29 Mei 2006, lumpur panas menyembur dari lokasi pengeboran PT Lapindo Brantas Inc. di Dusun Balongnongo Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo. Semburan Lumpur ini menggenangi banyak Kecamatan di Sidoarjo juga melumpuhkan pemukiman, aktivitas perindustrian dan perekonomian khususnya di Sidoarjo dan di Jawa Timur secara umum.
Banyak orang kehilangan mata pencaharian, banyak warga Sidoardjo yang terpaksa diungsikan. Bencana itu bak lumpur hisap yang merenggut kehidupan dan harapan bagi para korban.
Kini, 29 Mei 2016. Lumpur laknat itu genap satu dasawarsa. Sepuluh tahun sudah luka menganga, sepuluh tahun sudah lumpur itu mengeja banyak cerita kebanyakan pilu.
Lumpur Lapindo satu dasawarsa, apa yang tersisa? Banyak kisah dan kesan terekam dalam tulisan. Inilah bencana lumpur Lapindo dalam catatan dan ingatan Kompasianer.
1. Catatan Lumpur dan Buku Potret Lumpur Lapindo Sidoarjo
Kompasianer Agung Prasetyo pertama kali mengetahui adanya bencana Lumpur Lapindo dari berita di koran dan televisi pada 2006. Hingga beberapa tahun kemudian Agung berkesempatan mengunjugi sendiri lokasi bencana tersebut.
Agung terpana, lumpur itu telah merendam lebih banyak desa, mengantarkan lebih banyak kehidupan menuju titik nadir. Banyak warga yang terlihat pasrah kehidupannya berubah setelah lumpur bertamu ke desa mereka.
Salah seorang korban terdampak lumpur Lapindo yang ditemui Agung bernama Khoirul Anam, ia bercerita bahwa bawah genangan lumpur ini banyak "harta terpendam" seperti motor dan lainnya.
Agung Sedikit heran mendengarnya:
"Motor? atau mungkin memang tidak sempat terangkut atau terbawakah? Karena alat transportasi ini cukup baik pula bila digunakan untuk mobilisasi atau mengangkut barang-barang ke tempat tujuan baru. Yang pasti, ada dorongan untuk mencari uang dengan jalan menarik uang parkir, ojek berkeliling dengan tarif tertentu." Pikir Agung.
Bencana lumpur Lapindo telah membawa duka bagi banyak orang, bagi Agung, wisata lumpur adalah wisata kesedihan. Dalam artikel dengan cerita apik ini, Agung membiarkan jepretan foto lebih banyak berbicara. Perpaduan kata, data dan gambar yang menawan.
[caption caption="DVD tragedi Lumpur Lapindo yang dijual warga Sidoarjo (Foto: Agung Prasetyo)"]
[caption caption="Semburan Lumpur menimbulkan asap pekat(Foto: Agung Prasetyo)"]
Kesempatan bertugas di Sidoarjo membuat Rushans Novaly punya kesempatan mengunjungi lumpur lapindo di wilayah porong.
"Sebelum berangkat menuju Sidoarjo saya mendapat permintaan dari beberapa teman untuk mengunjungi sumber semburan Lapindo. beberapa orang malah minta dibawakan serpihan lumpur dari lapindo sebagai kenang kenangan". Kenang Rushans.
Sesampainya di lokasi, Rushans berhasil melihat dari dekat lumpur panas itu sepandangan mata dari atas tanggul yang menjulang yang tingginya hampir 10 meter, tersusun dari batu batu cadas berupa undak undakan dengan jaring kawat baja sebagai pengikatnya. Tanggul lumpur itu dibuat agar luapan lumpur tidak meluber menuju jalan raya porong dan jalur kereta api Surabaya- Malang yang berada disisi tanggul.
Bau khas dari lumpur tercium. Seperti bau belerang. Letupan dari tengah danau lumpur terlihat jelas. Kepulan asap putih dari tengah danau terlihat membumbung tinggi. Papar Rushans.
[caption caption="Tanggul penahan semburan lumpur (Foto: Rushans Novaly"]
3. Tentang Ayah (Catatan Jelang 5 Tahun Lumpur Lapindo)
Goresan berbeda ditorehkan Rahman Seblat, ia mencerita tragedi genangan lumpur tersebut di mata seorang ayah menarik benang merah dari sebuah film perang The Age ofStupid. Menurut Rahman, film tersebut dengan bencana lumpur Lapindo memiliki sebuah persamaan: tentang para ayah yang rela melakukan apa saja demi keluarganya.
" Ayah mereka (Korban Lumpur) -read telah "dibunuh" mata pencahariannya. Sawah leluhur ditenggelamkan. Pabrik tempat si ayah menggantung hidup dilantakkan. Ruang usaha tempat gantungan nasib dimana rejeki didayung dengan susah payah oleh ayah hancur lantak diporandakan oleh lumpur yang mengurung. Kampung halaman ruang banyak orang bermukim dihilangkan paksa oleh gelontoran pekat yang tentu tak datang begitu saja." **
** "Tiba-tiba kesengsaraan di depan mata. Ayah menjadi tak berdaya, kemudian keluyuran dengan botol di tangan, dengan seribu serapah yang tak pernah menyelesaikan masalah. Atau malah kawin lagi, demi menghilangkan galau".
Paparan dan goresan elegi yang menyayat hati namun realita yang sangat mungkin terjadi.
4.10 Tahun Lumpur Lapindo, Udah Lupa Ya?
Kompasianer Firdaus Cahyadi melempar tanya itu seraya menuliskan artikel tersebut sebagai pengingat bagi kita semua bahwa setelah satu dasawarsa berlalu, luka akibat tragedi itu belum sembuh juga. Masih banyak warga terdampak yang belum sepenuhnya mendapat hak yang seharusnya mereka terima.
[caption caption="Petikan buku Banjir Lumpur- Banjir Janji. Ketika Lumpur Memupus Asa (Capture: Google Books)"]
Satu dasawarsa lumpur panas itu berkiprah di Timur Jawa, banyak duka menjadi cerita. Itulah ragam catatan dan ingatan Kompasianer tentang bencana lumpur Lapindo.
**
Ya, kita memang perlu mencatat peristiwa dan merawat ingatan untuk mengambil pelajaran agar tak lagi mengulang kesalahan yang membawa duka. Namun kita juga tak boleh lupa bahwa bangkit dan bergerak maju adalah keharusan sebab masih ada jalan panjang di masa depan.
Semoga bencana itu segera berlalu, semoga Indonesia cukup kuat untuk berhenti meratapi masa lalu dan terus melangkah maju.
Salam Kompasiana!
*Penulis masih belajar, mohon koreksinya. :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H