Mohon tunggu...
Syarwan Edy
Syarwan Edy Mohon Tunggu... Mahasiswa - @paji_hajju

Membaca akan membantumu menemukan dirimu.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Ketika Filsafat Menganggap Perempuan Sebagai 'Bahan Diskusi' Saja!

3 Januari 2025   06:24 Diperbarui: 3 Januari 2025   06:24 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perempuan adalah pilar peradaban (dok. pinterest)

Ketika Filsafat Menganggap Perempuan Sebagai 'Bahan Diskusi' Saja!

Pandangan yang menempatkan perempuan pada posisi yang lebih rendah dibandingkan laki-laki dalam pemikiran filsafat Islam tidak terlepas dari pengaruh pemikiran Yunani kuno. Dinasti Abbasiyah pada abad ke-9 M menjadi tonggak penting dalam pengembangan pengetahuan, termasuk penerjemahan pemikiran Yunani oleh para akademisi Kristen. Proses penerjemahan ini sebenarnya sudah dimulai lebih awal, pada abad ke-6 M, di Sekolah Alexandria, Mesir. Pertemuan antara dua tradisi ini membentuk cara pandang terhadap perempuan dalam konteks keilmuan yang dominan pada masa itu.

Diskusi mengenai Filsafat Perempuan dalam Islam yang diadakan oleh Front Santri Melawan Kekerasan Seksual menyoroti tema yang sangat penting. Seperti yang dijelaskan oleh Etin Anwar, filsafat Islam banyak menyerap terminologi dari pemikiran Yunani Kuno, termasuk dalam hal rasionalitas dan eksistensi Tuhan. Diskursus ini membuka peluang untuk pemahaman yang lebih mendalam tentang posisi perempuan dalam masyarakat.

Dalam pemikiran Aristoteles, hubungan antara laki-laki dan perempuan dianggap tidak setara, menciptakan struktur hierarkis. Laki-laki dianggap lebih unggul secara intelektual dan berhak mengatur rumah tangga, termasuk kehendak perempuan. Pandangan ini menciptakan stigma yang terus berlanjut, di mana perempuan, meskipun mendapatkan pendidikan, tetap dianggap lemah.

Akan datang zaman orang tidak puas dengan sedikit, tidak kenyang dengan banyak, perhatian mereka hanya urusan perut, agama mereka uang, dan kiblat mereka perempuan.

--- Ali bin Abi Thalib

Asumsi negatif terhadap perempuan terus berlanjut dalam pemikiran filsafat Islam, terutama pada awal perkembangan Islam. Perempuan sering kali dipandang sebagai 'kelas kedua' dan hanya berfungsi sebagai pemuas nafsu seksual laki-laki. Pandangan ini mengakar dan membentuk norma sosial yang merugikan perempuan dalam berbagai aspek kehidupan.

Di abad pertengahan, peran perempuan dan laki-laki dalam rumah tangga semakin jelas dan tidak seimbang. Tanggung jawab suami sebagai kepala keluarga semakin memperkuat posisi subordinat perempuan. Pemikiran Ibnu Sina mengukuhkan pandangan bahwa laki-laki adalah pencari nafkah, sementara perempuan hanya bertugas mengurus rumah tangga.

Asumsi negatif terhadap perempuan menjadi norma dalam masyarakat, di mana perempuan diarahkan untuk bersaing dalam hal kecantikan dan kekayaan. Kompetisi ini tidak hanya memperkuat patriarki, tetapi juga mengikis potensi perempuan untuk berkembang di bidang lain.

Etin Anwar mengidentifikasi lima nilai negatif yang melekat pada perempuan. Nilai ontologis membuat perempuan dianggap sebagai kelas dua. Nilai epistemologis menunjukkan bahwa perempuan didefinisikan oleh laki-laki. Nilai fenomenologis menggambarkan marginalisasi perempuan dalam kehidupan bernegara, sementara nilai ekonomi memandang tubuh perempuan sebagai objek. Terakhir, nilai moralitas menciptakan stigma terhadap perilaku perempuan.

Kemajuan sosial dapat diukur oleh posisi sosial perempuan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun