Ada hal menarik yang diungkapkan oleh KH. Taufiq Syakur, MA, saat ditemui di kediamannya, di Banselok, belakang Masjid Jami’ Sumenep, beliau menuturkan bahwa “tradisi maulid merupakan sebuah rekayasa para pendahulu kita untuk menyusukuri kelahiran Nabi Muhammad”. Pendapat beliau mengisyaratkan bahwa kehadiran nabi merupakan satu kenikmatan tersebesar yang telah membawa kehidupan yang penuh cahaya ilahiah, dengan ajaran Allah yang diwahyukan kepadanya. Oleh karena itu, “hal yang paling penting untuk dikampanyekan dalam tradisi maulid adalah sikap-sikap keteladanan Rasulullah, yang harus dicontoh oleh seluruh umat beliau,” tutur Kiai alumnus Timur Tengah tersebut, yang tidak berkenan untuk disebutkan nama dan tempat universitasnya.
Satu catatan penting yang harus diperhatikan bahwa tradisi maulid tidak hanya sebatas seremonial belaka. Bukan sekedar ajang adu cinta kepada nabi dengan mengadakan perayaan besar-besaran, dan arena menghamburkan uang sampai puluhan juta rupiah. Tetapi maulid adalah awal untuk memulai, dan proses menghadirkan kembali nabi ke dalam ruang batin kita, untuk bisa menghasilkan “buah sosial” sebagai lanjutan tanggung jawab profetik kanjeng nabi. Bukankah gairah memperingati maulid nabi harus diimbangi dengan gairah menunaikan zakat, kesediaan berkurban, kedermawanan bershadaqah dan berinfaq, serta berbagai kepedulian kepada orang-orang fakir miskin dan anak-anak yatim? Maulid adalah momentum untuk berbagi, bukan kamuflase dari sebuah pelarian tanggung jawab sosial.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H