Mohon tunggu...
Syifa Ann
Syifa Ann Mohon Tunggu... Penulis - Write read sleep

Alumni Sosiologi, Penyuka Puisi | Pecinta Buku Nonfiksi & Kisah Inspirasi. | Pengagum B.J Habibie. | Pengguna K'- Mobilian. | Addicted With Joe Sacco's Books. | Risk Taker. ¦ A Warrior Princess on Your Ground. | Feel The Fear, and Do It Anyway :)

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Obral Air Mata dalam Berita; Sebuah Kegagalan Jurnalisme Empati

19 Agustus 2015   16:06 Diperbarui: 19 Agustus 2015   17:24 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

: Bencana dan musibah selalu menimbulkan air mata sekaligus mempunyai nilai berita. Barangkali media bermaksud menggalang jurnalisme empati namun yang terlihat adalah jurnalisme nafsu. Nafsu untuk mengabadikan air mata terkadang lebih besar dari tugas suci untuk memberitakan sebuah pristiwa. Ada berbagai pertimbangan mengapa jurnalisme televisi Indonesia terkesan suka mengobral 'berita air mata' salah satunya rating. Karakter penonton Indonesia yang mudah berempati dan tersentuh oleh berita-berita yang "menggetarkan" inilah yang dimanfaatkan dengan jeli oleh stasiun televisi Indonesia untuk selalu menyisipkan air mata dalam paket-paket berita.

Jurnalisme Obral air mata ini dapat dengan mudah ditemui pada berita-berita di stasiun televisi kita. Beberapa yang melakukannya adalah TVone dan Metro TV Pagi ini (Rabu 19\8\2015) TV merah kembali obral air mata dalam berita. Obral air mata ini terkait dengan pemberitaan pesawat Trigana Air yang ditemukan jatuh di wilayah Pegunungan Bintang Papua dan memakan korban jiwa diantaranya awak pesawat. Kali ini narasumber yang diwawancarai TV one adalah Rosmila istri dari Aryadi Valani Co Pilot pesawat Trigana Air yang dinyatakan tewas. Pertanyaannya standar seperti sosok seperti apa suami di mata keluarga, bagaimana respon keluarga mendengar kabar ini, bagaimana cara menjelaskan ke anak-anak sampai soal firasat sebelum kejadian.

Pertanyaan-pertanyaan yang rasanya tidak etis ditanyakan kepada orang yang sedang berduka. Logikanya begini, Sosok istri yang sedang berduka karena kehilangan suaminya pasti akan memuji-muji sosok sang suami sebagai sosok yang baik dan penyayang keluarga. Jadi pertanyaan semisal bagaimana sosok suami dimata keluarga adalah pertanyaan basi Yang sebenarnya tidak perlu ditanyakan, pertanyaan semacam ini biasanya digunakan sebagai senjata untuk memancing air mata narasumber.

Pertanyaan konyol lainnya adalah: bagaimana respon keluarga mendengar kejadian ini? Pertanyaan ini konyol sekali! Respon keluarga korban yang terkena musibah pasti panik, sedih dan segala perasaan tidak enak lainnya. Tentu bisa dibayangkan sendiri oleh para reporter TV one. Pertanyaan seperti itu tidak perlulah ditanyakan kepada keluarga korban yang terkena musibah. Sekali lagi upaya menggalang air mata terlihat disini. Konyol sekali!

 

Yang tak kalah konyol adalah jurnalisme firasat yang kembali mengemuka di setiap peliputan bencana oleh stasiun televisi Indonesia. Masih dalam wawancara yang sama dengan narasumber Rosmila istri dari Co Pilot Trigana Air Aryadi Valani, salah satu korban yang tewas dalam musibah tersebut. Dalam program Apa Kabar Indonesia (AKI) Pagi yang disiarkan TV One pagi ini, Ari Fadil yang bertindak sebagai pewawancara bertanya pada narasumbernya "Adakah firasat yang ibu rasakan menjelang kepergian suami? 

Ini konyol sekali. Jurnalisme adalah perkara kebenaran verivikasi tidak bisa mengandalkan firasat. Celakanya hampir semua stasiun televisi di Indonesia tidak pernah meluputkan pertanyaan ini ketika mewawancarai atau meliput korban bencana. Sekali lagi ada upaya menggalang air mata. Air mata korban yang dikemas dalam berita.

 

Kegagalan Jurnalisme Empati Televisi Indonesia

 

Secara sosiologis, empati berarti ikut merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain, secara sederhananya empati dapat diartikan mengerti posisi orang lain. Namun dengan adanya pertanyaan-pertanyaan seperti diatas, jurnalisme empati tidak tercermin sama sekali. Stasiun televisi di Indonesia justru gagal berada di sisi keluarga korban untuk memberikan penguatan, Justru yang terlihat adalah jurnalisme sensasi sesuatu yang digalang untuk membuat rating tinggi serta obral air mata yang diselipkan dalam berita.

Menjadi Pewarta bencana adalah tugas suci yang dapat dimaknai lebih dari sekedar pembawa kamera atau kuli warta, ini tentang memupuk optimisme bagi mereka yang ditimpa bencana. 

 

Peliputan bencana adalah soal jurnalisme rasa. Bukan ajang menggalang air mata, namun yang terjadi justru sebaliknya. 

jika sudah begini masihkah televisi memikirkan perasaan publik dan mempertimbangkan sisi empati?

 

Tugas Suci itu bernama Peliputan bencana

Suatu yang indah tujuannya

Namun cemar pada praktiknya

 

Salam Jurnalistik!

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun