Belis: Investasi Masa Depan atau Perdagangan Cinta di NTT?
Tradisi pernikahan di Indonesia begitu beragam, mencerminkan kekayaan budaya dan nilai-nilai yang dianut oleh setiap suku. Salah satu aspek yang paling menarik dari tradisi ini adalah mahar, yang merupakan simbol penghargaan dari pihak pengantin pria kepada mempelai wanita. Di berbagai daerah, jenis mahar ini bervariasi, mencerminkan adat dan budaya setempat.
Salah satu bentuk mahar yang unik adalah belis, yang berasal dari Nusa Tenggara Timur (NTT). Dalam pandangan masyarakat NTT, belis bukan sekadar barang yang diberikan, tetapi merupakan penghargaan yang tinggi bagi perempuan. Wanita dianggap sebagai pilar kehidupan rumah tangga, yang memiliki peran penting dalam mengurus keluarga dan melahirkan generasi penerus.
Belis bukan hanya tradisi, tetapi juga bukti komitmen dari pihak laki-laki untuk menikahi perempuan yang dicintainya. Dalam pernikahan adat NTT, pihak pengantin wanita menentukan besaran belis yang akan diberikan. Proses negosiasi antara kedua belah pihak seringkali melibatkan utusan dari masing-masing keluarga, dan bisa berlangsung cukup rumit.
Negosiasi belis merupakan bagian penting dalam tradisi ini. Kedua belah pihak berdiskusi untuk mencapai kesepakatan yang saling menguntungkan. Setelah mencapai kesepakatan, sering kali diadakan upacara pemotongan babi sebagai simbol perjanjian yang telah dibuat.
Menariknya, belis tidak hanya berasal dari pihak pria. Ayah dari mempelai wanita juga memberikan belis, meskipun jumlahnya biasanya lebih murah. Hal ini menunjukkan saling menghormati antara kedua keluarga dan menjaga kehormatan pihak pria agar tidak diremehkan.
Besaran belis dapat bervariasi tergantung pada status sosial kedua mempelai. Jika mempelai wanita berasal dari keluarga bangsawan, belis yang diminta bisa sangat tinggi, bahkan mencapai 30 ekor hewan ternak. Sementara untuk keluarga biasa, jumlahnya bisa berkisar antara 5 hingga 15 ekor.
Baca juga: Mitos Kecantikan dan Harga Diri PerempuanBelis: Tradisi Menikahi dengan Tagihan yang Menguras Dompet di NTT?
Selain hewan ternak, terdapat berbagai benda lain yang juga dijadikan mahar di NTT. Misalnya, seorang pria yang ingin meminang gadis Manggarai harus menyiapkan uang dalam jumlah yang cukup besar. Belis ini mencerminkan status sosial dan penghormatan yang diberikan kepada calon istri.
Di Sumba, belis juga berbentuk hewan ternak, perhiasan, serta alat tradisional seperti parang dan tombak. Sementara itu, pihak perempuan biasanya memberikan belis berupa kain tenun yang melambangkan kedekatan dengan wanita.
Di Sikka, mahar yang cukup unik adalah gading gajah. Calon pengantin pria harus menyiapkan sejumlah gading dengan ukuran yang bervariasi. Ini mencerminkan nilai dan prestise yang tinggi, dengan harga per gading yang bisa mencapai puluhan juta.
Di Flores Timur, belis juga mencakup hewan ternak dan barang hantaran. Negosiasi mengenai panjang gading yang diminta sering kali menjadi bagian dari tradisi yang menarik. Hal ini menunjukkan bahwa pernikahan bukan hanya tentang dua individu, tetapi juga melibatkan dua keluarga.
Daerah Belu mengenal dua sistem perkawinan: patrilineal dan matrilineal. Dalam sistem patrilineal, belis yang disiapkan terdiri dari berbagai benda berharga, mencerminkan kekayaan dan status sosial mempelai pria.
Di Manggarai, belis untuk wanita bisa mencapai ratusan juta. Hal ini bergantung pada status sosial dan pendidikan mempelai wanita. Semakin tinggi statusnya, semakin tinggi juga belis yang harus disiapkan.
Di Alor, belis berbentuk Moko, benda bersejarah yang terbuat dari perunggu. Moko ini bisa sangat mahal, dan sering kali dibayarkan dalam bentuk cicilan. Hal ini menegaskan bahwa tradisi belis bisa menjadi beban finansial bagi banyak keluarga.
Di Rote, belis terdiri dari hewan ternak dan uang tunai. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun setiap daerah memiliki keunikan tersendiri, intinya tetap pada penghargaan dan komitmen yang ditunjukkan melalui belis.
Kendati belis merupakan simbol penghargaan, biaya yang tinggi sering menjadi tantangan tersendiri bagi banyak orang. Beberapa pria bahkan sampai mencari pekerjaan di luar negeri untuk memenuhi kewajiban belis ini.Â
Meskipun ada tantangan, tradisi belis tetap tidak terhindarkan. Ini menjadi bagian dari identitas dan budaya masyarakat NTT. Masyarakat percaya bahwa belis bukan hanya sekadar barang, melainkan juga benda keramat yang memiliki makna mendalam.
Praktik belis sering kali melibatkan transaksi yang berputar, di mana belis yang diberikan kepada calon mempelai pria bisa berasal dari warisan atau dijual kembali oleh keluarga. Ini menunjukkan dinamika sosial yang kompleks dalam masyarakat.
Tradisi Belis: Romansa atau Pamer Kekayaan?
Dalam beberapa kasus, pria yang merasa kesulitan dengan biaya belis terkadang mencari cara untuk menurunkan biaya tersebut. Namun, hal tersebut sering kali melanggar norma kesusilaan dan bisa menimbulkan masalah di kemudian hari.
Di kutip dari merdeka.com; menurut cerita yang disampaikan oleh Thomas, seorang warga Flores, keberadaan gajah yang menjadi sumber gading ini memang tak dapat ditemukan di NTT. Ia menjelaskan bahwa dahulu kala, orang Portugis sering melakukan perdagangan dengan menukarkan hasil bumi lokal dengan gading gajah. Kini, gading tersebut menjadi barang yang sangat spesial dan berharga, meski sulit diperoleh.
Di sisi lain, Nando, seorang warga asli Larantuka, berbagi pengalamannya tentang belis. Ia mengungkapkan bahwa belis berupa gading gajah kini nyaris tidak ada yang membelinya. Banyak orang lebih memilih untuk memberikan belis yang merupakan warisan dari generasi sebelumnya. Nando sendiri pernah membeli belis seharga Rp 40 juta, yang menurutnya adalah harga yang cukup tinggi untuk barang yang kecil.
Dengan pekerjaan sebagai sopir sewaan, Nando mengakui betapa beratnya biaya yang harus dikeluarkan untuk memenuhi tradisi ini. Ia mengingat kembali pengeluarannya yang mencapai ratusan juta rupiah hanya untuk memenuhi syarat belis, ditambah dengan biaya untuk hewan kurban seperti kambing dan babi.
Kisah Nando menggambarkan betapa belis yang diserahkan kepada istrinya, yang berasal dari Lembata, diperoleh dari kakak perempuannya. Kakaknya bahkan harus mencicil belis tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa tradisi belis bukan hanya beban individu, tetapi juga melibatkan keluarga yang lebih luas dalam prosesnya.
Bagi warga NTT, yang sebagian besar bekerja di sektor pertanian dan perkebunan, tradisi belis bisa menjadi beban yang sangat berat. Banyak orang bahkan terpaksa mencari pekerjaan di luar negeri sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI) hanya untuk dapat memenuhi tuntutan belis ketika hendak menikah.
Nando menceritakan betapa beratnya tradisi ini, terutama ketika ada tetangga yang meminta tujuh belis gading, mengikuti jejak ibunya yang mendapatkan tujuh belis pada masanya. Hal ini menunjukkan bahwa ekspektasi masyarakat terhadap belis bisa sangat tinggi dan beragam, tergantung pada latar belakang budaya dan sejarah keluarga.
Namun, di tengah beban tersebut, beberapa laki-laki mencoba mencari cara untuk mengurangi biaya belis. Salah satu taktik yang muncul adalah dengan membuat wanita hamil terlebih dahulu, yang bisa menurunkan harga belis. Meski cara ini tidak etis dan bertentangan dengan norma kesusilaan, banyak yang merasa terdesak untuk melakukannya.
Menariknya, meskipun tradisi belis membawa banyak tantangan finansial, tidak ada laporan tentang pencurian belis di daerah ini. Nando menjelaskan bahwa belis dianggap sebagai benda keramat dan jika ada yang mencurinya, diyakini bahwa benda tersebut akan kembali dengan sendirinya kepada pemiliknya.
Ketika berbicara tentang belis, Nando tak bisa menyembunyikan perasaannya. Ia merasakan tekanan dari tradisi yang harus dipenuhi, tetapi di saat yang sama, ia juga merasa bingung dan pusing dengan biaya yang harus dikeluarkan. Tradisi ini, meskipun kaya makna, sering kali menjadi ancaman bagi perekonomian warga NTT yang semakin terhimpit oleh berbagai tantangan.
Tradisi belis di NTT mencerminkan nilai-nilai budaya yang mendalam dan kompleks. Meskipun ada tantangan, masyarakat tetap mempertahankan tradisi ini sebagai cara untuk menghormati wanita dan keluarganya. Belis menjadi simbol cinta dan komitmen yang akan terus diwariskan dari generasi ke generasi.
Paji Hajju
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H