"Berkeliarannya para joki, terutama wanita yang mengendong bayi. Mereka berjejer disetiap sudut jalan yang mengarah ke jalan dimana diberlakukan 3 in 1 Berebutan naik, bila ada kendaraan yang stop tanpa memperdulikan keselamatannya sendiri,gaya dan cara ini mengundang bahaya bagi pengguna jalan lainnya. 3 in 1 merusak wajah DKI, sehingga menimbulkan image negative bagi pendatang, khususnya wisatawan mancanegara dan yang lebih parah lagi belakangan ketahuan bahwa terjadi eksploitasi karena bayi bayi tersebut di sewa pagi dan sore ,sesuai jam three in one diberlakukan." Terang Tjipta.
Sebuah kenyataan yang memancing ironi dari sebuah aturan.
"Sebagai warga DKI dan ber KTP DKI, saya merasakan betapa system 3 in 1 yang selama ini diberlakukan disamping sama sekali tidak efektif, sekaligus menciptakan terjadinya berbagai kerawanan. Keprihatinan terhadap warga miskin di DKI yang tidak mendapatkan lowongan pekerjaan, tidak secara serta merta dapat menjadi alasan untuk menjadikan daerah 3 in 1 ini,sebagai: ”industri” yang memproduksi para joki, perlu solusi lain yang lebih aman dan manusiawi, bagi para joki ini," Papar Tjipta.
4. Kajian Pakai Otak: 3 in 1 Akan Dihapus!
"Persoalannya sederhana, memang 3 in 1 itu ada gunanya? Memang 3 in1 itu mampu mencegah kemacetan? Apa tidak dipantau bahwa 3 in 1 itu cuma memindahkan kemacetan! Kenyataannya 3 in 1 itu sukses menciptakan lapangan kerja, para joki yang melanggar hukum."
Pandangan lugas menggelitik dari seorang Jhon Bratayang mengajak kita berpikir.
Menurut Jhon, yang penting bukan kebijakan apa yang diterapkan, tapi efektifitas dan kesadaran dari masyarakat untuk mematuhi aturan itu yang harus dibiasakan.
Menurut Jhon, keberadaan 3 in 1 di ibukota belum mampu berkembang sesuai harapan: menciptakan kerapian.
"Karena itu daripada 3 in 1 dijalankan yang banyak dimanfaatkan dan menjadi ajang pelanggaran peraturan, dihapus saja. Rasanya malu banget sebagai rakyat yang hidup di negara bebas, beragama, pakai dasar Pancasila lagi, terlihat adegan para joki yang ibu-ibu gendong anak, yang tua-tua, yang penampilan seperti preman untuk mengelabui menyikapi pengalihan pembenaran kesalahan, dikejar-kejar petugas, dipiting dan didorong seperti maling". Sebuah pemikiran lugas menohok tanpa aling-aling.
Kebijakan 3 in 1 adalah potret dua sisi dari sebuah upaya menciptakan kerapian kota. Pemberlakuan aturan yang menjadi penghidupan bagi sebagian orang, sekaligus mencipta ironi. Itulah intisari suara empat dari sekian banyak Kompasianer- Warga biasa yang peduli.
Semoga apa pun kebijakan yang diambil nantinya dapat memberi manfaat seluas-luasnya bagi kemajuan Jakarta.
Salam Kompasiana!
*Penulis masih belajar, mohon koreksinya :)