Mohon tunggu...
Syarwan Edy
Syarwan Edy Mohon Tunggu... Mahasiswa - @paji_hajju

Membaca akan membantumu menemukan dirimu.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Berlagak Jadi Nabi? Ingat, Gelar Itu Bukan Produk Grosiran!

10 Desember 2024   01:17 Diperbarui: 10 Desember 2024   01:37 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menjadi Manusia, Menjadi Hamba | sumber foto: pinterest/katie

Di tengah kerumunan yang bersemangat untuk meneladani, seringkali kita lupa bahwa meneladani bukanlah sekadar meniru habis-habisan. Alih-alih menjadi teladan yang baik, kita justru terjebak dalam pola perilaku yang tidak autentik. Seolah-olah menjadi "the chosen one" itu hanya soal mengenakan jubah dan mengucapkan kata-kata bijak, tanpa menyadari bahwa perjalanan menuju status tersebut melibatkan proses yang jauh lebih kompleks daripada sekadar mengikuti tren.

Sementara itu, kita terpesona oleh kisah Nabi yang dulunya hanyalah manusia biasa. Dalam kebingungan kita, sering kali kita lupa bahwa proses penggemblengan itu melibatkan tantangan, pengorbanan, dan tentu saja, wahyu yang tidak bisa dipahami dengan logika sehari-hari. Namun, di era media sosial ini, tampaknya semua orang merasa berhak untuk mengklaim "wahyu" mereka sendiri. Akhirnya, banyak yang lebih memilih untuk menjadi influencer spiritual daripada mendalami makna sebenarnya dari ketuhanan.

Wahyu Tuhan: Gak Ada yang Bisa Pre-Order!

Kita seolah-olah mendahului prerogatif Allah ketika kita berusaha menjadi lebih dari sekadar manusia biasa. Dalam upaya mengejar gelar "Nabi" versi kita sendiri, kita mulai mengabaikan batasan-batasan yang ada. Kita menganggap diri kita lebih berhak atas pengetahuan ilahi dibandingkan dengan yang diturunkan kepada para Nabi. Tentu, ini semua demi sebuah pengakuan dan perhatian publik, bukan?

Ketika kita berbicara tentang "jangan melebihi iradah Tuhan," mungkin kita perlu merefleksikan seberapa jauh kita sudah melangkah. Dalam kesibukan kita untuk menonjol, kita lupa bahwa menjadi manusia biasa dengan segala kekurangan dan batasan adalah sebuah anugerah. Mungkin, alih-alih berusaha menjadi "the chosen one," kita sebaiknya fokus pada bagaimana menjadi "the humble one" yang memahami posisi kita di hadapan Tuhan dan sesama.

Dalam kesibukan kehidupan modern, kita sering terjebak dalam ilusi meneladani. Kita mengenakan atribut keagamaan, seolah-olah bisa mengklaim gelar "Nabi" hanya karena kita mengenal ajaran-Nya. Namun, satu pertanyaan mendasar patut diajukan: sudahkah kita memahami esensi dari teladan tersebut, atau hanya sekadar meneruskan tradisi tanpa makna?

Banyak yang berusaha meneladani Nabi Muhammad SAW, tetapi tak jarang tindakan mereka justru berlawanan dengan ajaran beliau. Senyum yang seharusnya menjadi sedekah, malah tergantikan dengan wajah sangar yang menakutkan. Apakah kita telah melupakan bahwa senyum itu adalah jendela hati yang seharusnya kita tunjukkan kepada sesama?

Di tengah konflik yang berkepanjangan, kita lebih memilih untuk bertengkar daripada berdamai. Nabi mengajarkan pentingnya persatuan, tetapi kita justru mengedepankan ego dan kepentingan pribadi. Apa yang terjadi dengan ajaran yang seharusnya menuntun kita ke jalan kedamaian?

Nabi mengganti nama-nama buruk dengan nama baik sebagai bentuk kasih sayang, sementara kita lebih suka memberikan label negatif kepada orang lain. Gelar buruk yang kita berikan justru mencerminkan sifat kita sendiri. Ironis, bukan? Kita mengklaim sebagai umat Nabi, tetapi tindakan kita justru menjauhkan dari ajaran-Nya.

Ketika Nabi merahasiakan kemunafikan orang lain, kita justru berperan sebagai detektif kemunafikan. Keterampilan kita dalam mengungkap keburukan orang lain seolah menjadi kebanggaan tersendiri. Namun, di mana letak rahmat dan kasih sayang yang diajarkan oleh Nabi?

Sangka baik seharusnya menjadi landasan dalam interaksi sosial, tetapi kita seringkali lebih cepat mengedepankan sangka buruk. Dalam banyak situasi, kecurigaan menjadi jalan pintas kita dalam menilai orang lain. Apakah kita tidak menyadari bahwa sangka buruk hanya akan menambah jarak antara kita dan sesama?

Mengapa kita tidak menyadari bahwa meneladani Nabi bukan sekadar meniru tindakan, tetapi juga memahami dan menginternalisasi nilai-nilai yang beliau ajarkan? Kita seharusnya bertanya pada diri sendiri: siapakah kita dalam konteks ini? Apakah kita sudah berusaha untuk menjadi lebih baik?

Muhammad adalah The Main Character Of Humanity.

Dalam buku "Tafsir Al-Misbah", Muhammad Quraish Shihab menekankan pentingnya memahami konteks wahyu. Kita tidak bisa hanya mengambil sebagian ajaran tanpa memahami keseluruhan. Sebagai umat, kita dituntut untuk berilmu dan beradab, bukan sekadar mengikuti tanpa pemahaman.

Sementara itu, Nasr Hamid Abu Zayd dalam "Reformasi Pemikiran Islam" mengingatkan kita untuk tidak terjebak dalam doktrin dan dogma. Kita perlu membuka diri terhadap pemikiran kritis dan memahami bahwa setiap generasi memiliki tantangan dan konteks yang berbeda. Meneladani Nabi seharusnya membebaskan kita dari belenggu tradisi yang tidak relevan.

Ketika kita melupakan esensi ajaran, kita menjadikan agama sebagai alat untuk memuaskan ambisi pribadi. Keberagamaan kita berisiko menjadi permukaan yang menutupi kebobrokan moral. Apa gunanya mengklaim diri sebagai umat Nabi jika tindakan kita mencerminkan sebaliknya?

Akhirnya, kita harus ingat bahwa meneladani Nabi adalah perjalanan spiritual, bukan sekadar penampilan luar. Kita harus berusaha untuk merefleksikan diri dan bertanya: "Apakah saya sudah mencerminkan nilai-nilai yang diajarkan oleh Nabi?"

Kita semua memiliki potensi untuk menjadi lebih baik, tetapi kita harus memulai dari diri sendiri. Mengapa tidak kita mulai dengan senyuman tulus, perdamaian, dan pengertian? Jika kita tidak bisa mengubah orang lain, setidaknya kita bisa mengubah diri sendiri.

Janganlah kita terperangkap dalam ilusi bahwa kita sudah cukup baik hanya karena kita mengaku sebagai pengikut Nabi. Kesadaran akan kekurangan diri adalah langkah pertama menuju perbaikan. Mari kita jadikan refleksi ini sebagai pijakan untuk melangkah lebih baik.

Akhir kata, meneladani Nabi bukan tentang mengejar gelar atau pengakuan, tetapi tentang merangkul nilai-nilai kebaikan dan kasih sayang. Mari kita berusaha menjadi pribadi yang lebih baik, bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi untuk seluruh umat manusia. Siapa yang kita tiru? Mari kita jawab dengan tindakan nyata, bukan sekadar kata-kata.

Paji Hajju 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun