Kemauan dan keinginan Rakyat itu sama dengan kemauan Tuhan.
- Datuk Tan Malaka
Malam yang kelam dihiasi oleh bayangan gelap, di mana kelelahan dan rasa letih bertukar cerita di tengah hujan yang dingin. Dalam kesunyian, aku menyimpan kerinduan mendalam, mengenang mimpi yang menyesakkan. Tiap pagi, aku berdoa, berharap dan bertahan demi cinta yang belum tuntas. Gerimis malam ini menyatu dengan kesunyian. Hati ini terasa sepi, menunggu cinta yang tak kunjung datang. Kekasih, hilangkan keraguanmu dan percayalah padaku selamanya.
Keresahan mengisi setiap pertanyaanku, sementara luka tergambar dalam setiap harapan. Kini, segalanya terasa semakin jauh karena jarak yang memisahkan kita. Di tengah kenyamanan yang mulai terjalin, kita berbagi doa setiap malam dan waktu yang kita curi. Meskipun kita tidak utuh, semuanya mulai runtuh, hanya menyisakan kecemasan yang dipeluk oleh jarak.
Suatu sore yang melankolis, Bitu bertanya, "Paji, bagaimana kabarmu? Apakah kau menyesal mengenalku? Semuanya baik-baik saja, kan?"
"Aku baik-baik saja, Bitu. Tak ada penyesalan. Justru aku yang takut jika kau menyesali pilihanmu nanti. Semoga semuanya baik-baik saya ya," jawabku saat senja mulai datang bertandang.
"Paji, apakah kau sibuk? Aku ingin kita berbincang santai sambil sesekali melemparkan senyum!" kata Bitu ceria di malam purnama yang menyejukkan dada.
"Aku tidak terlalu sibuk, Bitu. Jika ingin berbincang, silakan, meski tidak sekuat kerinduan yang mendalam serta mencekam," jawabku.
"Baiklah, kita bisa bercakap-cakap. Bitu punya banyak pertanyaan, termasuk tentang kita," katanya berusaha mengusir kesepian yang sudah lama Ia tampung sendirian.
"Silakan bertanya, Bitu. Aku akan mendengarkan semua pertanyaan dan keluh kesahmu. Mungkin kita bisa menemukan kebahagiaan dalam buku-buku yang belum pernah kita baca ataupun dalam perbincangan yang menghadirkan banyak tawa," jawabku, menyisakan kenangan yang sulit dilupakan.
Bitu bertanya, "Kenapa pemilu masih jauh, tetapi spanduk sudah memenuhi jalan raya?"
"Ya, baliho para pejabat? Tidak hanya di jalan, di area bencana dan tempat suci juga banyak," jawabku.
"Kenapa partai politik terus membagikan kaos pemilu dan mendukung omong kosong dari para politisi?" bisik Bitu.
"Negara ini perlu regenerasi. Generasi yang tidak terjebak dalam janji-janji yang sudah basi. Hama paling menakutkan bagi petani bukan tikus atau serangga, tetapi manusia. Mereka menjanjikan ketenangan saat kampanye, setiap kata dirangkai dengan indah, tetapi ingatlah, semua makhluk pasti merasakan kematian, patah hati dan penipuan dari para politisi."
"Apakah kita sudah merdeka dan menerapkan nilai-nilai Pancasila?" tanya Bitu.
"Kita sudah merdeka dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila. Kita bebas dari penjajahan. Percayalah, ini ungkapan tulus dari hatiku."
"Apakah hukum keadilan terpengaruh oleh politik?" tanya Bitu bingung.
"Hukum keadilan tetap berjalan sesuai jalannya, tidak terpengaruh oleh politik. Kita hidup dalam demokrasi, di mana hak asasi dan kritik dihargai serta dijunjung tinggi."
"Kita telah merdeka dan hidup dalam toleransi. Nasib kita diatur oleh penguasa untuk masa depan yang lebih baik," ujar Bitu, menepis keraguan yang selalu menghantui dirinya.
"Ya, kita saling menghargai dan tidak lagi memilih untuk menindas. Kita sembuh dari masa lalu," kataku di bawah langit berbintang dan bulan sedang manja-manjanya.
Bitu berkata, "Semoga kita tidak merayakan demokrasi tetapi membungkam suara-suara kritis."
"Tak, tidak," jawabku, menghangatkan suasana yang mulai perlahan menyerang pada kenyataan.
Kemudian Bitu bertanya, "Apakah sejarah akan mengulangi dirinya?"
"Tidak. Sejarah tidak dapat diulang, hanya dikenang. Kita bisa menciptakan kembali sejarah, tapi bukan dengan mengulangnya," jawabku penuh harapan.
Bitu bercanda, "Bagaimana jika kita membentuk partai?"
"Kamu ini lucu juga ya orangnya," kataku pelan, merangkul kesepian dari tiap tatapan mata kita.
"Kalau begitu, bagaimana kalau kita menikah?" ajak Bitu yang terlihat agak serius.
"Aku rindu, Bitu. Kita bisa menikah, semoga alam semesta berpihak pada kita."
Bitu merespons semangat, "Jika begitu, kita akhiri percakapan ini. Jangan lupa kabari saat ada waktu. Kita bisa memulai cerita yang baru lagi."
"Baik, akan ku turuti. Jaga dirimu. Aku akan menaklukkan mimpimu. Semoga pertemuan kita di lain waktu diridhoi."
Kita Indonesia,
Bhinneka Tunggal Ika.
Setelah bersenang-senang, aku menikmati lagu-lagu kesukaanku dengan kopi, rokok, roti, dan setangkai puisi tentang air mata serta hujan didalam ingatanku. Di tengah bara cinta dan reruntuhan luka, suara genderang menyongsong Indonesia emas bukan cemas mulai sedikit terdengar, menghapus dingin dan kesunyian yang sama sekali belum menjauh. Dari jauh, Bitu dan aku berdoa untuk kebaikan, berharap terhindar dari luka dan menjalani hidup dengan moral yang lebih baik kedepannya.
Ada dua jenis kebahagiaan: memiliki anjing baik atau menjadi anjing baik. Setelah gemuruh petir dan gerimis mengundang untuk tenang, aku menyalakan pelita dan menghadirkan pelangi di bibir Bitu. Dalam mimpiku, Bitu memberiku bunga mawar merah saat pagi merekah penuh hangat.
Kemudian aku bertanya pada diri sendiri, perasaan mana yang akan ku tahan antara cinta, benci, rindu, atau kecewa. Semua bercampur dalam pertanyaan yang ku teguk dengan getirnya rasa. Kau hadir, tapi hanya setengah jiwa. Tidak ada yang salah dengan cinta atau rindu; yang salah adalah aku, karena mencintaimu terlalu dalam. Dalam keheningan malam, aku mengenang mu dengan cinta sejuta rindu, yang terjebak dalam fatamorgana. Wahai Bitu, aku mencintaimu dalam suka dan duka, untuk semua kebahagiaan dan kepedihan sekalipun.
Paji HajjuÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H