Mohon tunggu...
Syehri Ally Reza
Syehri Ally Reza Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S1 Desain Produk Universitas Pembangunan Jaya

Mahasiswa S1 Universitas Pembangunan Jaya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Perfeksionis: Saya Maunya Sempurna!

21 Desember 2022   18:30 Diperbarui: 22 Desember 2022   11:32 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebuah tulisan untuk si perfeksionis yang selalu menuntut kesempurnaan.

"Saya maunya sempurna!", menjadi kata-kata yang acap kali keluar dari mulut orang yang perfeksionis. Lalu apa sih arti perfeksionis itu? Menurut KBBI, perfeksionis berarti orang yang ingin segala-galanya sempurna, orang yang percaya bahwa kesempurnaan moral dicapai kalau dapat hidup tanpa dosa. Perfeksionisme banyak kita jumpai di sekitar kita atau mungkin diri kita sendiri. Orang yang perfeksionis biasanya sering merasa tidak puas dengan apa yang ia kerjakan, memiliki standar yang terlalu tinggi dalam banyak hal dan menginginkan segalanya sempurna.

Perfeksionisme bagi beberapa orang dianggap sebagai hal yang baik, karena sifat ini dapat mendorong seseorang untuk terus maju, berubah, dan memiliki motivasi yang kuat untuk menggapai cita-cita yang harus sempurna. Akan tetapi jika berlebihan hal ini ternyata dapat menjadi boomerang bagi diri kita sendiri.

Peneliti Frost, Marten, Lahart, dan Rosenblate (1990) mendefinisikan perfeksionisme sebagai: "Sifat yang menetapkan standar ekspresi diri yang terlalu tinggi, disertai dengan evaluasi diri yang terlalu kritis." Orang yang perfeksionis biasanya akan menjadi kritikus terbesar bagi dirinya sendiri dan orang di sekitarnya. Penulis pribadi juga pernah mengalaminya ketika menjadi ketua panitia sebuah seminar. Saat itu saya ingin seminar tersebut berjalan dengan sempurna dan dihadiri lebih dari 300 peserta. Namun pada akhirnya, tak sampai 50 peserta yang mendaftar. Hal itu membuat saya merasa gagal dan sangat kecewa, "Kok yang daftar baru segini?! Pasti promosi kita kurang menarik!" ungkap saya dalam hati. Saya terus saja menyalahkan diri saya dan orang di sekitar atas kegagalan yang terjadi--tidak sesuainya jumlah peserta dengan target awal--. Padahal kegagalan itu penyebabnya bukan karena diri daya pribadi. Berdasarkan testimoni beberapa peserta yang hadir: Acaranya berjalan dengan baik, seru, dan banyak ilmu yang didapatkan. Akan tetapi testimoni yang baik tersebut tidak membuat saya merasa puas dan saya terus meratapi sedikitnya jumlah peserta yang hadir.

Dilansir dari saluran Youtube dr. Jiemi Ardian, SpKJ. Ia Berpendapat bahwa: "Beberapa perfeksionis memiliki latar belakang emosi yang takut dan cemas." Sebagian perfeksionis memang tidak menuntut segala sesuatunya untuk sempurna, hanya saja ingin sesederhana sesuai keinginannya. Akan tetapi Ia akan merasa kecewa, bingung, dan menjadi sangat gelisah jika hal tersebut ternyata tidak berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan. Ketika rasa takut dan cemas itu menjadi begitu intens, ia akan berusaha mengatur orang di sekitarnya untuk bekerja sesuai dengan standar yang diharapkan. 

"Ah ga rapi, biar gue aja yang ngerjain", "Ga gitu harusnya, biar gue aja yang beresin". Hal tersebut dulu seringkali penulis alami. Saat itu saya membebankan diri saya untuk pekerjaan yang sebenarnya bisa saya delegasikan ke orang lain. Saya masih sulit untuk percaya dan membagi tugas dengan beberapa orang karena takut mereka tidak bisa bekerja sesuai standar yang saya harapkan dan merasa hasilnya akan lebih maksimal jika saya yang turun tangan.

Perfeksionisme dan Kesehatan Mental

Memaksakan diri dan orang sekitar untuk mencapai target yang tidak realistis membuat kita lelah dan stres, bayangkan betapa tidak menyenangkannya menjalani hidup di bawah ketakutan dan kecemasan untuk kesempurnaan yang sebenarnya fana. Pada akhirnya saya menyadari sifat perfeksionisme di dalam diri ini sudah berlebihan dan jika dibiarkan hal ini dapat mengganggu kesehatan mental. Begitu juga dengan pembaca yang mungkin merasa sebagai seseorang yang perfeksionis? Hal itu ternyata sesuai dengan pendapat Murray W. Enns, yang mengatakan bahwa: "Depresi adalah manifestasi paling umum dari individu perfeksionis."

Dalam ulasan psikologis klinis menyatakan: "Perfectionism as a transdiagnostic process: A clinical review" yang ditulis oleh Sarah J. Egan, dkk menyebutkan bahwa efek negatif perfeksionisme pada kesehatan mental utamanya diwujudkan dalam gangguan psikologis dan penyakit psikosomatis. Dalam penelitian sebelumnya, perfeksionisme juga ditemukan berkaitan dengan berbagai fenomena psikopatologis, seperti depresi, kecemasan, obsesi, gangguan makan, dan gangguan psikosomatis.

Lalu apa yang menyebabkan orang tersebut menjadi pribadi yang perfeksionis? 

Penyebab Perfeksionisme

Penyebab paling umum perfeksionisme adalah dibesarkan oleh figur pengasuh yang lebih mementingkan hasil daripada proses, Ia baru merasa berharga ketika meraih suatu prestasi dan mendapat pengakuan dari orang lain. Orang yang perfeksionis biasanya tumbuh dengan pola asuh penuh kritik dan dibebankan oleh ekspektasi yang begitu tinggi dari kedua orangtuanya. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Chang dan rekan-rekannya (Chang, dkk. 2011) ia melakukan penelitian pada 121 mahasiswa dan menemukan bahwa harapan orang tua dan keraguan atas tindakan yang dilakukan, secara signifikan memprediksi tingkat depresi secara positif.

Cara mengatasi perfeksionisme berlebihan

Apa yang harus kita lakukan jika ternyata kita adalah orang yang ingin semua sempurna dan harus sesuai dengan harapan kita?

Pertama, kita perlu menyadari emosi dibalik perfeksionisme yang kita alami. Mungkin kita tidak benar-benar perfeksionis, hanya saja kita takut dan cemas akan kegagalan serta penilaian orang lain terhadap diri kita. Hal yang perlu kita lakukan hanyalah menyadari perasaan yang sedang kita alami, hal itu membuat kita dapat mengenal dan menyembuhkannya. Jika tidak demikian kita akan sibuk menyalahkan diri sendiri dan orang-orang di sekitar kita atas kegagalan yang kita alami. 

Kedua, bersahabatlah dengan ketidaksempurnaan. Dengan demikian kita memiliki ruang untuk berpikir, bekerja, dan berusaha sebaik mungkin. Terkadang kita harus bisa menerima ketidaksempurnaan serta menerima ketika ekspektasi tidak sesuai realitas karena sejatinya di dunia ini tidak ada yang sempurna, hanya saja bagaimana kita terus selalu menjadi sempurna walau tidak akan pernah sempurna. Sadari bahwa usaha yang kita lakukan akan tetap bermanfaat walaupun usaha itu tidak menghasilkan kesempurnaan. Ingat sekali lagi, bahwa tidak ada manusia yang sempurna, semua orang pasti pernah melakukan kesalahan. Kuncinya bertanggung jawablah atas kesalahan tersebut dan jadikan pelajaran untuk menjadi lebih baik.

Ketiga, Belajarlah untuk lebih fleksibel dan percaya terhadap orang lain. Jangan berharap semua orang akan melakukan apa yang kita lakukan karena tidak semua orang sepemikiran dengan kita dan dapat mengikuti standar yang kita buat. Hal ini dapat membantu kita membangun kerja sama tim yang lebih baik dan berhenti menjadi kritikus terbesar bagi diri kita dan orang lain.

Jika Anda memiliki anak atau adik pada usia dini, hindari memberi cinta bersyarat pada mereka. Ketika anak atau adik Anda berusaha meraih sesuatu, pujilah proses, usaha, dan kerja kerasnya. Berikan pesan bahwa ia tak perlu menjadi sempurna untuk dicintai dan dihargai. Dengan begitu Ia akan tumbuh menjadi pribadi yang lebih menghargai proses daripada hasil dan tak mengejar kesempurnaan hanya untuk sebuah pujian.

Menjadi perfeksionis memang tak sepenuhnya salah. Akan tetapi memiliki target yang tidak realistis, risih akan kesalahan, dan menganggap kegagalan adalah bencana. Karena dapat membuat kita merasa cemas dan dapat mengganggu kesehatan mental (Mental Health) kita. Nyatanya tak ada kehidupan yang benar-benar sempurna, tak ada pekerjaan yang sempurna, tak ada pasangan yang sempurna, dan begitupun diri kita yang tak lepas dari ketidaksempurnaan. Akan tetapi dari ketidaksempurnaan itulah kita bertumbuh.

Kata-kata "Saya harus sempurna!" mungkin lebih cocok diganti menjadi "Tak apa untuk menjadi tak sempurna". Karena untuk apa kita sibuk mengejar kesempurnaan yang sebenarnya tidak ada? Padahal kita tahu bahwa ketika mengejar hal yang tidak ada maka kita tidak akan pernah sampai. Terakhir, jika perfeksionisme sudah sangat mengganggu Anda dan Anda merasa tidak bisa mengatasinya sendiri, tak ada salahnya untuk meminta pertolongan orang profesional dibidangnya.

"Kita semua pasti menginginkan yang terbaik, tetapi hati-hati jangan sampai kamu tidak menjadi bahagia karena dikejar oleh target yang kamu buat sendiri. It's okay to be not perfect." -- Merry Riana

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun