Mother's Day: Momen Menghargai, atau Hanya Sebuah Ritual Konsumerisme?
Di tengah kesibukan kehidupan modern, Hari Ibu sering kali dirayakan dengan cara yang cukup klise: bunga, kartu ucapan, dan makan malam istimewa. Namun, mari kita renungkan sejenak apakah itu benar-benar mencerminkan makna sejatinya. Bagi banyak perempuan Indonesia, hari ini bukan hanya momen untuk mendapatkan perhatian, tetapi juga pengingat akan perjuangan panjang yang telah mereka lalui.
Perayaan Hari Ibu pada 22 Desember tidak muncul begitu saja. Ia lahir dari semangat perjuangan perempuan yang ingin diakui sebagai bagian penting dari sejarah bangsa. Sementara itu, "Mother's Day" yang dirayakan pada 9 Mei, lebih terkesan sebagai komersialisasi peran ibu yang sering kali mengabaikan konteks sosial dan politik yang melatarbelakanginya.
Dari sudut pandang seorang perempuan yang berjuang, Hari Ibu seharusnya menjadi momen refleksi dan perayaan kemajuan. Bukankah lebih baik jika kita bertanya, "Apa yang bisa kita lakukan untuk memperjuangkan hak perempuan?" daripada sekadar memberikan hadiah?
Mother's Day: Lebih dari Sekadar Hadiah dan Bunga!
Kita perlu ingat bahwa Hari Ibu bukan hanya tentang melahirkan dan merawat anak. Ini tentang perempuan yang menuntut hak politik, pendidikan, dan tempat dalam masyarakat. Mengapa kita harus terjebak dalam narasi yang hanya mengedepankan peran domestik?
Ada yang mengatakan bahwa perempuan adalah tiang negara. Namun, ironisnya, tiang ini sering kali tidak terlihat dan tidak dihargai. Mari kita rayakan Hari Ibu dengan cara yang lebih bermakna: dengan mempromosikan kesetaraan dan keadilan bagi semua perempuan.
Satu hal yang perlu diingat adalah bahwa Hari Ibu lahir dari perjuangan para wanita pejuang. Mereka bukan hanya ibu di rumah, tetapi juga di medan perang, dalam pendidikan, dan di dunia kerja. Mereka adalah pahlawan yang sering kali terlupakan.
Sejarah mencatat bahwa pada 22 Desember 1928, Kongres Perempuan Indonesia I diadakan di Yogyakarta, yang menjadi awal mula perayaan Hari Ibu. Ini adalah momen penting di mana perempuan bersatu untuk memperjuangkan hak-hak mereka, bukan sekadar merayakan peran mereka sebagai ibu.
Hari Ibu: Merayakan Cinta atau Membenarkan Ekspektasi?
Di sisi lain, "Mother's Day" yang diadopsi dari tradisi barat, cenderung menekankan simbolisme tanpa substansi. Kembali lagi, kita bertanya: Apakah ini yang ingin kita rayakan? Atau kita ingin mengingat perjuangan yang lebih dalam?
Hari Ibu seharusnya menjadi pengingat bagi kita bahwa perempuan memiliki hak untuk berjuang dan bersuara. Kita tidak mau lagi terjebak dalam narasi yang hanya mengakui kemampuan perempuan dalam ranah domestik.
Seiring dengan perkembangan zaman, perjuangan perempuan harus tetap relevan. Kita perlu bertanya, "Apa yang bisa kita lakukan untuk mendukung perempuan di seluruh dunia?" daripada hanya memikirkan hadiah untuk ibu kita.
Dalam banyak hal, Hari Ibu bisa dianggap sebagai cermin dari seberapa jauh kita telah maju. Apakah kita sudah siap untuk merayakan perempuan sebagai individu yang memiliki hak dan aspirasi, bukan hanya sebagai sosok yang melahirkan?
Mother's Day: Perayaan atau Pemasaran?
Menghormati para ibu seharusnya lebih dari sekadar memberikan hadiah. Ini tentang mendukung mereka dalam perjuangan untuk mendapatkan hak yang setara. Mari kita mulai merayakan keberanian dan ketahanan mereka.
Sejarah mencatat banyak perempuan hebat yang berjuang untuk hak-hak mereka. Contohnya, R.A. Kartini yang menulis surat-surat inspiratif yang membuka jalan bagi pendidikan perempuan. Dia adalah sosok yang patut kita kenang dan rayakan.
Ketika berbicara tentang perempuan inspiratif, kita tidak bisa melupakan Siti Nurbaya, yang melawan ketidakadilan dan memperjuangkan hak-hak perempuan dalam novel yang ditulisnya. Kisahnya membuktikan bahwa perjuangan perempuan telah ada sejak lama.
Pandangan dari tokoh perempuan Indonesia, seperti Rini Soemarno, yang menulis dalam bukunya "Perempuan dan Kepemimpinan", menunjukkan bahwa perempuan memiliki potensi luar biasa untuk memimpin dan membawa perubahan. Hari Ibu seharusnya menjadi momen untuk merayakan potensi itu.
Begitu juga dengan pandangan Dewi Lestari dalam bukunya "Supernova", yang menekankan pentingnya perempuan dalam berbagai bidang. Dia menggambarkan karakter yang kuat dan mandiri, mencerminkan semangat perjuangan perempuan dalam kehidupan nyata.
Ibu, Pahlawan Tak Berjubah: Mengapa Kita Masih Mengharapkan Mereka Menjadi Superwoman?
Kesetaraan gender bukanlah isu sepele. Ini adalah perjuangan serius yang harus dihadapi oleh setiap generasi. Hari Ibu seharusnya menjadi panggilan untuk lebih banyak aksi, bukan sekadar kata-kata manis.
Mari kita ingat bahwa setiap ibu memiliki kisah unik yang sangat berharga. Mereka tidak hanya melahirkan, tetapi juga membentuk karakter dan masa depan generasi berikutnya. Ini adalah warisan yang jauh lebih berarti daripada sekadar hadiah.
Dengan memperingati Hari Ibu, kita harus berkomitmen untuk mendukung perempuan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk pendidikan, kesehatan, dan hak-hak sosial. Ini adalah bentuk penghormatan yang lebih tulus.
Jadi, mari kita ubah cara kita merayakan Hari Ibu. Alih-alih hanya fokus pada hadiah, mari kita fokus pada tindakan nyata. Bagaimana kita bisa menjadi pendukung yang lebih baik bagi perempuan di sekitar kita?
Hari Ibu seharusnya menjadi momen untuk bersatu dan memperjuangkan hak-hak perempuan. Ini adalah hari untuk mengingat bahwa setiap perempuan berhak dihormati dan diakui atas perjuangan mereka.
Akhirnya, mari kita rayakan Hari Ibu dengan semangat perjuangan dan kesetaraan. Kita adalah bagian dari sejarah yang lebih besar, dan kita harus terus berjuang untuk masa depan yang lebih baik bagi semua perempuan di Indonesia. Selamat Hari Ibu 22 Desember 2024! Semoga semua Ibu berbahagia diatas muka bumi ini. Salam hormat!
Paji Hajju
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H