Mohon tunggu...
Syifa Ann
Syifa Ann Mohon Tunggu... Penulis - Write read sleep

Alumni Sosiologi, Penyuka Puisi | Pecinta Buku Nonfiksi & Kisah Inspirasi. | Pengagum B.J Habibie. | Pengguna K'- Mobilian. | Addicted With Joe Sacco's Books. | Risk Taker. ¦ A Warrior Princess on Your Ground. | Feel The Fear, and Do It Anyway :)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Sekelumit Cerita Lain tentang Harian Kompas dari Mata Warga Biasa

27 Juni 2016   14:36 Diperbarui: 28 Juni 2016   17:03 312
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Koran kompas dok pribadi

28 Juni 2016 adalah hari yang istimewa bagi Harian Kompas. Tahun ini Kompas memasuki usia ke-51 tahun. Usia yang cukup matang, bahkan jika ia adalah manusia, di usia tersebut mestinya ia sudah menikmati kesuksesan secara finansial atau kesuksesan hidup yang jauh lebih baik. Bahkan bagi sebagian kalangan usia tersebut adalah saatnya menikmati hidup dengan karier yang bersinar dan kehidupan keluarga yang sudah mapan.

Berawal dari ide Jenderal Ahmad Yani, maka lahirlah koran mingguan Bentara Rakyat melalui Petrus Kanisius (PK) Ojong dan Jakob Oetama pada 28 Juni 1965. Tak lama, Bentara Rakyat berubah menjadi koran harian nasional dengan nama koran Kompas, yang hingga kini masih merajai dunia media massa Indonesia.

28 Juni 1965 koran berslogan Amanat Hati Nurani Rakyat itu terbit untuk pertama kalinya. Kini lebih dari lima dasawarsa setelahnya, Harian Kompas masih ada, di usia penerbitan yang menginjak tahun ke-51, Harian Kompas telah dan terus bertumbuh bersama Indonesia menjadi teman, melewati zaman dari generasi ke generasi hingga saat ini.

Lalu bagaimana memandang usia ke-51 bagi sebuah media cetak nasional terbesar di Indonesia atau mungkin di Asia Tenggara ini? Apakah benar Kompas sedang memasuki masa 'pensiun', mundur teratur dari jagad media cetak nasional?

Tentang harian Kompas di dari masa ke masa, rasanya banyak cerita mewarnai Indonesia, sebagian di antaranya bertebaran di Kompasiana, dari beberapa Kompasianer yang membagikan tulisannya, sekumpulan cerita tersaji di ranah Kompasiana, inilah intisarinya:

  1. Jurnalisme Kepiting a la Kompas
    Lebih dari 5 dasawarsa usia penerbitannya, Harian Kompas telah menapaki jalan panjang dalam dunia jurnalisme sehingga harus pandai-pandai menyiasati arus kekuasaan dari era Orde Baru hingga reformasi. Jalan siasat yang ditempuh kompas untuk mempertahankan eksistensinya lama kelamaan dikenal dengan sebutan Jurnalisme Kepiting.

    Istilah ini bukan merujuk kepada sebuah aliran jurnalisme di dunia ini, melainkan hanya sebuah sindiran yang dilontarkan kepada harian umum Kompas pada era akhir 1970-an. Papar Yudha P. Sunandar dalam tulisannya.

    Adalah Rosihan Anwar, tokoh pers Indonesia yang pertama kali melontarkan sindiran “jurnalisme kepiting” tersebut. Pasalnya, Kompas lebih memilih jurnalisme yang lebih lembut dan dinamis, dibandingkan surat kabar pada masanya yang menganut jurnalisme keras dan sarat kritik tajam terhadap pemerintahan Soeharto. Jalan jurnalisme yang lebih halus ini diambil setelah Kompas dibredel selama tiga pekan oleh pemerintahan Soeharto pada awal 1978. Saat itu, Jakoeb Oetama berusaha fokus untuk membangun strategi agar Kompas bisa kembali hadir dan melayani publik.

    Sebagai konsekuensinya, Kompas harus menaati sejumlah larangan yang digariskan oleh Orde Baru dalam melakukan tugas jurnalismenya. Meskipun dikritik oleh tokoh pers dan ditentang oleh sebagian awak redaksinya, strategi inilah yang kemudian membuat Kompas bisa mencapai usianya yang ke-50 tahun pada Juni 2015 lalu.

    Rikard Bangun, pemimpin redaksi Kompas 2009-2014, menjelaskan bahwa jurnalisme kepiting merujuk kepada pemberitaan redaksi yang selalu memaksimalkan pemberitaan hingga ambang batas. Ketika mulai ada teguran, kemudian ketajaman pemberitaan diturunkan hingga keadaan pemerintah reda. Begitu seterusnya, hingga pemerintah Orde Baru tumbang dan digantikan reformasi.

    Jakob Oetama menambahkan bahwa Kompas berusaha lebih dinamis usai dibredel pemerintah. Surat kabar tersebut menerima peringatan dari Orde Baru. Namun, mereka juga memiliki pendapat dan berusaha untuk menyuarakannya secara mandiri. "Hal yang penting adalah message (pesan) yang ingin kita sampaikan bisa sampai kepada publik dan pemerintah yang sedang berkuasa," tandas pendiri Kompas itu. Sebuah pemaparan deskriptif dari seorang Yudha P. Sunandar.

  2. Harian Kompas dan Perjumpaan dengan Sejumlah Makhluk Halus
    Pepih Nugraha. COO Kompasiana itu telah bergabung di koran Kompas sejak tahun 1990. Dalam perjalan karirnya, ia pertama kali berada dalam Divisi Pusat Informasi Kompas. Selang 3-4 tahun, penggemar catur tersebut pindah ke Divisi Penelitian dan Pengembangan (Litbang). Akhirnya, pada tahun 1995 Pepih resmi berprofesi sebagai wartawan harian Kompas. Hingga saat ini, sudah 20 tahun lebih profesi itu ditekuninya.

    HALAMAN :
    1. 1
    2. 2
    3. 3
    4. 4
    5. 5
    Mohon tunggu...

    Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
    Lihat Humaniora Selengkapnya
    Beri Komentar
    Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

    Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun