Di sebuah negeri yang tak pernah sepi dari berita, hiduplah rakyat yang sering kali bingung dengan realitas yang mereka hadapi. Mereka kerap bertanya, "Apakah pemerintah kita sedang bercanda atau serius?"
Suatu pagi, sebuah pengumuman resmi dikeluarkan: "Kami akan memperbaiki semua jalan rusak dalam waktu satu bulan!" Rakyat pun bersorak, penuh harapan. Namun, satu bulan berlalu, dan jalanan tetap seperti ladang perang.
Di sisi lain, menteri yang bertanggung jawab atas infrastruktur dengan percaya diri berkata, "Kami sedang mempersiapkan perencanaan yang matang." Rakyat hanya bisa geleng kepala, bingung dengan istilah "perencanaan" yang seolah menjadi mantra sakti.
Sementara itu, di ruang rapat pemerintah, para pejabat berkumpul untuk merumuskan kebijakan. Di sana, mereka lebih banyak membahas urusan pribadi daripada kepentingan rakyat. "Bagaimana dengan liburan ke Bali?" tanya salah satu menteri. "Tentu saja, itu penting!"
Rakyat yang berusaha mendapatkan informasi berkualitas terpaksa mengalihkan perhatian ke media sosial. Namun, di sana, mereka hanya menemukan berita hoaks dan meme lucu yang lebih menghibur daripada berita resmi.
Suatu ketika, seorang jurnalis berani meliput berita tentang korupsi. Ia diundang ke sebuah acara resmi, di mana para pejabat saling bertepuk tangan, berpura-pura peduli pada masalah rakyat. "Kami akan menindak tegas!" seru seorang pejabat, sambil menyuap kue.
Rakyat pun berkomentar, "Menindak tegas dengan kue? Mungkin itu metode baru!" Lalu mereka tertawa, meski dengan rasa pahit.
Dalam rapat anggaran, para menteri terlibat dalam perdebatan sengit mengenai alokasi dana. "Kita butuh anggaran untuk membeli mobil dinas baru!" teriak salah satu menteri. "Oh, dan jangan lupa untuk mempercantik kantor!" sambung yang lainnya.
Rakyat pun semakin geleng kepala mendengar berita tersebut. "Mobil dinas lebih penting daripada pendidikan? Luar biasa!"
Sementara itu, anak-anak sekolah harus belajar dengan fasilitas yang sangat minim. Buku-buku usang dan kelas yang sempit menjadi pemandangan sehari-hari. "Kami sedang mencari solusi," kata kepala sekolah sambil tersenyum.
Suatu hari, seorang pejabat datang ke sekolah untuk memberikan sambutan. Dia berjanji akan meningkatkan kualitas pendidikan. "Tapi, kami perlu lebih banyak waktu," ujarnya sambil melirik jam tangan mahalnya.
Rakyat merasa terhibur dengan janji-janji itu. "Janji politik lebih abadi daripada janji suami!" celetuk seorang ibu yang mendengar berita tersebut.
Dalam sebuah forum, sekelompok pemuda mengusulkan ide cemerlang: "Mari kita buat aplikasi yang memudahkan laporan masalah di lingkungan." Semua setuju, tetapi tak ada satu pun yang tahu cara membuatnya.
"Kita bisa minta bantuan pemerintah!" saran salah satu pemuda. Semua tertawa terbahak-bahak. "Itu mimpi yang terlalu tinggi!" jawab yang lainnya.
Di tengah kebingungan itu, muncul seorang pengusaha sukses yang menawarkan solusi. "Saya bisa bantu, tapi dengan biaya yang sesuai." Rakyat terkejut. "Jadi, kita harus bayar untuk melaporkan masalah yang seharusnya gratis?"
Rakyat merasa terjebak dalam lingkaran setan. "Apa bedanya dengan membayar pajak?" tanya seorang pembeli nasi goreng.
Di pasar, para pedagang bercengkerama. "Kita harus bersyukur, setidaknya pemerintah tidak memungut pajak baru," ujar salah satu pedagang. "Tapi, harga cabai naik lagi!" balas yang lain.
Di hari pemilihan umum, rakyat berbondong-bondong datang ke TPS. "Siapa yang akan menyelamatkan kita dari semua ini?" tanya seorang pemuda. "Mungkin kita hanya memilih yang kurang buruk," jawab temannya.
Setelah pemilihan, para pemenang berkumpul dalam sebuah perayaan. "Kami akan membawa perubahan!" teriak salah satu kandidat baru. Rakyat hanya bisa berbisik, "Perubahan apa? Perubahan yang lebih buruk?"
Sementara itu, berita tentang kebijakan baru beredar. "Kami akan meningkatkan kesejahteraan rakyat!" Namun, rakyat hanya melihat harga bahan pokok yang terus melambung.
Di tengah semua kekacauan, seorang kakek bijak berkata, "Kita harus bersyukur masih bisa tertawa." Rakyat pun setuju, meski dengan air mata.
Di balik semua kesedihan, mereka mulai menggali potensi diri. "Jika pemerintah tidak bisa membantu, kita harus saling membantu," ujar seorang ibu.
Dari situ, lahirlah komunitas kecil yang saling mendukung. Mereka berbagi informasi, sumber daya, dan bahkan makanan. "Kami mungkin tidak bisa mengubah negara, tapi kami bisa mengubah lingkungan kami."
Suatu hari, ketika berita buruk kembali menghantam, mereka berkumpul dan tertawa. "Setidaknya kita masih punya satu sama lain," kata seorang pemuda.
Dan begitulah, di tengah cermin negara yang retak, rakyat belajar untuk berdiri bersama, menemukan kekuatan dalam kebersamaan, meski dunia luar tampak seperti lelucon yang tak berujung.
Paji Hajju
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H