Pendahuluan:
Konflik yang terjadi di Laut Cina Selatan melibatkan beberapa negara di kawasan Asia Tenggara. Negara-negara tersebut adalah Vietnam dan Filipina. Kawasan Laut Cina Selatan yang cukup luas dan berbatasan langsung dengan beberapa negara membuat Laut Cina Selatan memiliki potensi yang dapat dimanfaatkan oleh negara-negara seperti Amerika Serikat dan Cina.Â
Hingga saat ini, sengketa di Laut Cina Selatan melibatkan enam negara secara langsung, yaitu Brunei, Cina, Malaysia, Filipina, Taiwan dan Vietnam terkait dengan klaim masing-masing pihak terhadap Kepulauan Spratly dan Kepulauan Paracel. Tulisan ini akan menggambarkan upaya apa yang dapat dilakukan oleh Indonesia dan ASEAN dalam menghadapi konflik ini.
Latar Belakang dan Penyebab Konflik:
Awal mula dari klaim ini berasal dari peta yang diterbitkan oleh Republik Cina (Taiwan) pada tahun 1947. Peta ini menunjukkan sebelas garis putus-putus yang mengelilingi hampir seluruh Laut Cina Selatan.Â
Peta ini dimaksudkan untuk menegaskan klaim Cina terhadap wilayah-wilayah di Laut Cina Selatan berdasarkan sejarah penjelajahan dan penggunaan maritim Cina. Setelah berdirinya Republik Rakyat Tiongkok (RRT) pada tahun 1949, pemerintah baru mengadopsi peta tersebut dan menggunakannya sebagai dasar klaim teritorial mereka. Pada tahun 1950-an, dua garis di Teluk Tonkin dihapus, sehingga menjadi sembilan garis putus-putus, yang dikenal sebagai nine-dash line.
Pada tahun 1982, Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) diadopsi, yang menetapkan kerangka hukum internasional untuk hak-hak maritim. Namun, nine-dash line Cina tidak sejalan dengan ketentuan UNCLOS, terutama karena UNCLOS tidak mengakui klaim historis yang tidak didukung oleh kriteria geografis atau geologis yang jelas.Â
Pada tahun 2016, Pengadilan Arbitrase Permanen di Den Haag memutuskan bahwa klaim Cina atas nine-dash line tidak memiliki dasar hukum menurut UNCLOS, sebagai hasil dari gugatan yang diajukan oleh Filipina. Cina menolak keputusan ini dan terus mempertahankan klaimnya. Cina, yang kini tampil sebagai kekuatan besar di kawasan, mengabaikan hukum laut internasional (United Nations Convention on the Law of the Sea/ UNCLOS 1982) dalam menyikapi sengketa di LCS yang melibatkan dirinya.
Kebijakan dan Strategi Pertahanan Indonesia:
Kebijakan luar negeri Indonesia sejak awal 1990an senantiasa berupaya mencari solusi untuk menengahi potensi konflik di perairan tersebut. Sebagai implementasinya adalah kegiatan Workshops on Managing Potential Conflicts in the South China Sea yang bertujuan mencegah konflik lewat promosi kerjasama antar Negara-negara pengklaim dalam rangka menciptakan Confidence Building Measures (CBM). Indonesia berhasil pula mendorong negara-negara yang memiliki klaim di Laut Cina Selatan untuk menyepakati Declaration of Conduct (DOC) of Parties on the South China Sea pada 2002, di mana pembicaraan awal DOC telah dirintis sejak 1999.
Dari sisi praktisi, menurut Menteri Pertahananan Purnomo Yusgiantoro, dewasa ini terjadi pergeseran paradigma di dunia dalam penyelesaian konflik, yaitu dari hard power ke soft power. Oleh karena itu, Indonesia mengedepankan diplomasi dalam mencari solusi atas sengketa Laut Cina Selatan. Menurut Menteri Pertahanan, Indonesia meyakini bahwa sengketa tersebut dapat diselesaikan secara diplomatik. Dengan kata lain, Menteri Pertahanan berpendapat bahwa sengketa Laut Cina Selatan tidak akan mengalami spill over ke wilayah Indonesia, khususnya Laut Natuna. Oleh karena itu, pembangunan kekuatan pertahanan melalui Minimum Essential Force (MEF) tidak difokuskan pada kawasan Laut Natuna, melainkan di kawasan Laut Sulawesi.