Mohon tunggu...
Syarwini Syair
Syarwini Syair Mohon Tunggu... Petani - Pegiat Lingkungan Hidup

Seorang petani Madura yang selalu belajar membajak dan mencangkul tanah kebudayaan untuk menanam kembang kearifan. Hidup dengan prinsip: tombu atina kembang, ngalotor atina ro'om!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Memaknai Ritual Peret Kandung Masyarakat Madura

18 November 2016   21:17 Diperbarui: 19 November 2016   03:26 816
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi IG: yuniwahyuningsih - yuwani_yn38

Ritual peret kandung merupakan sebagian tradisi masyarakat Madura yang sangat popular dan sudah berlangsung lintas generasi. Istilah peret kandung secara teoritis digunakan untuk acara selamatan kandungan, khusus bagi sepasang suami istri dalam menyambut kelahiran anak pertama. Sementara untuk kehamilan kedua dan seterusnya, tidak perlu lagi diadakan ritual peret kandung, sebab nilai-nilai universal yang terkandung dalam peret kandung seharusnya sudah diamalkan sejak masa kehamilan pertama, sehingga tidak perlu diulang-diualang bersamaan dengan berulang-ulangnya anugerah kehamilan.

Sedangkan penyelenggaraan upacara peret kandung, umumnya dilaksanakan pada usia kehamilan memasuki tujuh bulan, yang menjadi fase kehamilan terdekat dengan masa kelahiran, sehingga diperlukan tingkat kewaspadaan yang tinggi dan kesiapan yang matang bagi calon orang tua.

Ada pula yang melaksanakan pada masa empat bulan kandungan, dengan sebuah keyakinan yang didasarkan pada agama bahwa dimasa kandungan berumur empat bulan, Allah SWT meniupkan roh dan menetapkan takdir si anak. Peret kandung tujuh bulanan, fokus utamanya adalah orang tua dengan anak yang di kandungnya, sementara peret kandung empat bulanan, titik perhatiannya bertumpu pada anak dalam kandungan dengan orang tua yang mengandungnya.

Perlu dipahami bahwa ritual peret kandung adalah ritual kebudayaan yang penuh dengan simbolisasi nilai-nilai keagamaan. Bukan dibalik sebagai ritual keagamaan yang termanefestasi ke dalam sebuah bentuk kebudayaan. Karena sebagai ritual kebudayaan, kegiatan upara peret kandung akan selamat dari tuduhan-tuduhan negatif seperti bid’ah, sesat dan saudara-saudaranya. Beda halnya ketika dipandang sebagai ritual keagamaan, sebagaimana juga tahlilan dan maulidan, maka orang akan mudah menuduhnya sebagai bid’ah, syirik dan tuduhan lain yang serupa, karena sejarah memang belum pernah mencatat bahwa Kanjeng Nabi Muhammad SAW dan sahabat-sahabat beliau datang ke Madura untuk menghadiri acara peret kandung.

Meskipun bukan sunnah rasul, ritual peret kandung merupakan hasil rekayasa budaya yang diciptakan oleh para kreator ulama terdahulu sebagai siasat menyusupkan nilai-nilai keislaman ke dalam berbagai kebudayaan masyarakat Madura. Namun penyiasatan tersebut tidak sampai menimbulkan sinkretisme, karena yang disusupkan adalah nilai keislamannya, bukan ajaran Islamnya. Sebagai sebuah nilai, tentu Islam tidak bisa berdiri dan akan berbaur dengan nilai-nilai yang lain yang berkembang di lapisan masyarakat sebagai pluralitas sosial.

Apalagi, dilihat secara praktis, proses ritual peret kandung diawali dengan pengajian Al-Quran, biasanya berupa surat Yusuf dan Maryam, atau Yasin, yang dilakukan bersama-sama dengan dipimpin oleh seorang kiai yang memang menjadi icon kebudayaan masyarakat Madura. Sesuai tuntutan Islam, anak yang masih berada di alam kandungan hendaknya senantiasa dibacakan surat Yusuf dan Maryam agar kelak menjadi pribadi yang serupa dengan mereka, lahir dan batin.

Yusuf dan Maryam adalah contoh sosok remaja yang mampu menjaga kesucian diri di tengah godaan birahi yang menguat di masanya. Spirit ini sangat cocok dengan kondisi sekarang, dengan munculnya pola kehidupan remaja yang serba permisive yang telah menganulir nilai-nilai fitroh kemanusiaan menjadi sebatas ambisi hewani yang diterjemahkan dalam bentuk free sex, dugem, konsumtivisme dan hasrat hedonistik yang lain.

MenerjemahkanSimbol

Sebagai sebuah ritual dan tradisi, peret kandung menyimpan aneka ragam simbol yang penuh dengan kearifan lokal, baik yang berhubungan dengan orang tua atau calon anak yang hendak lahir. Simbol-simbol tersebut harus diterjemahkan ke dalam bentuk nilai-nilai dan tindakan nyata, sehingga tidak hanya berupa sistem perlambang yang abstrak, irasional dan berbau mistik serta tidak punya lahan aplikatif sama sekali.

Proses penerjemahan ini harus didasarkan pada paradigma awal bahwa munculnya ritual peret kandung sebagai tradisi menyambut kehamilan, khususnya pada kehamilan pertama, tidak terlepas dari konteks kebudayaan secara umum, yang berperan sebagai pandangan hidup dan sistem bertindak.

Sebagaimana diungkapkan oleh Arham Syaudi, Ketua Komunitas Nuun, bahwa “peret kandung adalah salah satu cara orang Madura dalam mensyukuri kehamilan dan sekaligus persiapan menyambut kelahiran”. Cara ini kemudian dilaksanakan dalam bentuk ritual tertentu, dengan teknik-teknik seremonial dan sistem perlambang (simbol) yang kompleks, sesuai pesan-pesan yang terkandung di dalamnya, sebagaimana uraian berikut:

Pertama, Mandi Kembang

Sepasang suami istri dalam ritual peret kandung harus dimandikan oleh para kerabat dan tetangga dekat, dengan menggunakan air suci yang ditaburi aneka kembang. Air suci yang harum adalah sebuah pesan simbolik tentang sosok orang tua yang memiliki integritas personal dan sosial sebagai bekal mendidik anak kelak. Tidak cukup hanya dengan air suci tanpa keharuman kembang, sebagaimana juga tidak cukup dengan hanya mandi sendiri tanpa dimandikan oleh orang-orang di sekitar, baik karena faktor kekerabatan atau kedekatan.

Kesucian adalah lambang integritas personal (pribadi) yang dibentuk oleh faktor intern, seperti keilmuan, kedewasaan, keberanian, ketenangan dan sejenisnya. Kesucian adalah wilayah privasi sebagai pembangunan jati diri yang shaleh bagi laki-laki (suami) dan shalehah bagi perempuan (istri).

Kesucian harus disandingkan dengan keharuman sebagai wujud integritas sosial yang ditandai dengan sikap saling bertegur sapa, tolong-menolong, gotong royong, suka bermusyawarah, menghargai perbedaan, welas asih dan selalu menjadi teladan dalam kebaikan-kebaikan. Pribadi suci dan harum seperti ini yang harus dimiliki oleh sepasang suami-istri, sebagai bekal utama melahirkan dan menumbuhkembangkan generasi penerus bangsa dan umat, agar kesucian dan keharuman jiwa mereka terserap ke dalam kepribadian seorang anak.

Sementara di sisi lain, proses pemandian dengan air suci yang harum harus melalui “orang lain” yang masih punya hubungan nasab (baik orang tua, kakek-nenek, saudara, paman-bibi, dan kerabat yang lain), atau hubungan nasib (seperti tetangga dekat dan teman akrab). Secara rasional, mereka adalah orang-orang yang paling tahu tentang kelebihan dan kekurangan kita (baca: calon orang tua), karena sering terjalin interaksi sosial sebagai sesama anggota masyarakat paguyuban.

Asumsi ini mengisyaratkan bahwa proses pembangunan jati diri yang suci dan harum tidak bisa serta merta dilakukan secara individual, tanpa melibatkan orang lain, sesuai posisi dan peran mereka masing-masing. Ini pula yang ditegaskan oleh Arham Syaudi, budayawan asal Giliyang yang berdarah daeng, bahwa “keterlibatan kerabat dan tetangga dalam proses pemandian dengan memberikan uang terlebih dahulu menunjukkan sikap kepedulian sosial, sehingga anak yang dilahirkan nanti tidak hanya menjadi tanggung jawab orang tuanya, tetapi juga menjadi tanggung jawab bersama!”.

Kedua, Nyeor Gadding

Perlambang lain yang dipakai dalam ritual peret kandung adalah buah kelapa kuning, atau lebih dikenal dengan sebutan nyeor gadding. Nyeor gadding adalah salah satu jenih pohon kelapa yang biasanya pohonnya lebih kecil dan pendek, buahnya juga lebih kecil dari buah kelapa hijau, dengan kulit berwarna kuning dan bentuk yang tampak lebih menarik dari buah kelapa yang lain. Pada umumnya, nyeor gadding ditanam oleh orang-orang Madura di samping rumah atau di pekarangan terdekat, yang sesekali juga dapat berfungsi sebagai pohon hias.

Nyeor gadding dalam proses ritual peret kandung dilambangkan sebagai anak yang hendak lahir yang digendong oleh pasangan suami-istri saat proses pemandian. Setelah itu, diletakkan pada tempat yang bisa terjaga dan terpelihara dengan baik sebagai latihan awal untuk mengasuh anak kelak sampai anak yang ada dalam kandungan benar-benar lahir dengan selamat.

Dijelaskan oleh Arham Syaudi, Ketua Komunitas Nuun yang punya perhatian besar terhadap kebudayaan Madura, bahwa “buah kelapa merupakan lambang dari beragam manfaat yang harus dimiliki oleh seorang anak dalam kehidupan sosialnya, yang harus diperhatikan oleh seluruh orang tua!”. Buah adalah komponen terpenting dalam rangkaian pohon kelapa, sehingga buah yang diambil sebagai perlambang dalam ritual peret kandung, bukan bagian pohon yang lain.

Bukan hanya buah, hampir seluruh bagian pohon kelapa punya manfaat yang sangat besar bagi kehidupan masyarakat Madura. Akarnya dapat dijadikan kayu bakar, batangnya sebagai bahan bangunan, pelepahnya yang masih hijau bisa dibuat sebagai makanan sapi dan bila sudah kering dapat pula dibuat kayu bakar, lidinya sebagai sapu, janurnya sebagai atap dan seterusnya.

Sementara buah kelapa, seringkali dijadikan sebagai analogi dari perjalanan religiusitas manusia yang terdari dari empat lapisan: serabut, batok, biji dan air, serupa dengan syariat, thariqat, hakikat dan ma’rifat. Bahkan kadang diumpamakan sebagai daging, tulang, sumsum dan darah, baik darah cair atau darah beku (hati). Asumsi ini kemudia dijadikan salah satu alasan, mengapa yang diambil dari seluruh komponen pohon kelapa adalah buahnya, bukan komponen yang lain.

Oleh karena itu, sugesti yang dibangun untuk orang tua yang memproyeksikan anak sebagai buah kelapa adalah menjadikan anak sebagai manusia penabur manfaat, dalam setiap kata dan perbuatannya. Bahkan secara khusus, setiap orang tua harus mampu menjaga kesucian fitrah anak sebagaimana kesucian air kelapa yang selalu terjaga dari pengaruh buruk lingkungan di luarnya, dengan sistem proteksi yang sangat kuat. Selain itu, Arham Syaudi menegaskan bahwa “penggunaan nyeor gandding, bukan buah kelapa jenis yang lain, karena nyeor gadding memiliki nilai estetika yang lebih tinggi, sehingga anak diharapkan juga punya nilai estetika tinggi yang mampu menebarkan keindahan bagi orang lain dan lingkungannya!”.

Ketiga, Telur Ayam Kampung

Selain nyeor gadding, salah satu piranti yang digunakan dalam ritual peret kandung adalah telur ayam kampung yang ditelakkan pada pangkuan istri, tepat diantara kedua pahanya, lurus dengan jalan keluarnya si anak, saat proses pemandian bersama suami. Begitu selesai, telur ayam kampung tersebut dibiarkan jatuh dan pecah, saat si istri berdiri dari duduknya, lalu berjalan menuju ruangan untuk meletakkan nyeor gadding yang digendong.

Telur ayam kampung yang dibiarkan jatuh dan pecah, disampakan oleh Arham Syaudi, atau lebih dikenal dengan nama Syaudi Lebah dalam beberapa puisi yang beliau tulis, mengisyaratkan bahwa “proses kelahiran anak diharapkan juga akan segera jatuh (keluar/lahir) dari rahim ibunya dan pecah dengan tangisnya sebagai tanda kesuksesan kehamilan!”.

Apabila telur yang jatuh tersebut tidak pecah, maka harus diinjak oleh si istri sampai pecah dan tumpah semua isinya. Sebagaimana bayi yang baru lahir kalau tidak menangis, maka ia harus dicubit supaya menangis, karena tangis seorang bayi yang baru lahir adalah isyarat bahwa bayi itu sehat dan selamat yang membuat semua orang bahagia dengan tangis pertamanya.

Sementara di sisi lain, telur ayam kampung adalah lambang kesehatan dan kegagahan orang-orang Madura. Telur ayam kampung dianggap sedikit keramat karena mengandung banyak hal yang dapat menambah gairah hidup, sehingga sering dijadikan bahan jamu alami, yang boleh langsung ditelan atau dicampur dengan bahan-bahan yang lain. Maka, anak yang akan lahir, pada masanya nanti, diharapkan dapat tumbuh dan berkembang menjadi sosok manusia yang jadi pemancar spirit dan etos kerja masyarakatnya, karena ia sendiri memiliki kekuatan dan keberanian moral yang tinggi dalam menjalani hidup dan kehidupannya.

Catatan Akhir

Tulisan ini hanya awal untuk memulai sebuah renungan panjang tentang ritual peret kandung sebagai salah satu kekayaan budaya orang Madura. Sebagai generasi Madura, tulisan ini menjadi bentuk perhatian penulis terhadap karya kebudayaan yang sudah berlangsung cukup lama, khususnya di daerah penulis, di bagian daratan pesisir timur daya Kabupaten Sumenep, yang belakangan ini ritual peret kandung sering didakwa sebagai peninggalan nenek moyang yang tidak bernuansa religius, sehingga diperlukan penafsiran yang komprehensif dan bijaksana.

Satu hal yang perlu dipahami bahwa penggunaan istilah peret kandung dalam tulisan ini hanyalah sekedar menyesuaikan dengan kultur daerah tempat penulitas tinggal, yang memang menggunakan istilah tersebut dalam tradisi mensyukuri kehamilan pertama di bulan ke tujuh. Tidak menutup kemungkinan, terdapat istilah yang berbeda di lain tempat, sesuai bahasa Madura yang digunakan berdasarkan kesepakatan masyarakat, sebagai bagian dari keragaman budaya.

Bahkan lebih dari itu, bukan hanya peristilahan yang berbeda, tetapi juga tata cara dan proses ritual yang berbeda pula, sehingga dalam satu tradisi, masyarakat Madura bisa memiliki pranata sosial yang berlainan, dengan sistem perlambang yang tidak sama, dan itu semua menunjukkan betapa Madura sangat kaya dengan nilai-nilai kebudayaan.

Terlepas dari berbagai tuduhan dan anggapan yang bermunculan, ritual peret kandung hanyalah sebuah tradisi dalam kompleksitas kebudayaan Madura, yang perlu direnungi pesan simboliknya. Ia sama sekali bukan bagian dari sistem kepercayaan dalam agama tertentu, sehingga tidak perlu dicurigai sebagai sebuah ajaran yang benar-salah. Apalagi, kebenaran adalah barang yang hilang, dimanapun tempat ia ditemukan, maka kita harus mengambilnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun