Mohon tunggu...
Humaniora

Sunyi dalam Ramai dan "Ramai" dalam Sunyi

17 Maret 2018   19:20 Diperbarui: 17 Maret 2018   19:21 1204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: syiarnusantara.id

ByZainul Maarif


"Di dalam keramaian, aku masih merasa sepi. Sendiri memikirkan kamu. Kau genggam hatiku, dan kau tuliskan namamu, kau tulis namamu". Demikian ujar sepenggal lirik lagu "Kosong" karya  Dewa 19. Ada kesunyian di dalam keramaian. Ada 'keramaian' dalam kesunyian.

Di luar diri, kegaduhan kadang tak terperi. Di jalanan ibu kota, misalnya, kendaraan berjubelan tiada tara. Motor menyalip dari kanan ke kiri atau sebaliknya. Klakson sesekali membahana. Sirine ambulan atau iringan mobil penguasa kadang memecah kerumunan sementara. Dalam kondisi semacam itu, ada persona yang tak terpengaruh oleh lingkungan sekitarnya.

Individu itu larut dalam 'dialog' dengan Tuhan Yang Maha Esa: satu-satunya 'Rekan' yang siap mendengarkan apa saja. Dia mengulang kembali hapalan Al-Quran yang telah lama dibenamkan di dalam memorinya. Dia rasakan hapalannya itu sebagai cara Tuhan berbicara dengannya.

Dia pun kemudian hanyut dalam doa. Semua keluh kesah disampaikan kepada Sang Penguasa Semesta. Apa yang dirahasiakan di hadapan manusia, dia tuangkan dalam doa. Sesekali air mata bergulir dari pelupuk matanya. Dia sadar betul hanya Tuhan satu-satunya Penolong sejatinya. Dalam kondisi semacam itu, sisi internal dirinya ramai, meski dia merasa sunyi di tengah lingkungan luar yang gegap gempita.

Seyogianya kita punya suasana intim dengan Tuhan sepanjang masa. Bila kita senantiasa mengalaminya, kita bisa menjadi seorang muhsin yang melaksanakan Salat Daim. (tentang muhsin, ihsan dan Salat Daim, baca tulisan "Koruptor Ditinjau dari Tiga Tingkatan Spiritual" dan "Kejawen adalah Islam Tasawuf Jawa").

Sekiranya kita tak sanggup terus menerus mengalaminya, minimal kita perlu menghadirkan suasana itu di beberapa penggal hidup kita. Di tradisi Kristiani, penghadiran suasana itu disebut retreat: bermeditasi, meninjau ulang tindakan diri dan menghubungkan diri dengan Ilahi. Di tradisi Islam, kondisi itu dinyatakan sebagai dzikir: mengingat Tuhan, berintrospeksi diri dan berharap kehidupan yang lebih baik daripada hari ini. Di tradisi Hindu, terdapat semadi dan nyepi untuk menghadirkan kondisi itu.

Semadi adalah konsentrasi tingkat tinggi yang pada tataran tertentu dilakukan ala yogi. Di dalamnya, ada pengaturan nafas, ada sikap-sikap tubuh tertentu, ada  'pematian' indera dan 'penghidupan' kesadaran paripurna. (Baca: Shalat adalah Yoga)

Di Hari Nyepi, semedi itu bereskalasi. Banalitas keseharian dihentikan. Penyucian diri dilakukan. Bhuana Alit (alam manusia/microcosmos) dan Bhuana Agung (alam semesta/macrocosmos dan atau Tuhan Yang Maha Esa) direkatkan. Minimal Catur Brata dilakukan, yaitu amati geni (tidak menghidupkan api), amati karya (tidak bekerja), amati lelungan (tidak bepergian) dan amati lelanguan (tidak menikmati hiburan). Maksimal Nyepi diisi dengan semadi, tapabrata dan yoga.
Di tradisi Hanafiyah yang dilakukan Muhammad ibn Abdullah sebelum diutus menjadi nabi, Nyepi itu adalah tahannuts: mendekatkan diri kepada Ilahi di tempat sepi. Goa Hira' adalah tempat Muhammad menyepi. Di sana, Muhammad selanjutnya mendapat wahyu dan didaulat menjadi nabi. Artinya, Muhammad menjadi nabi setelah menyepi.

Apakah menyepi itu hanya diperlukan oleh spiritualis belaka? Ternyata tidak. Siapapun kita perlu melakukan 'nyepi' untuk perubahan ke arah yang lebih baik.

Di dalam teori sosial, Anthony Giddens mencetuskan konsep 'refleksi' yang dapat disinonimkan dengan nyepi/tahannuts/retreat/semadi. Yang dimaksud dengan 'refleksi' adalah tindakan seseorang (agent/subject) yang memiliki tiga lapisan kedirian, yaitu 'motif-motif ketidaksadaran' (unsconscious motives), 'kesadaran diskursif' (discoursive consciousness) dan 'kesadaran praktis' (practical consciousness).

'Motif-motif ketidaksadaran' demikian laten dalam diri hingga mencuat begitu saja tanpa disadari. Pada tataran tertentu, 'motif-motif ketidaksadaran' itu menjadi tindakan keseharian yang tidak dipertanyakan. Giddens menyebut banalitas keseharian itu dengan istilah 'kesadaran praktis'.

Seseorang kerap merasa 'nyaman' dengan 'motif-motif ketidaksadaran'nya dan 'kesadaran praktis'nya. Padahal  kedua hal tersebut kadang keliru. 'Kesadaran diskursif'lah yang meninjau ulang apakah 'kesadaran praktis' bahkan 'motif-motif ketidaksadaran' yang selama ini berlaku itu benar atau salah, tepat atau keliru.

Ketika diri mendayagunakan 'kesadaran diskursif' untuk mengevaluasi 'kesadaran praktis' dan 'motif-motif ketidaksadaran', diri sedang melakukan 'penjarakan diri' (distansiasi). Distansiasi itu merupakan 'refleksi' yang bisa memperbaiki masa kini dan masa depan diri bahkan masyarakat luas.

Bukankah orang yang hari ininya sama dengan hari lalu adalah orang yang merugi? Bukankah hari ini harus lebih baik dari hari lalu? Bukankah masa depan pun seharusnya lebih bagus daripada masa lalu dan masa kini? Jika tiga pertanyaan tersebut dijawab secara afirmatif, maka kita perlu 'refleksi', bahkan pada tataran lebih lanjut, kita perlu 'menyepi' untuk mengevaluasi masa lalu dan masa kini.

Mari kita menyepi dalam ramai, meski tetap 'ramai' (bersama diri dan Ilahi) dalam kondisi sepi. Selamat Hari Raya Nyepi! []

Sumber: syiarnusantara.id

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun