Dan hanya semangat kebangsaan yang dipikul oleh perasaan keadilan dan kemanusiaan. Yang dapat mengantar kita maju dalam sejarah dunia.Â
(Sutan Syahrir)
Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia memiliki akar sejarah yang kuat. Perumusan Pancasila dilatarbelakangi oleh sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia yang panjang, di mana para pendiri bangsa berusaha merumuskan nilai-nilai luhur yang dapat mempersatukan seluruh rakyat Indonesia yang beragam.Â
Secara filosofis, Pancasila merupakan kristalisasi dari pandangan hidup (way of life)Â masyarakat Indonesia. Kelima sila dalam Pancasila - Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia - mencerminkan nilai-nilai luhur yang telah mengakar dalam budaya dan tradisi masyarakat Indonesia sejak lama.
Kelima prinsip yang tertuang dalam pancasila kemudian hadir dan menjadi bintang penuntun (leidende ster)Â dalam dinamika kehidupan masyarakat Indonesia. Lima konsep dasar ini ditopang oleh tiga pilar utama yang dikenal sebagai "trilogi ideologi" yakni sosio-religius yang menekankan pada nilai ketuhanan yang berkebudayaan, sosio-nasionalisme yang menekankan pada rasa persatuan yang dilandasi semangat kemanusiaan dan sosio-demokrasi yang menekankan pada nilai demokrasi yang berkeadilan.
Nilai-nilai dalam Pancasila ini terus dibutuhkan sebagai landasan filosofis bagi kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Dalam konteks kekinian, refleksi atas sejarah dan filosofi Pancasila penting untuk memperkuat jati diri dan karakter bangsa Indonesia di tengah dinamika perubahan global yang semakin mencekam ini.
Adapun pandangan Ir. Soekarno (Presiden RI Pertama): Ia mengemukakan bahwa Pancasila adalah dasar negara Indonesia yang merangkum nilai-nilai luhur bangsa Indonesia. Pancasila adalah perwujudan dari semangat kebangsaan dan cita-cita persatuan Indonesia. Dan menurut beliau Pancasila merupakan jalan tengah yang mampu menampung keberagaman Indonesia.
Menurut Prof. Dr. Soepomo (Pakar Hukum Tata Negara): Beliau mendefinisikan Pancasila adalah dasar filsafat (philosofische grondslag) negara Indonesia. Pancasila menjiwai dan mendasari seluruh kehidupan bernegara di Indonesia. Serta katanya Pancasila merupakan kristalisasi nilai-nilai budaya dan pandangan hidup bangsa Indonesia.
Kemudian dikemukakan oleh K.H. Ahmad Dahlan (Pendiri Muhammadiyah): Ia mengatakan Pancasila adalah rumusan nilai-nilai luhur yang sesuai dengan ajaran agama Islam. Pancasila mampu menjadi pemersatu bagi seluruh rakyat Indonesia yang majemuk. Dan juga Pancasila sebagai pandangan hidup yang selaras dengan semangat gotong royong dan toleransi.
Serta dari pandangan Dr. J.C. Princen (Tokoh Katolik): Ia memandang Pancasila sebagai falsafah hidup yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Juga Pancasila merupakan landasan yang sesuai dengan ajaran Katolik tentang keadilan sosial. Dan Pancasila dapat menjadi perekat bagi kebhinekaan masyarakat Indonesia.
Baca juga: Palestina adalah KitaOleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa para tokoh dari berbagai latar belakang memandang Pancasila sebagai dasar negara yang mampu mewadahi keberagaman dan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia untuk mencapai kebahagiaan serta kesejahteraan bersama.
Meskipun Pancasila telah menjadi dasar negara dan ideologi bangsa Indonesia sejak kemerdekaan, penerapannya dalam kehidupan sehari-hari masih belum optimal. Ada beberapa tantangan dan kritik yang dapat diidentifikasi:
1. Pemahaman yang kurang mendalam: Masih banyak warga negara yang memiliki pemahaman yang dangkal tentang makna dan nilai-nilai Pancasila. Hal ini dapat menghambat internalisasi dan aktualisasinya dalam perilaku sehari-hari.
2. Kesenjangan antara teori dan praktik: Kadang-kadang terjadi inkonsistensi antara apa yang tercantum dalam teori Pancasila dengan apa yang terjadi dalam praktik kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Misalnya, masih adanya praktik korupsi, intoleransi, dan diskriminasi.
3. Kurangnya keteladanan dari pemimpin: Masyarakat masih sering melihat perilaku para pemimpin yang tidak mencerminkan nilai-nilai Pancasila, seperti nepotisme, penyalahgunaan wewenang, dan pengambilan keputusan yang tidak transparan.
4. Minimnya internalisasi sejak dini: Penanaman nilai-nilai Pancasila sejak usia dini di lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat masih perlu ditingkatkan agar terinternalisasi secara lebih mendalam.
5. Tantangan globalisasi dan modernisasi: Arus globalisasi dan modernisasi terkadang membawa nilai-nilai dan gaya hidup yang kurang sesuai dengan semangat Pancasila, sehingga perlu upaya yang lebih intensif untuk mengakomodasi dan mengintegrasikannya.
Untuk mengatasi tantangan-tantangan tersebut, diperlukan komitmen yang kuat dari seluruh komponen bangsa, termasuk pemerintah, lembaga pendidikan, organisasi masyarakat sipil, dan individu warga negara, untuk terus mendorong penghayatan dan pengamalan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.
Jadi implementasi nilai-nilai Pancasila harus senantiasa diwujudkan dalam berbagai aspek kehidupan. Dengan demikian, Pancasila dapat berfungsi sebagai pemersatu dan pengarah bagi seluruh komponen bangsa dalam mewujudkan cita-cita negara dalam menyongsong Indonesia Emas bukan Cemas di 2045 mendatang.
Paji HajjuÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H