Syarif Hidayatullah. Di pagi yang penuh rahmat dan barokah  ini, marilah kita bersama-sama mengungkapkan rasa syukur dan kebahagiaan kita kepada Allah SWT, terutama atas berbagai nikmat dan karunia-Nya yang kita terima dan rasakan pada waktu kemarin, saat ini, dan di masa yang akan datang.
Salah satu nikmat-Nya yang tengah kita rasakan dan alami saat ini, kendatipun masih dalam suasana pandemik Covid -- 19, adalah rasa kebahagiaan dan kemenangan di hari Idhul Fitri 1441 H. Kita tentu saja  harus mensyukuri kenikmatan ini, karena seperti tahun-tahun sebelumnya, kita  masih diberi kesempatan untuk merayakan kebahagiaan dan kemenangan di Hari Raya Idul Fitri  ini.
Idul Fitri menjadi Hari Raya bagi kita,  karena pada hari inilah seluruh umat Islam; dari berbagai  suku, bangsa, status sosial, jender, dan profesi, secara bersama-sama dan serentak merayakan sebuah kemenangan, setelah berhasil memenangi  satu tahap peperangan besar dengan mengekang dan mengendalikan nafsu (hasrat) untuk makan, minum, dan aktivitas seksual di siang hari selama satu bulan Ramadhan yang baru saja kita lewati.
Kita memang patut bersyukur karena masih dapat merayakan kemenangan atas peperangan besar yang telah dilakukan selama bulan ramadhan ini, sebuah peperangan yang lebih besar nilainya, bahkan, daripada perang-perang jihad yang dahsyat yang dilakukan pada zaman Rasulullah SAW, seperti Perang Uhud, Perang Khandaq, dan Perang Tabuk, yang banyak menelan jiwa para sahabat Nabi yang menjadi syuhada di dalamnya. Rasulullah SAW bersabda: "Kita baru saja kembali dari medan perjuangan yang kecil. Dan sekarang sedang menuju  ke medan jihad yang lebih besar. Medan jihad yang besar adalah jihad mengendalikan hawa nafsu".
Idul Fitri juga disebut Hari Lebaran, karena pada hari ini kita semua sama-sama dalam satu tahap kondisi yang "lebar"; sebuah sikap dan kesediaan secara terbuka untuk saling memohon dan menerima permohonan maaf dari setiap orang yang kita jumpai dalam pergaulan keseharian kita, mulai dari  keluarga terdekat (ayah-ibu, suami-istri, dan anak-anak kandung), kerabat, tetangga dan  hingga kolega-kolega kita di berbagai tempat lainnya. Sikap terbuka untuk saling memaafkan adalah sebuah amalan baik yang sangat relevan dan dianjurkan dilakukan oleh kaum Muslimin pada hari Idul Fitri ini.
Beramal yang baik adalah hal yang sangat ditekankan dalam mengisi hari Idul Fitri ini, sebagimana yang diisyaratkan dalam sabda Rasulullah SAW berikut: Â "Bersungguh-sungguhlah kalian pada hari (Idul) Fitri dalam bershadaqah dan beramal baik, seperti shalat, zakat, tasbih, dan tahlil, karena pada hari Idul Fitri ini Allah akan mengampuni dosa-dosamu, mengabulkan doa-doamu, dan memandangmu (dengan menebar) rahmat-Nya".
Dengan demikian, semestinya  kita termotivasi untuk  memanfaatkan pintu ampunan dan rahmat-Nya yang telah terbuka ini untuk saling memaafkan dan mengasihi sebagai hamba-hamba-Nya yang pernah berbuat kesalahan dan kekhilafan antar sesama kita sendiri. Tidak bisa diterima nalar logis, jika ada orang yang tidak mau melakukannya.
Padahal, pengampunan Allah atas dosa-dosa kita sebagaimana yang diisyaratkan dalam banyak hadits adalah dosa-dosa yang terkait dengan hubungan kita dengan Allah (hablun minallah), sedangkan yang terkait dengan hubungan sesama manusia (hablun minannas) pengampunan Allah akan tergantung dengan bagaimana kita menjalankan huququl adamiyah (hak-hak sesama anak-cucu Adam), termasuk sikap saling memaafkan atas kesalahan yang telah diperbuat.
Sangat boleh jadi, Allah SWT baru akan mengampuni dosa kita yang terkait dengan huququl adamiyah ini ketika kita telah meminta maaf dan mendapatkan pemaafan dari orang atau siapapun yang kita telah berbuat kesalahan atau dosa padanya. Barangkali, inilah pentingnya sikap saling memaafkan kita tradisikan dan lestarikan, Â terutama pada Hari "Lebar"an Idul Fitri ini.
Makna Idul Fitri
Idul Fitri, secara etimologis (makna lafdhy) berasal dari kosa kata Bahasa Arab, "Id" dan "al-Fitri",  dengan pen-tashrif-an (perubahan bentuk kata)nya "awwada-yu'awwidu---idan" dan "fathara --yufthiru-fithran".  Akar kata "Id" memiliki banyak makna turunannya, antara lain: "Kembali kepada keadaan semula", "membiasakan", "mengulangi", "menjadikan, "mendatangkan manfaat/faedah", dan "mengunjungi". Sedangkan akar kata "Fitri"  berasal dari " al-Fathr", yang bermakna "belahan", dan dari makna ini lahir --makna-makna lain antara lain"penciptaan" atau "kejadian".
Dengan uraian pemaknaan etimologis di atas, maka dapat dirumuskan pengertian terminologis (makna istilahi)nya bahwa "Idul Fitri" adalah sebuah momentum atau situasi agar kita dapat membiasakan diri untuk mengunjungi dan mengulangi serta menjadikan faedah dengan kembali kepada "Fithrah" kita sendiri sebagai manusia ciptaan Allah Ta'ala. Pertanyaannya kemudian, apakah sesungguhnya yang dimaksudkan dengan "Fithrah" tersebut?
Jika mencermati teks-teks keagamaan kita, maka akan didapat beberapa penjelasan yang terkait dengan pengertian "Fithrah" ini. Al-Quran sendiri, menurut M. Quraish Shihab (1996: 284), menyebutkan kata ini dengan berbagai bentuknya sebanyak 28 kali. Empat belas di antaranya dalam kontek uraian tentang bumi atau langit. Sisanya dalam konteks penciptaan manusia baik dari sisi pengakuan bahwa penciptanya adalah Allah, maupun dari segi uraian tentang sifat pembawaan sejak lahir (fithrah) manusia.
Dalam QS. ar-Rum(30):30-1, misalnya, difirmankan: Â "Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah). (Tetaplah atas) fithrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fithrah itu. Tak ada perubahan pada fithrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.. Dengan kembali bertaubat kepada-Nya dan bertakwalah kepada-Nya serta dirikanlah shalat dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah".
Ayat ini mengisyaratkan bahwa kehadiran Tuhan pada diri setiap manusia dan kebutuhan pada agama yang lurus merupakan fithrah (bawaan)  manusia sejak asal kejadiannya. Fitrah untuk ber-tauhid (pengakuan terhadap ka-Maha Tunggal-an Allah) ini secara jelas dipertegas dalam QS. al-A'raf(7):172: "Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka, dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), 'Bukankah Aku ini Tuhanmu?' Mereka menjawab: 'Betul (Engkau Tuhan kami), kami menyaksikan".
Namun demikian, pada kenyataannya tidak semua di antara manusia  yang selalu berhasil untuk konsisten  dalam "membiasakan" dan "menjadikan" diri kita tetap dalam  hukum kemutlakan (absoluditas) fitrah berke-tauhid-an dan keber-agama-an ini.  Betapa banyak manusia yang akhirnya tergelincir pada jurang ke-kufur-an, baik  yang menolak keberadaan Tuhan (ateis) maupun yang menolak agama-Nya (agnostik).
Sebagian manusia lainnya  ternyata ada yang terjerat dengan perangkap kemusyrikan (menolak keesaan Tuhan dengan mempersekutukan-Nya melalui berbagai macam benda dan cara). Sementara yang lainnya, adalah sekelompok manusia yang bisa jadi tidak tergelincir dalam jurang  ke-kufur-an  maupun  selamat dari perangkap kemusyrikan, namun sangat disayangkan ia terjatuh ke dalam kubangan kemunafikan dan kefasiqan, sehingga mereka setengah hati dalam menjalankan keber-agama-annya.Â
Akibatnya, mereka tidak lagi perduli tentang hukum halal-haram dalam setiap perkataan dan perbuatannya. Demikian pula, mereka tidak lagi care terhadap rumus-rumus dosa dan siksa neraka, baik ketika mereka tidak menjalankan kewajiban-kewajiban seperti shalat, puasa ramadan, dan berzakat, maupun ketika melanggar larangan-larangan, seperti ber-zinah, judi, mengkonsumsi narkoba, dan korupsi.
Kemungkinan bahwa manusia akan berada pada hukum relativitas dalam menjalankan fitrah berke-tauhid-an dan keber-agama-an ini sesungguhnya telah diisyaratkan dalam sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan Imam Bukhari:  "Setiap anak  dilahirkan dengan (membawa) fithrah-nya, maka kedua orang tuanya dapat (mempengaruhi)nya untuk menjadikannya sebagai orang Yahudi, Nasrani, atau Majusi".
Kata "fithrah" dalam hadits ini seringkali dimaknai dengan "keadaan suci", sehingga bayi yang baru dilahirkan dapat diandaikan dalam kondisi yang "netral" dan seperti selembar "kanvas" yang masih kosong dan bersih, yang telah siap disentuh goresan kwas seoarang pelukis untuk menghasilkan sebuah karya lukisan yang diinginkannya.  Selain pemaknaan tersebut, maka jika merujuk pada makna asal dari akar kata  " al-Fathr", yang bermakna "belahan", maka dapat pula dimaknai dengan "dalam keadaan terbuka". Artinya, bahwa seorang  bayi manusia yang baru lahir dalam sebuah keadaan situasi yang terbuka untuk dipengaruhi oleh siapapun, terutama orang tuanya, untuk dicetak menjadi seseorang yang diinginkan oleh mereka. Jadi, di sinilah titik penting dari sebuah pengkondisian lingkungan yang akan dialami oleh anak-anak kita agar tetap terpelihara absoluditas fithrah berke-tauhid-an dan keber-agama-an mereka. Wallau A'alamu bish-shawwab. [ESHA].
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H