'Motif-motif ketidaksadaran' demikian laten dalam diri hingga mencuat begitu saja tanpa disadari. Pada tataran tertentu, 'motif-motif ketidaksadaran' itu menjadi tindakan keseharian yang tidak dipertanyakan. Giddens menyebut banalitas keseharian itu dengan istilah 'kesadaran praktis'.
Seseorang kerap merasa 'nyaman' dengan 'motif-motif ketidaksadaran'nya dan 'kesadaran praktis'nya. Padahal  kedua hal tersebut kadang keliru. 'Kesadaran diskursif'lah yang meninjau ulang apakah 'kesadaran praktis' bahkan 'motif-motif ketidaksadaran' yang selama ini berlaku itu benar atau salah, tepat atau keliru.
Ketika diri mendayagunakan 'kesadaran diskursif' untuk mengevaluasi 'kesadaran praktis' dan 'motif-motif ketidaksadaran', diri sedang melakukan 'penjarakan diri' (distansiasi). Distansiasi itu merupakan 'refleksi' yang bisa memperbaiki masa kini dan masa depan diri bahkan masyarakat luas.
Bukankah orang yang hari ininya sama dengan hari lalu adalah orang yang merugi? Bukankah hari ini harus lebih baik dari hari lalu? Bukankah masa depan pun seharusnya lebih bagus daripada masa lalu dan masa kini? Jika tiga pertanyaan tersebut dijawab secara afirmatif, maka kita perlu 'refleksi', bahkan pada tataran lebih lanjut, kita perlu 'menyepi' untuk mengevaluasi masa lalu dan masa kini.
Mari kita menyepi dalam ramai, meski tetap 'ramai' (bersama diri dan Ilahi) dalam kondisi sepi. Selamat Hari Raya Nyepi! []
Sumber: syiarnusantara.id
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H