komitmen saya sejak awal dan akan saya tuntaskan.

Mengutip istilah Kang Pepih: Never Surrender, itu yang sedang saya coba terapkan. Apa pun caranya, selama itu baik, saya percaya, akan selalu ada jalan, sekalipun jalan "bawah tanah."

**
Bergabung dan menulis di Kompasiana, telah memberikan saya banyak pelajaran, pengalaman, pertemanan dan pertemuan. Saya bertemu, banyak "pembimbing" dan belajar banyak hal dari semuanya: belajar disiplin menulis, belajar sabar, belajar berkomunitas, belajar intisari dan banyak lagi, momen-momen terbaik yang tak bisa saya tukar dengan apa pun.

Seiring perkembangan, ada tawaran untuk menulis di tempat lain, yang bahkan bukan cuma sekedar menulis, tapi mengawasi dan merawat, namun saya dengan sepuluh jari dan sepasang mata, belum ingin pindah rumah.

Mauku merawat Kompasiana, kalau bisa dan nanti ada waktunya. Bukan merawat tempat lain. Apa? ¦ Ah, bukan apa-apa, cuma kipas nyala sendiri. :)

**
Berkat kenal dan nyempung di Kompasiana, saya jadi tahu, Kompasianer dan tim Kompasiana itu... Pengertian tanpa kata-kata!

[caption caption="Ngeriung bareng Kompasianer Dok Rahab Ganendra"]

[/caption]

**
Bukan berarti Kompasiana selalu baik-baik saja, tidak juga, beberapa error masih ada, dan beberapa kali juga saya punya pengalaman tulisan dihapus admin karena mungkin saya kurang cermat dan kurang doa. Biarlah itu jadi koreksi dan pecutan bagi saya untuk belajar lagi.

Sementara soal error? Rasanya, itulah sisi lain Kompasiana yang masih harus dimaklumi sama-sama. Perbaikan pasti terus dicoba sama mereka: tim admin di Lantai setengah lusin.

**
Menulis di Kompasiana telah memberi saya momen-momen terbaik dari dunia maya ke temu nyata, persahabatan, jaringan dan banyak hal lainnya.

[caption caption="Have Fun, Here we are: Kompasianer, Dok Rahab Ganendra"]

[/caption]

Itulah sedikit catatan saya,
Kalau kamu punya cerita apa?
Yuk ditulis, biar bisa kita baca sama-sama :)

Ayo Nulis!
Selamat Ulang tahun, Kriko :)
Salam Kompasiana!

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun