Meskipun mengaku lebih suka kembali ke Al-Quran dan As-Sunnah (naql) daripada merujuk pada dan melakukan aktivitas berpikir (ra'y), para ekstremis berkedok Islam punya corak dan produk pemikiran. Corak berpikir mereka literalis, sedangkan produk berpikir mereka kebencian. Di tulisan ini, corak dan produk berpikir mereka menjadi bahan ulasan.
Mereka adalan kaum literalis, yaitu orang-orang yang membaca teks apa adanya. Apa yang tertera di dalam teks itulah yang mereka yakini. Tak ada konteksualisasi dalam pembacaan mereka atas ayat-ayat Al-Quran dan hadits-hadits Nabi. Yang tertulis di dua sumber epistemologis Islam itu dianggap independen dari dimensi ruang dan waktu, sementara orang di masa kini didorong tunduk patuh menjalankan apa yang tersurat. Akibatnya, muncul sikap ahistoris.
Contoh ketidakbersejarahan pembacaan mereka atas teks agama Islam adalah pembacaan mereka atas ayat Al-Quran ke-44, ke-45 dan ke-47 dari Surat Al-Maidah.
Di akhir Surat Al-Maidah ayat ke-44 disebutkan: "wa man lam yahkum bim anzala-llh fa ulika humul-kfirn" (barang siapa tidak memutuskan dengan apa yang diturunkan oleh Allah, maka mereka adalah orang-orang kafir).
Di akhir Surat Al-Maidah ayat 45 tertulis: "wa man lam yahkum bim anzala-llh fa ulika humuzh-zhlimn" (barang siapa tidak memutuskan dengan apa yang diturunkan oleh Allah, maka mereka adalah orang-orang zalim).
Penghujung ayat ke-47 surat tersebut berbunyi: "wa man lam yahkum bim anzala-llh fa ulika humul-fsikn" (barang siapa tidak memutuskan dengan apa yang diturunkan oleh Allah, maka mereka adalah orang-orang fasik).
Berdasarkan pembacaan harfiah atas penggalan ayat-ayat tersebut, mereka menyimpulkan bahwa siapapun yang tidak menjalankan apa yang tertera di dalam Al-Quran adalah orang kafir, zalim dan/atau fasik.
Pembacaan itu selain ahistoris juga tidak pas dengan keseluruhan ayat yang dikutip. Secara historis, ayat itu muncul ketika ada orang Yahudi dan orang Nasrani menghadapi suatu persoalan hukum, lantas bertanya kepada Rasulullah, lalu Rasulullah menyuruh mereka untuk mengacu kepada kitab suci mereka masing-masing, yaitu Taurat bagi orang Yahudi dan Injil bagi orang Kristiani.
Faktor historis itu juga tercatat di dalam redaksi utuh ayat-ayat tersebut. Ayat ke-44 dan ke-45 Surat Al-Maidah itu berisi tentang umat Yahudi dan hukum balas yang terdapat di dalam Taurat. Adapun ayat ke-46 dan ke-47 surat tersebut menceritakan tentang umat Kristiani dan Injil. Artinya, tak hanya secara historis, secara literal pun ayat itu terkait dengan umat pengikut Nabi Musa dan pengikut Nabi Isa.
Sejauh kaum literalis mengaku mengacu pada apa yang tertera di dalam teks, maka mereka seharusnya tidak menyimpulkan bahwa ayat itu terkait dengan Al-Quran dan pengikut Nabi Muhammad. Ketika mereka melakukan penyimpulan semacam itu, mereka justru inkonsisten dengan klaim mereka kembali kepada Al-Quran dan Sunnah, karena mereka malah melakukan penafsiran non tekstual yang mereka hindari.
Tapi, mereka cenderung tidak peduli dengan kerancuan berpikir mereka itu. Di masa lampau, tepatnya di masa pemerintahan Khalifah Ali ibn Abi Thalib, kaum Khawarij menggunakan penggalan ayat-ayat itu untuk mengkafirkan Sang Khalifah, lalu membunuhnya, lantaran Sang Khalifah mau melakukan genjatan senjata dengan Muawiyah ibn Abi Shufyan di Perang Shiffin. Di masa kini, kaum ekstremis berkedok Islam mengutip petikan ayat-ayat tersebut untuk mengafirkan pemerintahan non Muslim dan pemerintahan Muslim yang tidak secara eksplisit menyatakan mengacu pada Al-Quran dan Hadist Nabi.
Para ekstremis berkedok Islam di masa kini menganggap pemerintahan semacam itu sebagai pemerintahan thght (setan). Mereka, antara lain, mengacu pada penggalan ayat ke-257 surat Al-Baqarah yang berbunyi: "walladzna kafar auliyuhumut-thght" (Dan orang-orang yang kafir, pelindung/rekan/pemimipinnya adalah setan).
Lebih lanjut, mereka merujuk pada ayat ke-60 dan ke-76 Surat An-Nisa'. Di ayat ke-60 Surat tersebut disebutkan: "yurdna an yatahkam il ath-thght wa qad umir an yakfur bihi" (Mereka menginginkan ketetapan hukum kepada thaght, padahal mereka diperintahkan untuk mengingkarinya). Sementara ayat ke-76-nya berbunyi: "Alladzna man yuqtilna f sablillh, walladzna kafar yuqtilna f sablith-thght faqthil auliysy-syaithn" (Orang-orang beriman berperang di jalan Allah. Orang-orang kafir berperang di jalan thght. Perangilah pelindung/rekan/pemimpin setan!).
Dengan mengacu pada ayat-ayat itu, mereka menentang dan melawan negara dan pemerintahan yang tidak secara terang-terangan menyebut Al-Quran sebagai sumber konstitusi dan hukum. Mereka tak hanya membenci pemerintahan/negara semacam itu, tapi juga memusuhi orang-orang yang membiarkan apalagi mendukung pemerintahan/negara semacam itu, lantas melakukan berbagai tindakan teror.
Terorisme mereka didorong oleh kebencian pada liyan (pihak lain). Kebencian mereka didororong oleh pembacaan literal atas teks-teks agama. Sejauh kebencian dan terorisme mengacaukan kohesi sosial, dan merusak citra Islam dan umat Islam, yang diidealkan damai dan penuh kasih sayang bagi semesta, maka corak berpikir literalis yang menopang sikap tersebut seharusnya tidak dianut dan terus dikritik.
Para pemikir Islam seyogianya 'turun gunung' untuk mengkritik pembacaan literalis dan mengontekstualisasikan teks-teks agama. Misalnya, dengan menunjukkan bahwa thght yang terdapat di ayat-ayat tersebut terkait dengan kaum pagan Arab yang memusuhi umat Islam, sementara pemerintahan negara Indonesia, misalnya, sama sekali tidak memusuhi umat Islam, justru memberi ruang banyak bagi umat Islam untuk beribadah, bersosial, berekonomi dan memimpin.
Di pihak lain, orang-orang awam dalam agama Islam seharusnya tidak terpaku pada bentuk lahiriah teks-teks agama yang terdapat di internet, apalagi yang diwartakan oleh kaum literalis, melainkan terus meluaskan bacaan dan mengaji kepada para agamawan Islam yang santun dan berilmu mendalam. Dengan cara demikian, laju ekstremisme berkedok agama bisa direm dan bahkan dihentikan.
Ekstremisme berkedok Islam itu masalah sosial-mondial dan noda bagi Islam dan muslimin. Oleh karena itu, orang-orang Islam seharusnya menghentikannya, bukan justru menumbuhkembangkan benihnya dengan menebarkan kebencian pada pemerintah/negara, kebencian pada non muslim dan kebencian pada orang Islam yang tak sepemahaman. []
Sumber: syiarnusantara.id |Â
ByZainul Maarif
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H