Namun sayang beribu sayang, kebanyakan kita terhanyut dalam sebuah seremoni, kita seakan-akan lupa suatu kenyataan bahwa bangsa ini tidak hanya memiliki satu orang pahlawan wanita saja.
Perempuan dalam historiografi sejarah bangsa Indonesia menunjukkan bahwa perempuan ialah jenis kelamin yang berada pada posisi strata kedua dalam masyarakat yang hanya berperan di "dapur, sumur, dan kasur." Dari faktor sejarah inilah yang memenjarakan ruang gerak bagi kaum perempuan hingga melahirkan banyak sekali stigma dalam masyarakat bahwa perempuan ialah sosok yang tidak setara dan sebanding dengan laki-laki di berbagai bidang.
Kaum perempuan dianggap tidak dapat memiliki peran yang besar dalam masyarakat, tidak layak untuk berpendidikan tinggi, tidak dapat menjadi seorang pemimpin negeri, bahkan hanya menduduki strata kedua yang berada dibawah kendali laki-laki. Apalagi budaya patriarki yang masih mendominasi dimana laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama kepemimpinan politik, otoritas moral, hak sosial hingga penguasaan properti.
Tidak heran lagi bahwa jika perempuan selalu di salahkan karena tak sempurna keberadaannya di tengah-tengah lingkungan masyarakat. Hal tersebut bisa dilihat dari hubungan laki-laki dan perempuan yang masih terlihat timpang, dimana kaum perempuan masih diposisikan sebagai bagian dari laki-laki, dimarginalkan, hingga didiskriminasi. Hal tersebut menyebabkan terbelenggunya kebebasan perempuan dan mengganggu hak-hak perempuan untuk lebih leluasa dalam berkreasi.
Apa benar kita telah merayakan hari Kartini dengan hanya sebatas sanggul, kebaya, lomba memasak, menyanyikan lagunya, seremonial adat-istiadat, atau menikmati super seru promo lainnya? Padahal Kartini merupakan sesosok pejuang emansipasi perempuan yang tidak ingin terikat oleh serangkaian perumpamaan-perumpamaan yang diciptakan oleh institusi sosial di masyarakat yang patriarkis.
Kartini bukan hanya tentang sejarah, tapi juga tentang inspirasi yang mengarah. Kartini bukan sekedar di kenang karena keanggunannya, tetapi lebih kepada ketangguhan dalam perjuangannya. Dan Kartini bukan hanya soal emansipasi tapi juga literasi. Dalam surat-suratnya, Kartini bercerita tentang kondisi perempuan seperti dirinya yang merasa terkekang, bahkan tanpa bisa memilih masa depannya sendiri.
Apakah peringatan hari Kartini hanya formalitas belaka? Kartini bukan sekedar kebaya tapi makna kebaya Kartini hendaknya diinterpretasikan secara kritis agar pemikiran Kartini terus harus dimekarkan sehingga kebaya itu menjadi sempurna jika dimaknai lagi lebih dalam. Karena tulisan-tulisannya kepada sahabat pertama penanya di negara kincir angin, Nona Stella Zeehandelaar yang menggegerkan dunia, menggoncang pemikiran dan menggetarkan hati melalui majalah De Hollandsche Lelie. Dan melalui pasangan suami istri Abendanon yang di kemudian hari membukukan surat-surat yang dikirim oleh Kartini.
"Habis gelap terbitlah terang" adalah sebuah semboyan dari pahlawan perempuan Indonesia yang sarat akan makna. Kalau Kartini di Era Modern versi kalian siapa? Kartini mengajarkan pada kita apa arti perjuangan untuk bangkit dan percaya pada diri sendiri bahwa kita mampu untuk menggapai mimpi.
Jadilah Kartini masa kini yang memiliki kualitas diri, berbudi pekerti yang luhur, yang bahagia dan menginspirasi. Jangan takut untuk bermimpi lebih tinggi, jangan menyerah tuk sebuah pencapaian yang belum terealisasi, jangan ragu berdiri diatas kaki sendiri. Tetap berkarya wanita hebat, tetap sehat.
Perempuan merupakan sosok manusia yang multidimensional, yang tidak pernah habis untuk dibicarakan dalam berbagai perspektif, baik itu secara psikologi, sosiologi, budaya, agama, dan lain sebagainya.
Tapi ingat selalu bahwa bukan hanya Kartini, ada pahlawan perempuan Indonesia super inspiratif sering yang sering terlupakan. Bahkan jika diminta menyebutkan, mungkin kita hanya familiar dengan beberapa nama, seperti R. A. Kartini atau Cut Nyak Dhien. Padahal kita punya banyak sekali pahlawan perempuan yang tak kalah hebat dengan mereka, seperti Laksamana Malahayati, Roehana Koeddoes, Nyi Ageng Serang, Andi Depu, Martha Christina Tiahahu, Cut Meutia, Opu Daeng Risaju, serta perempuan hebat Indonesia lainnya.
Jika merujuk pada sebuah kalimat yang pernah disampaikan Ir. Soekarno dalam pidatonya pada hari Pahlawan 10 November 1961, bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa para pahlawannya. Kenanglah mereka dalam hati, wujudkan dengan tindakan bermakna demi kehidupan bangsa yang lebih baik kedepannya.
Mbak Nana pernah ditanyakan pilih keluarga atau karir? Jawabannya; "kenapa perempuan harus disuruh memilih?Bukankah kita bisa mendapatkan keduanya? Pertanyaan itu sejak awal sudah menempatkan seolah-olah membuat perempuan tak berdaya. Karena setiap perempuan itu multi peran, saya bisa menjadi ibu, menjadi istri, menjadi tetangga, menjadi jurnalis."
Lalu perempuan dalam pemikiran Nietzsche; "dari dulu sampai sekarang laki-laki memperlakukan perempuan seperti burung-burung yang datang kepadanya dari ketinggian; sebagai sesuatu yang lebih baik, lebih halus, lebih liar, lebih aneh, lebih manis, lebih menggetarkan jiwa---tetapi juga sesuatu yang harus dikurung dan dikunci rapat-rapat agar tidak terbang keluar."
Untuk semua wanita indonesia, tetaplah menjadi sosok yang tak pernah padam dan selalu bersinar. Jadilah perempuan yang baik dan ceria meskipun berkali kali di timpa dengan luka dan rasa sakit yang sangat hebat dan berat. Jadilah perempuan yang ilmunya bukan untuk dirinya sendiri, akan tetapi dengan ilmunya ia mampu menjadi bagian dari kebaikan-kebaikan yang dilakukan orang lain.
Sampai kapanpun, kemajuan perempuan menjadi faktor penting dalam peradaban bangsa. Sehingga perempuan tidak hanya dianggap sebagai pelaku urusan rumah tangga, tapi perempuan juga berkarya dan berdaya guna.
Paji HajjuÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H