Mohon tunggu...
Syarwini Syair
Syarwini Syair Mohon Tunggu... Petani - Pegiat Lingkungan Hidup

Seorang petani Madura yang selalu belajar membajak dan mencangkul tanah kebudayaan untuk menanam kembang kearifan. Hidup dengan prinsip: tombu atina kembang, ngalotor atina ro'om!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Memaknai Ritual Peret Kandung Masyarakat Madura

18 November 2016   21:17 Diperbarui: 19 November 2016   03:26 816
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sementara buah kelapa, seringkali dijadikan sebagai analogi dari perjalanan religiusitas manusia yang terdari dari empat lapisan: serabut, batok, biji dan air, serupa dengan syariat, thariqat, hakikat dan ma’rifat. Bahkan kadang diumpamakan sebagai daging, tulang, sumsum dan darah, baik darah cair atau darah beku (hati). Asumsi ini kemudia dijadikan salah satu alasan, mengapa yang diambil dari seluruh komponen pohon kelapa adalah buahnya, bukan komponen yang lain.

Oleh karena itu, sugesti yang dibangun untuk orang tua yang memproyeksikan anak sebagai buah kelapa adalah menjadikan anak sebagai manusia penabur manfaat, dalam setiap kata dan perbuatannya. Bahkan secara khusus, setiap orang tua harus mampu menjaga kesucian fitrah anak sebagaimana kesucian air kelapa yang selalu terjaga dari pengaruh buruk lingkungan di luarnya, dengan sistem proteksi yang sangat kuat. Selain itu, Arham Syaudi menegaskan bahwa “penggunaan nyeor gandding, bukan buah kelapa jenis yang lain, karena nyeor gadding memiliki nilai estetika yang lebih tinggi, sehingga anak diharapkan juga punya nilai estetika tinggi yang mampu menebarkan keindahan bagi orang lain dan lingkungannya!”.

Ketiga, Telur Ayam Kampung

Selain nyeor gadding, salah satu piranti yang digunakan dalam ritual peret kandung adalah telur ayam kampung yang ditelakkan pada pangkuan istri, tepat diantara kedua pahanya, lurus dengan jalan keluarnya si anak, saat proses pemandian bersama suami. Begitu selesai, telur ayam kampung tersebut dibiarkan jatuh dan pecah, saat si istri berdiri dari duduknya, lalu berjalan menuju ruangan untuk meletakkan nyeor gadding yang digendong.

Telur ayam kampung yang dibiarkan jatuh dan pecah, disampakan oleh Arham Syaudi, atau lebih dikenal dengan nama Syaudi Lebah dalam beberapa puisi yang beliau tulis, mengisyaratkan bahwa “proses kelahiran anak diharapkan juga akan segera jatuh (keluar/lahir) dari rahim ibunya dan pecah dengan tangisnya sebagai tanda kesuksesan kehamilan!”.

Apabila telur yang jatuh tersebut tidak pecah, maka harus diinjak oleh si istri sampai pecah dan tumpah semua isinya. Sebagaimana bayi yang baru lahir kalau tidak menangis, maka ia harus dicubit supaya menangis, karena tangis seorang bayi yang baru lahir adalah isyarat bahwa bayi itu sehat dan selamat yang membuat semua orang bahagia dengan tangis pertamanya.

Sementara di sisi lain, telur ayam kampung adalah lambang kesehatan dan kegagahan orang-orang Madura. Telur ayam kampung dianggap sedikit keramat karena mengandung banyak hal yang dapat menambah gairah hidup, sehingga sering dijadikan bahan jamu alami, yang boleh langsung ditelan atau dicampur dengan bahan-bahan yang lain. Maka, anak yang akan lahir, pada masanya nanti, diharapkan dapat tumbuh dan berkembang menjadi sosok manusia yang jadi pemancar spirit dan etos kerja masyarakatnya, karena ia sendiri memiliki kekuatan dan keberanian moral yang tinggi dalam menjalani hidup dan kehidupannya.

Catatan Akhir

Tulisan ini hanya awal untuk memulai sebuah renungan panjang tentang ritual peret kandung sebagai salah satu kekayaan budaya orang Madura. Sebagai generasi Madura, tulisan ini menjadi bentuk perhatian penulis terhadap karya kebudayaan yang sudah berlangsung cukup lama, khususnya di daerah penulis, di bagian daratan pesisir timur daya Kabupaten Sumenep, yang belakangan ini ritual peret kandung sering didakwa sebagai peninggalan nenek moyang yang tidak bernuansa religius, sehingga diperlukan penafsiran yang komprehensif dan bijaksana.

Satu hal yang perlu dipahami bahwa penggunaan istilah peret kandung dalam tulisan ini hanyalah sekedar menyesuaikan dengan kultur daerah tempat penulitas tinggal, yang memang menggunakan istilah tersebut dalam tradisi mensyukuri kehamilan pertama di bulan ke tujuh. Tidak menutup kemungkinan, terdapat istilah yang berbeda di lain tempat, sesuai bahasa Madura yang digunakan berdasarkan kesepakatan masyarakat, sebagai bagian dari keragaman budaya.

Bahkan lebih dari itu, bukan hanya peristilahan yang berbeda, tetapi juga tata cara dan proses ritual yang berbeda pula, sehingga dalam satu tradisi, masyarakat Madura bisa memiliki pranata sosial yang berlainan, dengan sistem perlambang yang tidak sama, dan itu semua menunjukkan betapa Madura sangat kaya dengan nilai-nilai kebudayaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun