Mohon tunggu...
Syarwini Syair
Syarwini Syair Mohon Tunggu... Petani - Pegiat Lingkungan Hidup

Seorang petani Madura yang selalu belajar membajak dan mencangkul tanah kebudayaan untuk menanam kembang kearifan. Hidup dengan prinsip: tombu atina kembang, ngalotor atina ro'om!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tradisi Maulid dan Kesadaran Melanjutkan Misi Profetik Nabi

8 Desember 2016   22:39 Diperbarui: 8 Desember 2016   23:10 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: news.okezone.com

Tradisi maulid nabi di Madura merupakan sebuah tradisi yang sangat semarak sebagai bentuk kegembiraan dalam menyambut kelahiran Nabi Muhammad. Maulid adalah waktu kelahiran nabi (yaumu miladihi), pada tahun gajah, tepat pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal. Tradisi serupa adalah haul, sebuah tradisi memperingati hari kematian seseorang, sejak tahun pertama sampai seterusnya, dengan tujuan untuk mendoakan, mengenang dan atau mencontoh keteladanan yang ditinggalkannya.

Maulid hanya untuk nabi, sementara haul untuk siapa saja, selain nabi. Sebab dalam konsep maulid, nabi tidak pernah meninggal, tapi akan selalu lahir dalam dunia internal (diri individu) dan eksternal (lingkungan sosial) umat beliau yang selalu mencintainya. Dalam rangka menghadirkan kembali nabi di ruang kehidupan keseharian, maulid diadakan, dengan beragam teknik dan bentuk yang berbeda, tergantung kapasitas dan keinginan pelaksananya, entah perorangan atau rombongan (lembaga, kelompok dan organisasi).

Ada yang paling sederhana, duduk lesehan sambil shalawatan, ngobrol santai lalu pulang. Ada juga yang hanya bershalawat lalu rebutan buah-buahan, makan-makan, kemudian bubaran. Bahkan ada yang lengkap dengan sistematika acara tertentu, dengan menghadirkan penceramah khusus. Tentu ada juga yang bershalawat secara sembunyi-sembunyi, dengan keluarga sendiri, atau mungkin hanya berduaan dengan nabi, penuh kekhusyuan tanpa hura-hura.

Shalawat dan Simbolisasi Buah

Inti dari kegiatan maulid nabi adalah bershalawat. Shalawat yang biasa dibaca oleh masyarakat adalah shalawat maulid ad-Diba’iy, karya Abdurrahman bin Ali bin Muhammad As-Syaibani, shalawat maulid al-Barzanji, karya Sayyid Ja’far bin Hasan bin Abdul Karim al-Barzanji, dan untuk wilayah pantura Sumenep, banyak membaca shalawat An-Nur As-Sathi’, yang ditulis oleh KH. Thaifur Ali Wafa, Ambunten Sumenep.

Shalawat ditilik dari pengertian yang paling sederhana adalah rahmat (kasih sayang). Bershalawat maksudnya adalah memohon tambahan rahmat atas Nabi Muhammad beserta seluruh keluarga dan sahabatnya, dengan satu keyakinan dan tujuan, kita akan dapat cipratan dari tambahan rahmat yang Allah tuangkan kepada nabi terakhirNya tersebut. Ibarat telaga atau danau yang yang sudah penuh, tambahan rahmat yang berupa hujan dari langit akan membuat telaga itu meluas, mengalirkan airnya yang berlebih kepada tanah rendah di sekitarnya. Hal ini sesuai dengan misi utama kerasulan Nabi Muhammad sebagai rahmatan lil’alamin.

Lalu, apakah aliran shalawat dari kanjeng nabi akan sampai begitu saja kepada kita secara alamiah? Ataukah diperlukan upaya-upaya rasional yang dilakukan secara istiqomah? Apakah sanjungan kepada nabi hanya berhenti pada ungkapan pujian semata, tanpa harus dibarengi dengan meneladani sikap-sikap beliau? Bukankah shalawat yang berwujud rahmat itu harus direalisasikan secara nyata dan dirasakan oleh semuanya?

Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut menuntut adanya tafsir kreatif bahwa shalawat tidak hanya dibacakan, tapi juga dikerjakan. Para pembaca shalawat adalah orang-orang yang hanya menggunakan shalawat di bibir dan tenggorokan saja. Mereka tidak mengerti hakikat bershalawat dan merasa cukup bershalawat hanya dengan ucapan. Sementara para pelaku shalawat adalah orang-orang yang mengerjakan shalawat dalam berbagai akhlak kehidupan sehari-hari. Mereka bukan hanya pembaca, tetapi pekerja dari berbagai nilai dan bentuk shalawat sehingga mampu menjadi rahmatan lil’alamin, pelanjut misi kanjeng nabi dalam membangun kedamaian dunia dengan risalah Islam.

Karena shalawat harus dikerjakan, maka simbolisasi buah dalam tradisi maulid menemukan maknanya yang tepat. Buah adalah apa yang dihasilkan dan diharapkan dari sebatang pohon tertentu. Manusia yang bershalawat harus mampu mengahadirkan “buah sosial” yang berupa kebaikan-kebaikan untuk kebersamaan dan kemanusiaan, sesuai dengan struktur dan peran sosialnya masing-masing. Seorang pemimpin, buah sosialnya adalah menyejahterahkan rakyatnya. Seorang alim adalah mengamalkan dan mengajarkan ilmunya. Seorang kaya adalah kepeduliannya kepada orang miskin dengan mendermakan hartanya. Buah sosial seorang rakyat adalah memilih pemimpin yang jujur dengan tidak menjual suaranya. Maksud kata “adalah” di sini hanya sebatas satu contoh, tanpa menutup kemungkinan berbagai kebaikan yang lain.

Maulid dan Tanggung Jawab Profetik

Objek peringatan maulid nabi adalah Nabi Muhammad dan risalah yang dibawanya. Cinta kepada nabi yang mendasari pelaksanaan maulid adalah cinta padi diri nabi dan ajaran-ajarannya yang teraktualisasikan dalam setiap perilakunya. Nabi Muhammad dan ajarannya adalah satu paket, sama-sama menjadi anugerah tersebesar Allah kepada manusia dan seluruh alam semesta. Dengan dimikian, mencintai nabi tanpa mengamalkan risalah yang disampaikannya adalah sebuah kebohongan.

Ada hal menarik yang diungkapkan oleh KH. Taufiq Syakur, MA, saat ditemui di kediamannya, di Banselok, belakang Masjid Jami’ Sumenep, beliau menuturkan bahwa “tradisi maulid merupakan sebuah rekayasa para pendahulu kita untuk menyusukuri kelahiran Nabi Muhammad”. Pendapat beliau mengisyaratkan bahwa kehadiran nabi merupakan satu kenikmatan tersebesar yang telah membawa kehidupan yang penuh cahaya ilahiah, dengan ajaran Allah yang diwahyukan kepadanya. Oleh karena itu, “hal yang paling penting untuk dikampanyekan dalam tradisi maulid adalah sikap-sikap keteladanan Rasulullah, yang harus dicontoh oleh seluruh umat beliau,” tutur  Kiai alumnus Timur Tengah tersebut, yang tidak berkenan untuk disebutkan nama dan tempat universitasnya.

Satu catatan penting yang harus diperhatikan bahwa tradisi maulid tidak hanya sebatas seremonial belaka. Bukan sekedar ajang adu cinta kepada nabi dengan mengadakan perayaan besar-besaran, dan arena menghamburkan uang sampai puluhan juta rupiah. Tetapi maulid adalah awal untuk memulai, dan proses menghadirkan kembali nabi ke dalam ruang batin kita, untuk bisa menghasilkan “buah sosial” sebagai lanjutan tanggung jawab profetik kanjeng nabi. Bukankah gairah memperingati maulid nabi harus diimbangi dengan gairah menunaikan zakat, kesediaan berkurban, kedermawanan bershadaqah dan berinfaq, serta berbagai kepedulian kepada orang-orang fakir miskin dan anak-anak yatim? Maulid adalah momentum untuk berbagi, bukan kamuflase dari sebuah pelarian tanggung jawab sosial.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun