Dengan uraian pemaknaan etimologis di atas, maka dapat dirumuskan pengertian terminologis (makna istilahi)nya bahwa "Idul Fitri" adalah sebuah momentum atau situasi agar kita dapat membiasakan diri untuk mengunjungi dan mengulangi serta menjadikan faedah dengan kembali kepada "Fithrah" kita sendiri sebagai manusia ciptaan Allah Ta'ala. Pertanyaannya kemudian, apakah sesungguhnya yang dimaksudkan dengan "Fithrah" tersebut?
Jika mencermati teks-teks keagamaan kita, maka akan didapat beberapa penjelasan yang terkait dengan pengertian "Fithrah" ini. Al-Quran sendiri, menurut M. Quraish Shihab (1996: 284), menyebutkan kata ini dengan berbagai bentuknya sebanyak 28 kali. Empat belas di antaranya dalam kontek uraian tentang bumi atau langit. Sisanya dalam konteks penciptaan manusia baik dari sisi pengakuan bahwa penciptanya adalah Allah, maupun dari segi uraian tentang sifat pembawaan sejak lahir (fithrah) manusia.
Dalam QS. ar-Rum(30):30-1, misalnya, difirmankan: Â "Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah). (Tetaplah atas) fithrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fithrah itu. Tak ada perubahan pada fithrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.. Dengan kembali bertaubat kepada-Nya dan bertakwalah kepada-Nya serta dirikanlah shalat dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah".
Ayat ini mengisyaratkan bahwa kehadiran Tuhan pada diri setiap manusia dan kebutuhan pada agama yang lurus merupakan fithrah (bawaan)  manusia sejak asal kejadiannya. Fitrah untuk ber-tauhid (pengakuan terhadap ka-Maha Tunggal-an Allah) ini secara jelas dipertegas dalam QS. al-A'raf(7):172: "Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka, dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), 'Bukankah Aku ini Tuhanmu?' Mereka menjawab: 'Betul (Engkau Tuhan kami), kami menyaksikan".
Namun demikian, pada kenyataannya tidak semua di antara manusia  yang selalu berhasil untuk konsisten  dalam "membiasakan" dan "menjadikan" diri kita tetap dalam  hukum kemutlakan (absoluditas) fitrah berke-tauhid-an dan keber-agama-an ini.  Betapa banyak manusia yang akhirnya tergelincir pada jurang ke-kufur-an, baik  yang menolak keberadaan Tuhan (ateis) maupun yang menolak agama-Nya (agnostik).
Sebagian manusia lainnya  ternyata ada yang terjerat dengan perangkap kemusyrikan (menolak keesaan Tuhan dengan mempersekutukan-Nya melalui berbagai macam benda dan cara). Sementara yang lainnya, adalah sekelompok manusia yang bisa jadi tidak tergelincir dalam jurang  ke-kufur-an  maupun  selamat dari perangkap kemusyrikan, namun sangat disayangkan ia terjatuh ke dalam kubangan kemunafikan dan kefasiqan, sehingga mereka setengah hati dalam menjalankan keber-agama-annya.Â
Akibatnya, mereka tidak lagi perduli tentang hukum halal-haram dalam setiap perkataan dan perbuatannya. Demikian pula, mereka tidak lagi care terhadap rumus-rumus dosa dan siksa neraka, baik ketika mereka tidak menjalankan kewajiban-kewajiban seperti shalat, puasa ramadan, dan berzakat, maupun ketika melanggar larangan-larangan, seperti ber-zinah, judi, mengkonsumsi narkoba, dan korupsi.
Kemungkinan bahwa manusia akan berada pada hukum relativitas dalam menjalankan fitrah berke-tauhid-an dan keber-agama-an ini sesungguhnya telah diisyaratkan dalam sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan Imam Bukhari:  "Setiap anak  dilahirkan dengan (membawa) fithrah-nya, maka kedua orang tuanya dapat (mempengaruhi)nya untuk menjadikannya sebagai orang Yahudi, Nasrani, atau Majusi".
Kata "fithrah" dalam hadits ini seringkali dimaknai dengan "keadaan suci", sehingga bayi yang baru dilahirkan dapat diandaikan dalam kondisi yang "netral" dan seperti selembar "kanvas" yang masih kosong dan bersih, yang telah siap disentuh goresan kwas seoarang pelukis untuk menghasilkan sebuah karya lukisan yang diinginkannya.  Selain pemaknaan tersebut, maka jika merujuk pada makna asal dari akar kata  " al-Fathr", yang bermakna "belahan", maka dapat pula dimaknai dengan "dalam keadaan terbuka". Artinya, bahwa seorang  bayi manusia yang baru lahir dalam sebuah keadaan situasi yang terbuka untuk dipengaruhi oleh siapapun, terutama orang tuanya, untuk dicetak menjadi seseorang yang diinginkan oleh mereka. Jadi, di sinilah titik penting dari sebuah pengkondisian lingkungan yang akan dialami oleh anak-anak kita agar tetap terpelihara absoluditas fithrah berke-tauhid-an dan keber-agama-an mereka. Wallau A'alamu bish-shawwab. [ESHA].
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H