Mohon tunggu...
Syarwan Edy
Syarwan Edy Mohon Tunggu... Mahasiswa - @paji_hajju

Membaca akan membantumu menemukan dirimu.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Berlagak Jadi Nabi? Ingat, Gelar Itu Bukan Produk Grosiran!

10 Desember 2024   01:17 Diperbarui: 10 Desember 2024   01:37 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sangka baik seharusnya menjadi landasan dalam interaksi sosial, tetapi kita seringkali lebih cepat mengedepankan sangka buruk. Dalam banyak situasi, kecurigaan menjadi jalan pintas kita dalam menilai orang lain. Apakah kita tidak menyadari bahwa sangka buruk hanya akan menambah jarak antara kita dan sesama?

Mengapa kita tidak menyadari bahwa meneladani Nabi bukan sekadar meniru tindakan, tetapi juga memahami dan menginternalisasi nilai-nilai yang beliau ajarkan? Kita seharusnya bertanya pada diri sendiri: siapakah kita dalam konteks ini? Apakah kita sudah berusaha untuk menjadi lebih baik?

Muhammad adalah The Main Character Of Humanity.

Dalam buku "Tafsir Al-Misbah", Muhammad Quraish Shihab menekankan pentingnya memahami konteks wahyu. Kita tidak bisa hanya mengambil sebagian ajaran tanpa memahami keseluruhan. Sebagai umat, kita dituntut untuk berilmu dan beradab, bukan sekadar mengikuti tanpa pemahaman.

Sementara itu, Nasr Hamid Abu Zayd dalam "Reformasi Pemikiran Islam" mengingatkan kita untuk tidak terjebak dalam doktrin dan dogma. Kita perlu membuka diri terhadap pemikiran kritis dan memahami bahwa setiap generasi memiliki tantangan dan konteks yang berbeda. Meneladani Nabi seharusnya membebaskan kita dari belenggu tradisi yang tidak relevan.

Ketika kita melupakan esensi ajaran, kita menjadikan agama sebagai alat untuk memuaskan ambisi pribadi. Keberagamaan kita berisiko menjadi permukaan yang menutupi kebobrokan moral. Apa gunanya mengklaim diri sebagai umat Nabi jika tindakan kita mencerminkan sebaliknya?

Akhirnya, kita harus ingat bahwa meneladani Nabi adalah perjalanan spiritual, bukan sekadar penampilan luar. Kita harus berusaha untuk merefleksikan diri dan bertanya: "Apakah saya sudah mencerminkan nilai-nilai yang diajarkan oleh Nabi?"

Kita semua memiliki potensi untuk menjadi lebih baik, tetapi kita harus memulai dari diri sendiri. Mengapa tidak kita mulai dengan senyuman tulus, perdamaian, dan pengertian? Jika kita tidak bisa mengubah orang lain, setidaknya kita bisa mengubah diri sendiri.

Janganlah kita terperangkap dalam ilusi bahwa kita sudah cukup baik hanya karena kita mengaku sebagai pengikut Nabi. Kesadaran akan kekurangan diri adalah langkah pertama menuju perbaikan. Mari kita jadikan refleksi ini sebagai pijakan untuk melangkah lebih baik.

Akhir kata, meneladani Nabi bukan tentang mengejar gelar atau pengakuan, tetapi tentang merangkul nilai-nilai kebaikan dan kasih sayang. Mari kita berusaha menjadi pribadi yang lebih baik, bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi untuk seluruh umat manusia. Siapa yang kita tiru? Mari kita jawab dengan tindakan nyata, bukan sekadar kata-kata.

Paji Hajju 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun