Mohon tunggu...
Syarif Hidayatullah
Syarif Hidayatullah Mohon Tunggu... Dosen - Syarif Hidayatullah. lahir di Cirebon, 30 Januari 1970.. Sejak 1998 hingga sekarang, mengampu beberapa matakuliah di Fakultas Filsafat UGM, seperti: Agama Islam, Pengantar Studi Agama, Agama dan Sains, Agama dan Budaya, dan Studi Islam Kontekstual. Selain mengajar, Penulis juga berkiprah sebagai Editor in Chief Jurnal Filsafat Fakultas Filsafat UGM sejak 2016, Sebagai sekretaris Pusat Kajian Filsafat Islam (PKFI) Fakultas Filsafat UGM sejak 2015. Sejak 2014 hingga sekarang menjadi pembina Rajabandar (Gerakan Jauhi Bahaya Napza dan Rokok) UGM, sebuah komunitas dalam pembinaan Ditmawa UGM.

Laki-laki

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menjamak Salat bagi Travelers (Musafir): Tinjauan Fikih Perbandingan

9 Juni 2020   06:33 Diperbarui: 11 Juni 2021   10:22 6105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Syarif Hidayatullah. Bismillahirrahmannirrahim, para kompasioner yang budiman, berikut ini adalah tulisan singkat yang memaparkan sekilas bagaimana pandangan fiqhiyah dalam empat madzhab (madzahibul arba'ah) tentang menjamak shalat.

Para Ulama empat Madzhab Fiqh (Imam Syafii, Imam Malik, Imam Hanafi, dan Imam Hambali) mendefiniskan sholat Jamak adalah mengumpulkan sholat menjadi satu waktu pekerjaan, yaitu antara shalat dhuhur dengan shalat ashar, dan antara shalat maghrib dengan shalat isya. Sementara untuk shalat shubuh tidak bisa dijamak.

Adapun waktu pelaksanaannya bisa di waktu yang shalat yang awal (waktu dhuhur atau waktu maghrib) sehingga disebut dengan jamak taqdim. Sedangkan jika dilaksanakan di waktu shakat yang akhir (waktu ashar atau waktu isya) maka disebut sebagai jamak takhir. 

Namun para ulama madzhab Syafiiyah menjelaskan jika menjamak antara shalat dzuhur dengan shalat ashar, lebih utama menggunakan pola jamak taqdim, sedangkan jika menjamak antara shalat maghrib dan shalat isya, maka lebih utama dengan pola jamak takhir.

Ulama empat madzhab fiqh, yaitu Syafiiyah, Malikiyah, Hanbaliyah, dan Hanafiiyah, berijmak (sepakat) bahwa hukum menjamak shalat itu status hukumnya jawaaz (diperbolehkan, bukan wajib).

Berbeda halnya dengan hukum meng-qashar (meringkas) shalat, di antara mereka ada khilafiyah (perbedaan pendapat hukum) dari Madzhab Syafiiyah yang menetapkan status hukum jawaaz (boleh, jika jarak safar atau jarak tempuh pergi-pulangnya memenuhi 2 marhalah atau lk 82 km, namun kurang dari 3 marhalah atau 123 km) dan status hukum afdhal (diutamakan). 

Baca juga: Hukum Menjamak Sholat dengan Jarak Dekat

Jika jarak safar mencapai minimalnya 3 marhalah atau 123 km), atau  sunnah muakkadah (dalam madzhab Malikiyah), atau dalam madzhab Hambaliyah ditetapkan status hukum jawaaz (boleh) tapi lebih utama hukum (afdhal)  tidak diqashar, hingga madzhab Hanafiyah yang menetapkan status hukum wajib  untuk meng-qashar shalat.

Meskipun ulama empat madzhab bersepakat (ijmak) tentang status hukum jawaaz dalam menjamak shalat, namun mereka berbeda pendangan tentang sebab dan syarat yang membolehkannya. Secara ringkas, perbedaan pandangan ulama mazdhab tersebut adalah:

Pertama, madzhab Syafiiyah; berpendapat jika karena alasan sebagai musafir (travelers yang telah memenuhi syarat dalam qashar shalat) maka ia diperbolehkan untuk melakukan baik jamak taqdim maupun jamak takhir.

Di mana salah satu syarat perjalanan yang diperbolehkan qashar shalat menurut Syafiiyah dan Hanbaliyah adalah perjalanan yang mubah (seperti wisata religi, rekreasi keluarga/warga, studi, bekerja, berdagang,  tugas kantor dan kemasyarakatan, berdakwah, dan sebagainya), bukan perjalanan yang yang maksiat (misalnya akan merampok, berjudi, berselingkuh, berpacaran, dan lain-lain).  

Sementara Malikiyah dan Hanafiiyah berpendapat meskipun perjalanannya tersebut untuk melakukan perbuatan haram, maka tetap diperbolehkan untuk mengqashar shalat, dan shalat qasharnya tetap sah meskipun ia tetap berdosa pada perbuatan haram yang dilakukannya.

Lalu, bagaimana jika perjalanan tersebut karena tujuan-tujuan yang makruh?, misalnya perjalanan di malam jumat (bada isya hingga terbit fajar) atau perjalanan perempuan tanpa mahram. Dalam soal ini,  ada dua pendapat, yaitu: pertama,  diperbolehkan qashar shalat (dalam madzhab Syafiiyah, Malikiyah dan Hanafiiyah). Pendapat kedua, tidak sah untuk melakukan shalat qashar, sebagaimana sama status hukumnya dengan perjalanan yang haram. 

Selain sebab adanya safar, menurut Syafiiyah, jika karena alasan adanya hujan lebat atau salju/badai---yang menyulitkan dalam perjalanan untuk ke mesjid, maka  hanya diperbolehkan menjamak taqdim, tidak jamak takhir.

Kedua, madzhab Malikiyah; berpendapat bahwa ada lima hal atau sebab yang diperbolehkan menjamak shalat, yaitu:

1) safar (sedang perjalanan yang diperbolehkan qashar shalat), 

2) sakit keras (yang kesulitan berdiri ketika melaksanakan shalat dan kesulitan menggunakan air wudhu), 

3) hujan lebat, 

4) kondisi adanya badai yang gelap-gulita disertai jalanan yang berlumpur atau salju licin membahayakan (sebab ketiga dan keempat ini, hanya boleh menjamak shalat di masjid, bukan di rumah), dan ketika ibadah haji sedang wukuf di Arofah dan mabit di Muzdalifah.

Ketiga, madhab Hanafiyah; berpendapat dibolehkannya jamak shalat hanya karena sedang ibadah haji di Arofah dan Muzdalifah.

Baca juga: Menjamak Sholat karena Pekerjaan

Keempat, madzhab hanbaliyah; berpendapat bahwa menjamak taqdim maupun jamak takhir antara shalat dhuhur dengan shalat ashar dan antara shalat maghrib dengan shalat isya hukumnya diperbolehkan (jawaaz), namun lebih utama (afdhal) tidak menjamaknya. 

Namun ketika sedang melaksanakan ibadah haji maka mensunnahkan untuk  menjamak taqdim antara shalat dhuhur dengan shalat ashar di Arofah, dan menjamak takhir antara shalat maghrib dengan shalat isya ketika mabid di Muzdalifah. 

Tentang dibolehkannya menjamak shalat, menurut ulama Hanbaliyah terdapat beberapa alasan, yaitu: 

(1) safar (sedang perjalanan yang diperbolehkan qashar shalat), 

(2) sakit keras, yang merasakan keseulitan jika tidak menjamak shalatnya, 

(3) perempuan yang sedang menyusui, 

(4) perempuan yang sedang mengalami istihadhah (sakit pendarahan), 

(5) orang yang sedang menderita kekencingan (beser) atau wasir yang sedang kambuh, 

(6) orang yang sedang uzur (berhalangan menggunakan air wudhu) atau bertayamum setiap melaksanakan shalat (catatan: 1 kali tayamum hanya untuk 1 kali shalat. 

Jadi, harus melakukan  tayamum yang baru ketika bangkit kembali akan melaksanakan shalat urutan kedua, baik dalam jamak taqdim dan jamak takhir), 

(7) bagi orang yang tidak mampu mengetahui waktu shalat, misalnya karena buta matanya, 

(8) orang yang sedang mengungsi di gua atau bunker.

(9) orang sedang dalam situasi ketakutan karena adanya ancaman terhadap jiwa, harta, dan kehormatan dirinya, yang jika tidak menjamak shalat dia akan mendapatkan madharat bagi keberlangsungan hidupnya, 

dan (10) para pekerja berat atau profesi yang ketika bekerja tidak memungkinkan melakukan shalat terkecuali dengan menjamak shalat (misalnya sopir bus/kondektur antar kota antar propinsi, pilot dan pramugari, masinis dan petugas gerbong kereta api, pengeboran minyak, dan sebagainya). 

Mereka yang memiliki 10 sebab atau faktor tersebut, menurut ulama Hanbaliyah, diperbolehkan melakukan jamak taqdim maupun jamak takhir, baik antara shalat dzuhur dengan shalat ashar maupun shalat maghrib dengan shalat isya.

Sedangkan jika dengan alasan kondiri cuaca ekstrim, seperti hujan lebat, badai salju, badai angin, badai pasir dan lumpur, yang menyebabkan kesulitan aktivitas manusia, maka ulama Hanbaliyah hanya membolehkan untuk menjamak antara shalat maghrib dengan shalat isya saja. 

Demikian pemaparan singkat dalam persoalan seputar shalat jamak ini, yang saya sadur dan susun, dari Kitab al-Fiqh 'ala Madzahibul Arba'ah, jilid 2, disusun oleh Syeikh Abdurrahman al-Jaziri, hlm. 153-170. Semoga bermanfaat dan berkah serta mohon maaf jika kurang berkenan pada pembaca dan mohon ampunan atas atas khilaf dan dosa kepada Allah Swt. Wallau A'alamu bish-shawwab. [ESHA].

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun